Betapa “Kepo” dan “Baper” Bangsa Ini (Antara Ferdy, Teddy, dan Lesty)

Betapa “Kepo” dan “Baper” Bangsa Ini (Antara Ferdy, Teddy, dan Lesty)

17 October 2022, 5:30

BANGSA ini terus didera dengan beragam persoalan yang tidak ada selesainya. Belum kelar kasus Ferdy, kini meruyak kasus Teddy. Yang tuntas untuk sementara hanyalah kasus Lesty.
Nama-nama tersebut akhir-akhir ini begitu “membetot” perhatian kita. Kesulitan hidup akibat dampak kenaikan harga bahan bakar minyal (BBM) menjadi sedikit teralihkan karena masifnya pemberitaan kasus-kasus tersebut.
Kasus Ferdy (Sambo), Teddy (Minahasa), dan Lesty (Kejora) menjadi atensi publik dan diberitakan dengan gencar, berikut segala “bumbu” beritanya karena menyangkut pejabat publik dan figur publik.
Jika Ferdy dan Teddy menjadi gambaran utuh dari institusi negara yang bernama Polri, maka Lesty adalah representasi dari kehidupan selebritas yang diidokakan publik.
Ketiga sosok ini; Ferdy, Teddy, dan Lesty adalah idealisasi gambaran publik akan capaian karir, puncak ketenaran, dan kelimpahan materi.
Citra diri dari masing-masing personal ini begitu dipuja, dihormat, dan diidamkan setiap orang. Setiap aktifitas mereka tidak lepas dari pemberitaan, apalagi sekarang ini.
Berpangkat jenderal dan memiliki jabatan “mentereng” adalah impian banyak orang. Tidak semua polisi bisa menjadi jenderal.
Jenjang jenderal hanyalah diperuntukkan bagi mereka yang memiliki karir cemerlang dan mempunyai “garis tangan” yang bagus.
Hanya mengandalkan kepintaran dan mempunyai riwayat pekerjaan yang “moncer” saja ternyata belum cukup. Kata sahabat saya yang berdinas di kepolisian, faktor keturunan pun juga memberi andil dalam kenaikan pangkat.
Tidak hanya bobot dan bebet saja yang dibutuhkan, tetapi juga bibit. Jika ayah seorang polisi menyandang pangkat jenderal, besar kemungkinan “garis tangan” menjadi jenderal pun semakin terbuka lebar untuk lulusan akademi kepolisian.
Walau tidak menjadi adagium, jenderal membawa jenderal adalah kosakata yang jamak bagi karir yang ingin menanjak.
Mengingat pangkat jenderal susah didapat dan hanya jabatan-jabatan tertentu membutuhkan pangkat jenderal maka menjadi jenderal adalah kebanggaan.
Saya adalah anak “kolong” untuk menyebut dari keluarga militer, begitu paham dengan “bully” yang dilontarkan teman-teman saat bersekolah dulu.
Walau ayah berpangkat sersan, tetapi saya bangga karena ayah saya ikut beberapa kali operasi militer. Teman-teman selalu menabalkan saya dengan anaknya sersan perang.
Sebaliknya saya pun juga kerap mengejek seorang teman dengan sebutan anaknya “kolonel salep”, yakni sebutan untuk personel militer yang bertugas di bagian medis.
Saya tidak bisa membayangkan gaya bercanda anak-anak kolong sekarang atau anak-anak polisi dewasa ini seiring dengan makin “meruyaknya” komersialisasi jabatan dan pangkat.
Di saat menjabat kepala kepolisian wilayah sudah memiliki mobil mewah dan motor “gede” adalah hal biasa.
(Dokumentasi/Sekretariat Presiden) Presiden Joko Widodo saat hendak memberi pengarahan kepada pejabat Mabes Polri, kapolda, dan kapolres se-Indonesia di Istana Negara, Jakarta, Jumat (14/10/2022).Keprihatian Presiden Joko Widodo saat mengumpulkan seluruh pejabat utama Mabes Polri, seluruh kapolres dan kapolrestabes serta kapolda se- tanah air di Istana Negara, Jakarta, Jumat, 14 Oktober 2022, adalah kulminasi dari masukan, informasi dan pengaduan miring terhadap personel polisi yang diterima Jokowi.
Jokowi dalam taklimatnya meminta seluruh pejabat teras di lingkungan Polri bisa menjadi panutan bagi anak buahnya. Bisa mengerem gaya hidup mewah yang selama ini dipamerkan dengan sadar oleh para pimpinan Polri.
Polisi tidak boleh terlibat dengan aksi-aksi kejahatan yang selama ini menjadi tugas polisi untuk memberantasnya.
Mindset publik terhadap sosok jenderal, kapolres, atau kapoltabes yang selama ini glamour, mengenakan baju necis, berkendaraan mewah, memamerkan motor gede dan melalaikan tugas apalagi menjadi bagian dari kejahatan, menemukan momentumkan ketika kasus Ferdy dan Teddy muncul di permukaan.
Kebanggaan yang tidak berbatas
Setiap kali reuni sekolah digelar, saya kerap memilih untuk tidak hadir karena kebetulan memang posisi saya kerap di luar kota.
Ada alasan saya dan beberapa teman memilih absen dalam acara temu kangen, yakni menghindari kultus individu terhadap alumni secara berlebihan.
Bukan karena saya dan beberapa teman tidak memiliki pangkat jenderal dan hidup semenjana, tetapi banyak teman-teman yang lain begitu mengeluh-eluhkan alumni yang berpangkat tinggi dan berkedudukan “basah”.
Posisi penasehat bahkan donatur kerap ditimpakan kepada alumni yang sukses dengan parameter “materi”.
Sehingga jangan heran dengan fenomena menggunduli rambut hingga plontos yang dilakukan teman-teman Teddy Minahasa semasa bersekolah di SMPN 1 Pasuruan, Jawa Timur, saat nama Ferdy diumumkan sebagai Kapolda Jawa Timur.
Tidak hanya sahabat Teddy yang pria, bahkan ada seorang sahabat perempuan Teddy yang tergabung dalam Sobatku-87 itu ikut memplontoskan rambutnya.
Saya jadi teringat dengan wejangan kakek nenek saya agar dalam mensikapi kehidupan untuk ngono yoh ngono ning ojo ngono.
Selarik kalimat berbahasa Jawa ini memiliki arti dalam bahasa Indonesia sebagai padanan “begitu yah begitu, tetapi yah jangan begitu”.
Kalau kita perhatikan sekilas kalimat tersebut terkesan ambigu dan aneh serta tanpa makna. Bagi masyarakat Jawa “ngono yoh ngono ning ojo ngono” sarat dengan arti filosofi sindiran tersebut.
Konsep ngono yoh ngono ning ojo ngono bukan tanpa ujug-ujug sebagai implementasi untuk memahami konteks sebuah persoalan. Prinsip yang terkandung dalam filosofi tersebut oleh masyarakat Jawa dipercayai membawa makna “sederhana”, yaitu seni menempatkkan diri.
Jangan mengambil posisi terlalu ringan atau terlalu berat. Memilih terlalu besar atau terlalu kecil.
Sebagai pesan “ngono yoh ngono ning ojo ngono” diartikan sebagai ajaran silahkan untuk melakukan sesuatu, tetapi jangan begitu terlalu atau berlebihan. Secara positif juga diartikan menjaga keseimbangan.
Saya tidak membayangkan bagaimana perasaan teman-teman Teddy yang telah memplontoskan rambutnya saat mendengarkan pernyataan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo mengenai tindak pidana yang dituduhkan terhadap bekas Kapolda Sumatera Barat yang urung menjadi Kapolda Jawa Timur.
Memanipulasi barang bukti hasil kejahatan, kemudian menukarnya dengan tawas serta menjual narkoba ke bandar adalah perbuatan yang sukar diterima oleh nalar sehat bahkan oleh seorang alumni sekolah yang kebetulan mempunyai putra-putri.
Andai barang bukti narkoba itu sudah terjual dan dikonsumsi oleh pengguna, entah berapa banyak generasi muda harapan bangsa yang rusak masa depannya gara-gara narkoba jahanam itu.
Saya begitu terkesan dengan sahabat saya saat kami bersekolah bersama di SMPN 214 Halim Perdanakusuma, Jakarta, angkatan 1983.
Profesinya begitu luhur, mendamaikan warga yang berselisih paham, mengurus keperluan administrasi warga yang akan bekerja atau bersekolah, mengurus penyaluran bantuan sosial dari pemerintah hingga membantu warga yang tertimpa musibah.
Walau hanya sekadar ketua rukun warga dan bukan berpangkat jenderal, mendiang sahabat saya begitu dikenang kebaikkannnya.
Dari kasus Ferdy dan Teddy kita bisa menarik hikmah bahwa begitu tipis jarak antara kesuksesan dan kegagalan. Begitu pendek antara kekaguman dan hinaan dan begitu singkat riwayat hidup seorang jika diisi dengan pemujaan materi yang berlebihan.
ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso Mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo (tengah) dikawal petugas menuju kendaraan taktis saat proses pelimpahan berkas perkara tahap dua di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (5/10/2022). Penyidik Bareskrim Polri menyerahkan 11 tersangka dan barang bukti kepada Kejaksaan Agung dalam pelimpahan tahap dua terkait kasus pembunuhan berencana Brigadir J dan obstruction of justice yang salah satunya menjerat mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww.Ferdy Sambo adalah tipikal perwira polisi yang melesat karirnya dan begitu berambisi meraih pangkat jenderal.
Ketika pangkat jenderal sudah teraih dan jabatan sudah digenggam maka kekuasaan begitu membuatnya terlena.
Saat jabatan kian menapak dan duit bisa datang tanpa diundang, Teddy Minahasa lalai bahwa amanah yang diemban harus dirawat dengan baik. Harta senilai Rp 29 miliar bisa hilang dengan sekejap karena sejatinya itu adalah titipanNya.
Lesty sudah memaafkan Rizky
Kompas.com/Revi C Rantung Lesti Kejora dan kuasa hukumnya, Sandy Arifin di Polres Metro Jakarta Selatan, Jumat (14/10/2022). Ibu-ibu dan kaum perempuan di manapun berada sepertinya tidak legowo begitu mendengar Lesty Kejora telah mencabut laporan tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Polres Jakarta Selatan.
Lesty bahkan memaafkan tingkah kasar suaminya Rizky Billar dan memintanya berjanji untuk tidak mengulangi KDRT.
Lesty melakukan itu semua demi buah hatinya dan ingin mempertahankan bahtera rumah tanggganya bersama Rizky.
Pengaggum Lesty sampai kapan pun tidak bisa menerima tindak kekerasan yang dilakukan Rizky terhadap idolanya.
Mereka mengecam kesabaran “tingkat dewa” yang dilakukan Lesty. Bagi netizen, Rizky harus dihukum karena telah terang-terangan melempar bola biliar dan mencekik leher Lesty.
Perbuatan Rizky yang tidak jantan dan merendahkan harkat istrinya pantas diganjar hukuman penjara.
Netizen, ibu-ibu pengggemar sinetron bahkan kita pun terlalu “kepo” dan “baper” menanggapi kasus Lesty.
Kata kepo dan baper merupakan satu dari sekian banyak bahasa gaul yang sering diucapkan oleh kaum milenial hingga generasi Z. Istilah ini kerap dipakaikan untuk berinteraksi dalam percakapan sehari-hari.
Makna kepo merupakan singkatan dari kalimat Bahasa Inggris, yaitu knowing every particular object yang artinya mengetahui setiap objek tertentu. Ada beberapa perbedaaan pengertian dari kata kepo dari beberapa daerah.
Dalam Bahasa Hokkien Tionghoa Medan atau Tionghoa Sumatera, kepo sering diartikan atau digunakan untuk memarahi, mengejek orang lain yang dinilai melakukan pekerjaan yang bukan pekerjaannya.
Sementara kepo dari Bahasa Singlish atau Singaporean English berasal dari kata kaypoh yang berarti sifat seseorang yang selalu ingin ikut campur masalah orang lain. Kaypoh juga bermakna rasa penasaran yang lebih dan ingin tahu akan segala hal.
Sementara “baper” mengandung arti “bawa perasaan”. Bahasa gaul ini ditujukan kepada mereka yang mudah memasukkan perkataan atau perbuatan ke dalam hati atau gampang tersinggung.
Mensikapi rekonsiliasi Lesty dengan Rizky, munculnya kasus Ferdy dan Teddy membuat kita begitu “kepo” dan “baper”.
Betulkah kasus Lesty dengan Rizky hanya settingan belaka? Apakah mereka melakukan drama bak sinetron itu demi pundi-pundi dan menyelamatkan kontrak dan endorsement?
Betulkah terkuaknya kasus Teddy karena imbas dari konflik antarfaksi di tubuh Polri? Benarkah konsorsium Sambo 303 memang nyata adanya?
Kita begitu “kepo” dan “baper” dalam mensikapi persoalan yang ada. Kita juga “kepo” dan “baper” dengan kasus mengharu biru Lesty dan Rizky tanpa pernah mencoba menyadari berada di posisi Lesty atau Rzky.
Kita juga terlalu “kepo” dan “baper” dengan bejatnya kelakuan Ferdy dan Teddy tanpa pernah menyadari berada di posisi sebagai Listyo Sigit Prabowo bahkan Jokowi yang tengah dirundung malu dan kecewa dengan perilaku tercela tersebut.
-. – “-“, -. –