Blokir Medsos, Kunci Tangani Terorisme?

Blokir Medsos, Kunci Tangani Terorisme?

24 July 2017, 19:49

Kebijakan pemerintah memblokir Telegram menuai pujian dan kecaman. Beberapa pihak menilai, hal tersebut merupakan bentuk ketegasan pemerintah terhadap mereka yang turut memudahkan jaringan terorisme berkembang. Pihak lain menillai, kebijakan pemblokiran tidak menyentuh akar permasalahan terorisme.

Pinterpolitik.com
L[dropcap size=big]L[/dropcap]agi-lagi pemerintah Indonesia memblokir media sosial. Pemerintah sebelumnya pernah memblokir situs Vimeo lantaran disinyalir kerap menampilkan konten pornografi, kali ini pemerintah memblokir Telegram. Alasannya, aplikasi pengirim pesan instan tersebut kerap dijadikan sarana komunikasi jaringan teroris.
Berdasarkan data yang dikeluarkan pemerintah, setidaknya ada lima teror di Indonesia yang memanfaatkan Telegram sebagai wahana berkomunikasi, yakni pengeboman di jalan Thamrin, Jakarta, pengeboman di Mapolres Surakarta, Jawa Tengah, penyerangan dengan senjata tajam di Pos Polisi Tangerang, Banten, pengeboman di Cicendo, Bandung, dan pengeboman di Kampung Melayu, Jakarta.
“Yang kita blokir itu pada aplikasi di web. Ada ajakan membuat bom, bergabung dengan organisasi teroris,” ujar Menteri Kominfo, Rudiantara. Rudi menyebut ada sekitar 700 halaman terkait konten terorisme.
Tidak hanya pengeboman, Gubernur Jakarta Djarot Saiful Hidayat mengaku pernah mendapatkan bocoran ancaman pembunuhan Ahok yang para pelakunya memanfaatkan aplikasi Telegram untuk berkomunikasi. “Saya tidak main Telegram, tapi saya dapat info seperti itu. Makanya Telegram kemarin dapat sanksi diblokir Kominfo ya, ya blokir saja,” kata Djarot.

Tidak hanya di Indonesia
Diluncurkan pada 2013, Telegram mengumumkan dirinya sebagai aplikasi pesan instan desktop dan ponsel berbasis cloud dengan fokus pada kecepatan dan keamanan. Menariknya, berbeda dengan aplikasi pesan instan lainnya seperti Line dan Whatsapp yang tidak menyediakan layanan enkripsi, pesan yang dikirim lewat Telegram sudah dienkripsi. Perusahaan yang didirikan di Rusia itu juga menyediakan layanan Secret Chat agar para pengguna dapat langsung menghapus pembicaraan tanpa meninggalkan jejak di server. Keunggulan Telegram lainnya, pengguna dapat mengirim berkas gambar, musik, atau video hingga ukuran 1,5 gigabita tanpa kompresi.
Karena layanan pengiriman pesan canggih dan rahasianya tersebut, Badan Pengawas Komunikasi Rusia, Roskomnadzor, sempat mengancam bakal melarang Telegram jika tidak mendaftarkan server dengan data pengguna dan percakapan di Rusia. Ancaman ini juga muncul sebagai reaksi atas peristiwa bom bunuh diri di Stasiun St. Petersburg. Badan keamanan Rusia mengatakan bahwa Telegram digunakan sebagai alat komunikasi jaringan pelaku bom bunuh diri yang menewaskan 15 orang tersebut.
Selain itu, April 2017 silam, Iran juga menutup layanan voice call (panggilan suara) Telegram. Arab Saudi juga memblokir Telegram pada 2016, sementara Tiongkok memblokir Telegram pada 2015. Terkait penggunaan media sosial untuk komunikasi teroris, Perdana Menteri Inggris, Theresa May, bahkan menyerukan diakhirinya “ruang aman” yang disediakan internet, dan memastikan pengetatan aturan di dunia maya pasca serangan teroris London, 4 Juni 2017.“Kita tidak bisa membiarkan tempat yang aman yang dibutuhkan ideologi semacam ini berkembang biak. Akan tetapi, justru itulah yang internet – dan perusahaan besar yang menyediakan layanan berbasis internet – sediakan,” ujar May, seperti dilansir dari Wired, Juni 2017.
Secara umum, internet dan ragam aplikasi yang ada di dalamnya kerap dijadikan kambing hitam atas berbagai serangan teroris yang menimpa suatu negara. Namun demikian, tepatkah langkah pemblokiran yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia?

Kambing Hitam Salah Sasaran
Memang, internet telah banyak membantu para teroris dalam berkomunikasi, namun, para ahli sepakat bahwa hal tersebut bukan penyebab utamanya tindakan terorisme dan radikalisasi.
“Internet sering dijadikan kambing hitam dalam hal radikalisasi,” ujar pakar kontra-terorisme RAND Corporation, Colin Clarke.
Para peneliti terorisme mencatat, teror yang terjadi  Eropa dan Inggris mengikuti pola yang sudah dikenal. Sebagian besar jihadis Eropa adalah Muslim muda, biasanya laki-laki, tinggal di lingkungan miskin dengan tingkat pengangguran tinggi. Kebanyakan dari mereka merupakan imigran generasi kedua atau ketiga dari negara tempat mereka berasal. Mereka tidak membaur dengan baik ke dalam masyarakat, menganggur atau berpendidikan rendah. Hidup mereka tidak memiliki makna dan tujuan.
Orang-orang ini lah yang kemudian rentan menjadi radikal setelah menonton gambaran real time  medan perang yang diupload para teroris di situs media sosial seperti YouTube, Flickr dan Tumblr. Video yang mereka upload pun ditanamkan tautan menuju situs web yang mempublikasikan berbagai kekerasan brutal seperti pemancungan dan vlog kehidupan mereka sehari-hari. Gambaran-gambar ini memompa adrenalin para calon korban sehingga menimbulkan keinginan untuk memiliki misi serupa.
“Ada satu video yang dikirim oleh seorang Malaysia yang menunjukkan dia dan beberapa rekan Arab nya sedang berada di sebuah kapal nelayan di sungai Eufrat menunjukkan betapa jernih air sungai tersebut. Dan mereka menenteng senjata, hampir seperti perjalanan untuk pergi ke Irak,” ungkap Sidney Jones, pimpinan Institute for Policy Analysis in Conflict (IPAC), seperti dilansir dari Rappler.Setelah calon korban terlihat minatnya untuk bergabung, kemudian para anggota kelompok ekstrimis melakukan interaksi tatap muka guna membangun persahabatan. Ketika pertemuan tatap muka sudah berlangsung, tentu mudah untuk melakukan indoktrinasi yang berujung suruhan untuk melakukan tindak kekerasan ekstrim kepada calon korban.
Dalam setiap usahanya merekrut anggota baru, kelompok ekstrimis juga berusaha menjauhkan calon anggotanya dari keluarga mereka serta melonggarkan ikatan yang mempertahankannya di masyarakat. Saat ikatan itu robek, akan amat mudah bergabung dengan kelompok ekstrimis.

Pendidikan Sebagai Pencegahan
Berdasarkan riset yang dilakukan konsultan riset pemasaran Taylor Nelson Sofres (TNS), Indonesia berada di peringkat ke-3 pengguna Instagram. Sementara itu, berdasarkan peringkat yang dikeluarkan we are social dan Hootsuite, Indonesia menjadi pengguna Twitter terbesar ke-3 dan pengguna Facebook terbesar ke-4 di dunia. Tidak berlebihan jika menyebut Indonesia sebagai ibukotanya media sosial dunia.
Media sosial yang dianggap ampuh digunakan dalam komunikasi jarak jauh, membuat orang berbondong-bondong menggunakannya. Hasil penelitian Wisnu Prasetya Utomo bertajuk Menimbang Media Sosial dalam Marketing Politik di Indonesia mengemukakan bahwa internet dan media menjadi salah satu kunci kemenangan Jokowi dan Ahok dalam kampanye mereka di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2012.
Menurut Wisnu, ada tiga hal utama yang digunakan tim pemenangan Jokowi dan Ahok, yakni blusukan, pemberitaan positif di media-media arus utama, dan penggunaan internet serta media sosial. Strategi mendulang suara dari media sosial diwujudkan dengan membentuk Jokowi Ahok Social Media Volunteers (JASMEV) pada 12 Agustus 2012.
“Kemenangan Jokowi dan Ahok di Pilkada DKI Jakarta 2012 telah menandai satu babak penting dalam perkembangan marketing politik di Indonesia. Penggunaan media sosial memunculkan marketing politik bauran (mix-mediated). Inovasi ini menabrak pakem marketing politik arus utama di Indonesia yang sampai sejauh ini masih menggunakan media massa sebagai elemen utamanya,” ujar Wisnu dalam laporan penelitiannya.
Melihat pemanfaatan media sosial di atas, jelas, langkah pemerintah Jokowi memblokir media sosial adalah sesuatu yang ironis: Jokowi yang naik pamornya berkat media sosial kini berbalik ingin menutup saluran media sosial. Di sisi lain, mengkambinghitamkan internet dan media sosial sebagai akar masalah terorisme berisiko mengabaikan masalah mendasar terkait kondisi sosial para pemuda yang diintimidasi atau diabaikan. “Mereka seperti ada di dunia bawah. Ini yang membuat mereka rentan terhadap radikalisasi,” kata Clarke.
Clarke sendiri, lebih mendukung langkah pemberantasan terorisme lewat pendidikan. “Perombakan menyeluruh pendidikan yang luas di daerah imigran, dan peningkatan pekerjaan kaum muda,” usul Clarke.

Di Indonesia, langkah tersebut bukannya nihil dilakukan. Seorang mantan teroris bernama Khairul Ghazali mendirikan Pesantren Al Hidayah di Deli Serdang, Sumatera Utara. Pesantren tersebut ia dirikan dengan niat memutus potensi anak seorang teroris mengikuti jejak orang tuanya. Al Hidayah memiliki pelajaran deradikalisasi yang terdiri dari empat poin utama: penanaman sifat kritis terhadap ajaran-ajaran radikal, pluralisme, indoktrinasi agama yang mengajarkan kedamaian dan menghindari ajaran agama yang bersifat dogmatis.
“Saya berpikir kalau anak saya seperti ini (ingin jadi teroris) bagaimana dengan 600 mantan teroris lainnya. Kalau dikali tiga saja maka ada ribuan anak yang berpotensi ikut jejak bapaknya,” kata Khairul, seperti dilansir dari Kompas.
Sampai pada titik ini, kita dapat berkaca bahwa tidak ada kata lain selain “rumit” untuk menggambarkan penanganan terorisme, baik di dalam maupun luar negeri. Pemblokiran media sosial tertentu tentu saja tidak cukup untuk menanggulangi persoalan ini.
Lalu, akankah usaha ini cukup untuk menghentikan terorisme? Mungkin saja tidak. Namun demikian, bukan berarti menghilangkan harapan dalam bahwa nyawa setiap manusia itu berharga dan patut dilindungi dari berbagai serangan teror yang ada.
(H31)