JAKARTA, KOMPAS.com – Urgensi Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang kerap digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai menjadi sorotan. Sorotan ini mencuat dalam tahapan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) 10 calon pimpinan (capim) KPK di Komisi III DPR RI.
Dalam fit and proper test, banyak anggota Komisi III DPR RI yang menanyakan soal urgensi OTT ke para capim ke salah satu pimpinan KPK terpilih untuk periode selanjutnya, yakni Johanis Tanak sebagai wakil ketua, yang juga petahana.
Tiga Wakil Ketua KPK terpilih lainnya, Fitroh Rohcahyanto, Ibnu Basuki Widodo, dan Agus Joko Pramono. Sementara Ketua KPK terpilih adalah Setyo Budiyanto.
Selama fit and proper test, Tanak menjadi satu-satu kandidat komisioner yang secara gamblang menolak OTT, apabila dirinya terpilih sebagai ketua. Pernyataan Tanak ini disambut tepuk tangan meriah oleh para anggota Komisi III DPR.
Baca juga: Pimpinan-Dewas KPK Baru Diharapkan Solid, Tak Ribut Masalah Internal
“Seandainya saya bisa jadi, mohon izin, jadi ketua, saya akan tutup, close, karena itu (OTT) tidak sesuai dengan pengertian yang dimaksud dalam KUHAP,” kata dia saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (19/11/2024).
Sejak awal, Wakil Ketua KPK periode 2022-2024 ini mengaku menganggap OTT merupakan tindakan yang tidak tepat berdasarkan maknanya kata “operasi” dan “tertangkap tangan”.
Pengertian “tertangkap tangan” menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah suatu peristiwa yang terjadinya seketika dan pelakunya langsung ditangkap.
Sementara “operasi” bermakna suatu kegiatan yang sudah siap dan mempunyai perencanaan matang sebelum melakukan tindakan.
“Kalau pelakunya melakukan perbuatan dan ditangkap, tentu tidak ada perencanaan. Kalau ada satu perencanaan, operasi itu terencana, peristiwa yang terjadi suatu seketika itu tertangkap, ini suatu tumpang tindih yang tidak tepat,” ucap Wakil Ketua KPK ini.
Berbeda dari Tanak, dalam fit and proper test, Setyo yang terpilih menjadi Ketua KPK memiliki pandangan bahwa OTT masih diperlukan sebagai langkah pemberantasan korupsi. Meski begitu, KPK harus selektif melakukan OTT.
OTT dianggap bisa menjadi pintu untuk mengungkap kasus korupsi besar.
“Harus selektif, prioritas, dan dilakukan secara rigid serta bersih tanpa tindakan yang tidak perlu,” katanya.
Berdasarkan penelusuran Kompas.com, ada tren penurunan kegiatan OTT yang dilakukan KPK selama beberapa tahun terakhir. Pada 2017 tercatat sebanyak 19 OTT, 2018 ada 29 OTT dan 2019 terdapat 21 OTT.
Jumlah OTT pada 2020 dan 2021 tercatat menurun drastis di masa pandemi Covid-19 yang melanda Tanah Air. Setidaknya tercatat jumlah OTT pada dua tahun itu berada di bawah angka 10.
Di 2022 tercatat ada sepuluh kegiatan OTT, 2023 ada delapan OTT, dan sepanjang tahun ini hanya ada tiga OTT.