Wewenang menerbitkan sertifikat halal yang semula milik MUI kini beralih ke pemerintah melalui BPJPH. Lalu apa peran MUI nantinya?
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]P[/dropcap]enerbitan sertifikat halal kini telah resmi berpindah. Semula, aturan dan kewenangannya dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tapi sekarang, kewenangan tersebut berpindah ke pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang bertugas mengatur sertifikasi produk-produk halal.
Kebijakan tersebut tentu menimbulkan tanda tanya, karena sebelumnya, sertifikasi halal begitu dimonopoli oleh lembaga tempat umat Islam mencari fatwa ini. Begitu saktinya lembaga ini, sehingga anggaran keuangannya pun sulit diatur maupun diaudit negara. Sehingga ketika tugas tersebut diambil alih, sama saja pemerintah telah melucuti kewenangan utama MUI.
Belum lagi, belakangan ini kiprah MUI kerap bertentangan dengan pemerintah, salah satunya dengan ikut mendukung aksi massa berjilid-jilid di tanggal cantik lalu. Walau pengambilalihan sertifikasi sangat menguntungkan pemerintah, di sisi lain, supremasi MUI pun seperti dikebiri. Lalu, apa tugas MUI nanti?
UU JPH dan Kelahiran BPJPH
Pembentukan BPJPH merupakan amanat dari Undang-undang (UU) No.33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). UU ini mengamanatkan BPJPH harus dibentuk paling lambat tahun 2017 atau tiga tahun setelah UU disahkan. Lembaga ini sendiri diperkirakan baru akan mulai beroperasi pada awal tahun 2018.
UU JPH mencoba memberikan solusi dari persoalan sertifikasi halal. Semula, penerbitan sertifikat halal tidak memiliki regulasi yang jelas. Untuk itulah, hadirnya UU ini diharapkan menjadi payung hukum bagi persoalan yang penting bagi umat Islam tersebut.
Proses sertifikasi halal nantinya tidak lagi berpusat pada Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Proses ini akan melibatkan tiga pihak, yakni BPJPH, MUI, dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
Nantinya peran MUI tidak sepenuhnya hilang. Lembaga tempat ulama bernaung ini berperan untuk melatih LPH. Fatwa MUI juga akan tetap diperhatikan sebelum cap halal diberikan.
MUI sebenarnya tidak rela kewenangannya untuk memberikan sertifikat halal diambil alih. MUI pernah berusaha keras agar kewenangan menerbitkan sertifikat halal tetap berada di lembaga tersebut. Lembaga ini pernah melayangkan permohonan agar wewenang sertifikasi halal tetap di MUI pada saat pembahasan Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH).
Pada proses ini, terjadi tarik-menarik antara Kementerian Agama (Kemenag) dengan MUI. MUI tetap tidak rela kewenangannya untuk memberi cap halal diambil alih pemerintah. Di sisi lain, Kemenag juga bersikeras agar pemerintah mengambil kewenangan tersebut.
MUI beralasan bahwa konsumsi halal adalah masalah agama. Hal ini membuat dasar fatwa ulama menjadi hal yang mutlak diperlukan. Sehingga, Pemerintah tidak perlu mencampuri urusan yang berbau agama seperti ini.
Untuk mempertahankan kewenangan tersebut, MUI bahkan menggalang dukungan dari 17 organisasi massa (ormas) Islam. Di antara ormas-ormas tersebut terdapat nama Hizbut Tahrir Indonesia, Persatuan Umat Islam (PUI), dan Al-Irsyad sebagai ormas besar yang mendukung niat MUI.
Audit dan Transparansi Sertifikasi Halal
Berkurangnya wewenang MUI dapat memberikan keuntungan sendiri bagi pemerintah. Pemerintah melalui BPJPH kini berwenang menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk. Tak hanya itu, keberadaan lembaga ini dapat mempermudah melakukan audit.
Sebagaimana diketahui, ketika kewenangan sertifikasi halal masih berada di MUI, tidak ada audit dan transparansi. MUI selalu berlindung di balik fakta mereka bukan lembaga pemerintahan. Mereka tidak merasa perlu membuka laporan apapun termasuk keuangan kepada publik.
Duit Sertifikasi Halal MUI Tak Bisa Diaudit http://t.co/uRDgvCVsEn
— TEMPO.CO (@tempodotco) March 6, 2014
Sertifikasi halal ibarat sebuah belantara yang tidak dapat dimasuki oleh siapapun. Kunci menuju hutan tersebut dimiliki hanya oleh satu badan yaitu MUI. Berbagai tahap dari proses ini dimonopoli oleh MUI dengan total pemasukan yang tidak diketahui berapa.
Keluar masuknya uang dalam proses sertifikasi halal di MUI kerapkali tidak diketahui. Banyak pelaku usaha yang mengeluhkan ada proses jual beli dalam pemberian label halal. Masyarakat juga telah lama mendengungkan pentingnya proses audit dalam pemberian cap halal ini.
Melalui BPJPH, proses audit dapat dilakukan dengan lebih mudah. Kini pelabelan halal sudah beralih ke badan publik sehingga informasinya pun dapat diketahui publik. Audit dapat dilakukan jika ada perintah dari Menteri Agama atau ada laporan masyarakat jika ada transaksi tidak lazim dalam pemberian label halal. Inspektorat Kemenag dapat melakukan investigasi jika ada yang tak wajar.
Pemerintah juga memperoleh keuntungan lain dari pengambilalihan proses sertifikasi halal ini. Kini pemerintah dapat memperjelas larinya uang umat yang digunakan untuk memperoleh sertifikat. Semula, uang ini tidak diketahui masuk ke mana. Melalui BPJPH dapat diatur proses penerbitan sertifikat memerlukan tarif tertentu yang nantinya masuk ke Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Pemerintah Diuntungkan BPJPH?
Keuntungan lain yang dapat dinikmati pemerintah adalah kini pengaruh MUI berangsur dapat berkurang. Umat tidak lagi bergantung pada MUI untuk mendapatkan kepastian halal haram suatu produk.
Dalam konteks tertentu, menurunnya pengaruh MUI di mata masyarakat dapat berbuah untung bagi pemerintah. Karena MUI tidak lagi bisa dimanfaatkan oleh kelompok tertentu.
Seperti yang kita ketahui, fatwa MUI tentang Al Maidah beberapa waktu lalu adalah salah satu pendorong utama Aksi Bela Islam berjilid-jilid. Fatwa ini diduga dimanfaatkan gerakan yang menamakan diri Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) untuk tujuan politis.
Foto: GNPF-MUI
Dengan berkurangnya peran MUI di masyarakat, ketergantungan masyarakat pada lembaga ini dapat perlahan berkurang. Sejak awal apa yang menjadi keputusan MUI memang tidak memiliki konsekuensi legal yang mengikat. Kini masyarakat juga tidak harus lagi bergantung pada MUI untuk menentukan status halal haram sesuatu.
Melalui BPJPH, masyarakat hanya bergantung pada MUI untuk mendapatkan nasihat yang bersifat reliji saja. MUI memang masih dapat memberikan fatwa untuk suatu masalah yang mendera umat. Tetapi MUI harus berbagi peran tersebut dengan lembaga dan organisasi lain.
Ada banyak organisasi massa (ormas) Islam yang memiliki bidang atau komisi yang bertugas menerbitkan fatwa. MUI harus berembuk dengan ormas-ormas tersebut agar fatwanya dapat diikuti. Ormas sendiri bukan organisasi dengan sedikit pengikut. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah misalnya, adalah ormas besar yang kerap mengeluarkan fatwa bagi pengikut mereka. Tokoh-tokoh di dalam ormas tersebut juga cukup berpengaruh dan didengar masyarakat.
Ormas-ormas ini tidak selalu mengambil posisi yang sejalan dengan MUI. Pada aksi yang diprakarsai oleh GNPF-MUI misalnya, NU mengambil posisi yang berbeda dengan memilih tidak turun ke jalan. Petuah ulama ini kemudian didengar oleh massa NU yang cukup besar.
Pemerintah bisa dikatakan cukup beruntung dengan adanya BPJPH yang menjadi amanat undang-undang ini. Sorotan tajam kepada pemerintah yang berasal dari keputusan MUI dapat perlahan berkurang. Terlebih kini Ketua Umum MUI tengah merapat ke pemerintah, terbukti dari seringnya mendampingi presiden dalam berbagai lawatan. (H33/berbagai sumber)