FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) dinilai menggunakan standar lama internasional dalam menentukan kelompok rakyat miskin ekstrem. Padahal, standar garis kemiskinan terbaru versi World Bank mengacu angka pendapatan baru sebesar US$3,2 per kapita per hari.
Ukuran ini telah diadopsi sejak 2022 melalui angka Purchasing Power Parity (PPP) 2017 dari sebelumnya PPP 2011.
Anggota Komisi X DPR RI Agung Widyantoro menyoroti standar pengukuran kelompok masyarakat miskin yang dilakukan BPS tersebut. Menurutnya, angka kemiskinan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan fakta yang ada di lapangan.
“Contohnya rumah masyarakat yang layak huni tetapi sudah ditempelkan stiker tidak mampu, kemudian sebaliknya. Hal ini yang memicu terjadinya kesalahan dalam menyalurkan bantuan,” ungkapnya dalam Rapat Kerja Komisi X dengan Kepala BRIN dan Kepala BPS di Ruang Rapat Komisi X, Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (12/11/2024).
BPS hingga kini belum ada rencana melakukan pengubahan metodologi pengukuran standar kelas miskin ekstrem sesuai standar baru Bank Dunia itu.
Dengan standar lama, jumlah penduduk miskin ekstrem di Indonesia per Maret 2024, hanya 0,83 persen dari total penduduk. Atau turun ketimbang angka kemiskinan ekstrem pada Maret 2023 sebanyak 1,12 persen dari total penduduk.
Menurut Agung standar pengukuran BPS hasilnya bisa menyesatkan. Ia menduga jangan-jangan kelas menengah atau atas, sejatinya masuk kelas bawah karena dihitung dengan standar rendah.
“Lebih baik turun langsung ke lapangan untuk menentukan layak atau tidaknya masyarakat dikategorikan miskin, karena data di meja dengan lapangan berbeda,” tutur Politisi Fraksi Golkar ini. (Pram/fajar)