AKURAT.CO, Koordinator Posko Terpadu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk Tragedi Kanjuruhan, Syifa Mustika memperkirakan lebih dari 65 persen korban tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022 merupakan anak-anak dan perempuan.
Berdasarkan laporan terbaru Dinas Kesehatan Kabupaten Malang tanggal 12 Oktober 2022, jumlah korban tragedi Kanjuruhan mencapai 737 orang dengan 132 di antaranya meninggal dunia.
Syifa menyebut, penyebab utama kematian adalah karena kekurangan oksigen yang dapat disebabkan oleh terinjak-injak, desak-desakan, benturan di kepala akibat terjatuh. Selain itu, saat kerusuhan terjadi, tidak ada koordinasi proses evakuasi yang baik sehingga terjadi penumpukan dan desak-desakan di pintu keluar.
baca juga:
“Otomatis ya, anak dan perempuan lah yang menjadi korbannya. Kalau ditanya lagi bagaimana mekanisme penyelamatannya, ya yang paling kuat itu yang bisa selamat,” kata Syifa dalam acara media briefing “Mencegah Terulangnya Kembali Tragedi Kanjuruhan dalam Perspektif Perlindungan Anak”, Rabu (12/10/2022).
Peristiwa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan berbanding terbalik dengan regulasi yang ada. Dalam Regulasi Keselamatan dan Keamanan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) 2021 Pasal 4 ayat 1E, tertulis bahwa penyelenggara wajib mengkoordinasikan prosedur untuk menampung semua penonton, termasuk penyandang disabilitas, lansia, keluarga dan anak-anak. Namun, pada kenyataannya implementasi itu tidak terjadi.
Aldo (17) pendukung klub Persebaya mengaku sering khawatir, tidak nyaman, bahkan takut ketika pergi menonton pertandingan sepak bola di stadion. Tidak jarang dia menemukan supporter yang menonton dalam keadaan mabuk. Saat terjadi kerusuhan dia memilih untuk berdiam diri dan berlindung ke arah belakang tribun, bahkan menahan gas air mata dibandingkan meminta perlindungan kepada petugas keamanan.
“Karena banyak supporter yang justru diberi tindak kekerasan. Itu makanya, aku lebih memilih untuk diam di belakang saja,” ungkap Aldo.
Hal senada diungkapkan, Tessa Witarsa, seorang pecinta sepak bola dan pendukung klub Persija. Ia pun pernah berada dalam situasi kerusuhan dalam stadion hingga pihak keamanan melemparkan gas air mata ke penonton. Menurutnya, hal tersebut terjadi karena adanya miskomunikasi antara panitia penyelenggara dan aparat keamanan.
“Kan harusnya sebelum pertandingan ada rapat koordinasi yang memaparkan aspek keamanan, namun sepertinya ada miskomunikasi,“ tutur Tessa.
Selain itu, Ia pun merasa edukasi terhadap supporter maupun kepada penonton terhadap aspek keselamatan dan keamanan masih sangat kurang.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Jasra Putra turut menyampaikan bahwa apa yang dialami Aldo dan Tessa merupakan fakta lapangan yang terus terjadi di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa belum sepenuhnya perhatian para pemangku kepentingan untuk memperhatikan isu perlindungan anak dalam pelibatan massa seperti olahraga, konser musik, dan kegiatan kerumunan lainya.
Lebih mengkhawatirkan lagi, anak-anak seringkali menjadi martir dalam setiap kerusuhan dan menjadi tameng utama untuk melawan aparat. Situasi ini dimanfaatkan oleh sejumlah oknum untuk mendapat keuntungan.
“Semoga rekomendasi dari TGIPF dapat segera masuk, terkait bagaimana memastikan atau mewujudkan kerumunan yang ramah untuk anak. Saya kira ini menjadi cita-cita kita bersama,“ ungkap Jasra.
Advocacy and External Engagement Manager Wahana Visi Indonesia, Junito Drias menegaskan bahwa anak dan kelompok rentan punya hak di ruang publik sehingga negara harus pro aktif memberikan perlindungan dalam bentuk pencegahan melalui kebijakan keselamatan dan keamanan anak, dan penanganan melalui kebijakan respon. “Misalnya, saat terjadi kejadian kemanusian menimpa anak serta keluarga, seberapa jauh pemangku kepentingan terkait bisa melayani itu. dari rumah sakit, kepolisian hingga unit-unit layanan lain,” ungkap Junito.
Untuk itu, WVI memberikan sejumlah rekomendasi untuk pemangku kepentingan negara:
1. mewajibkan kebijakan keselamatan dan keamanan anak, perempuan dan kelompok rentan dalam kegiatan keramaian, ini termasuk pencegahan (mitigasi) dan respon
2. komitmen kepolisian untuk menerapkan kebijakan keselamatan dan keamanan anak, kelompok rentan serta perempuan dalam SOP Kepolisian
3. K/L meningkatkan pemahaman kebijakan keselamatan dan keamanan anak, kelompok rentan serta perempuan
Rekomendasi untuk pemangku kepentingan non negara:
1. Warga agar senantiasa mengedepankan keselamatan dan keamanan anak dan kelompok rentan serta perempuan
2. Panitia penyelenggara menerapkan dan mematuhi kebijakan keselamatan dan keamanan anak, kelompok rentan dan perempuan
Mewakili suara anak, Ulum (17), turut meminta kepada para pihak penyelenggara untuk wajib menyediakan area atau tribun khusus anak atau orang tua yang membawa anak-anak. Ia juga menambahkan bahwa pentingnya dilakukan penjelasan terkait aspek keamanan, baik untuk pihak supporter maupun di pihak petugas keamanan agar semua pihak tahu cara mencegah dan mengatasi resiko bila ada kerusuhan/bencana. “Terakhir, menjalankan pembatasan umur anak yang diperbolehkan berpartisipasi dalam kegiatan kerumuman,” tutup Ulum.[]