Cerita Orang Tua yang Kehilangan Anaknya karena Gagal Ginjal Akut

21 October 2022, 14:13

Suara.com – Sejumlah orang tua yang kehilangan anaknya karena gagal ginjal mengaku memperoleh obat sirup parasetamol dari puskesmas dan klinik – fasilitas kesehatan pertama melalui jalur BPJS Kesehatan.

Obat ini dikhawatirkan terkait dengan kematian buah hati mereka, meskipun pihak berwenang belum bisa memastikannya.

Sejauh ini Kementerian Kesehatan melarang sementara penggunaan obat-obatan sirup setelah terdapat hampir 100 kematian anak karena gagal ginjal.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengambil langkah melarang penggunaan lima merek obat sirup, dan menyerukan penarikan dari pasaran.

Baca Juga:
Balita Berusia 8 Bulan Meninggal, Pemkab Banyumas Waspadai Kasus Gagal Ginjal Akut

Sementara, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai langkah monitoring BPOM tidak efektif, dan membuka peluang pidana bagi perusahaan yang lalai dalam menerapkan obat yang aman.

Baca Juga:

Siang hari, biasanya Agustina Melani sedang bermain dengan putrinya, Nadira Azea Almaira, yang baru berusia 15 bulan. Putri semata wayang yang lahir setelah usia pernikahannya melewati usia enam tahun ia katakan “lagi lucu-lucunya“.

“Banyak mainannya. Boneka-boneka. Terakhir itu saya beliin kids walker-nya, baru dipakai seminggu sama dia,“ kata Agustina mengenang hari-hari terakhir bersama buah hatinya.

Tapi semua mainan itu sudah menyepi di pojokan rumah.

Baca Juga:
Pemerintah Lakukan Investigasi Asal Bahan Baku Obat yang Sebabkan Gagal Ginjal Akut

Nadira Azea Almaira meninggal setelah dinyatakan gagal ginjal pada 25 Agustus 2022. Ia sempat menjalani perawatan selama lima hari di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta.

“Sebelumnya tidak pernah sakit gimana-gimana. Paling sakit pilek, demam, mau tumbuh gigi. Jarak dua hari sembuh, main lagi,“ katanya.

Agustina menceritakan awalnya Nadira hanya batuk dan flu. Kondisinya memburuk setelah diminumkan obat sirup parasetamol dari sebuah Puskesmas di bilangan Jakarta Selatan.

“Setiap empat jam aku kasih [obat], karena panasnya nggak turun-turun. Sempat sembuh, tapi demam lagi. Akhirnya tidak pipis,” katanya.

Urin yang tidak keluar juga disertai pembengkakan pada tubuh Nadira. Setelah masuk ke beberapa rumah sakit, terakhir Nadira dilarikan ke RS Fatmawati.

Diagonsis laboratorium menunjukkan kreatinin dan ureum Nadira pada angka yang melampaui ambang batas. Artinya ginjal Nadira tidak berfungsi.

“Dan akhirnya meninggal dengan begitu cepat. Dengan sakit yang begitu mengerikan.”

“Kalau memang benar-benar sudah terbukti ini [ada] kelalaian dari pihak farmasi, tentunya kami semua para orang tua korban akan menindaklanjuti kasus ini, untuk meminta pertanggung jawaban atas kasus yang menimpa anak-anak kami,“ tambah Agustina.

Cyrene Melody Mamonto, 2 tahun 7 bulan, juga mengalami gagal ginjal dan tak bertahan setelah serangkaian perawatan di rumah sakit. Ia sempat mengkonsumsi obat parasetamol yang dibeli di pasaran, termasuk di rumah sakit.

“Dua minggu sebelum dia meninggal itu. Kami ke gereja, kami ke … maksudnya anaknya aktif. Jalan ke sana kemari, main… Kayak diracuni gitu dengan tiba-tiba. Cuma racun yang kuat, yang bisa buat dia kayak gitu [meninggal],” kata Curie Mamonto Loho, ibu dari Melody.

Untuk mengambil langkah selanjutnya, Curie masih menunggu hasil penyelidikan yang saat ini dilakukan BPOM, Kemenkes, Ikatan Dokter Anak Indonesia, ahli epidemiolog, farmakolog dan laboratorium kepolisian.

“Harus menunggu penelitiannya. Hasilnya seperti apa,” katanya.

Dari Jawa Barat…

Siti Suhardiyati memaksakan diri membereskan mainan Umar Abu Bakar, anak bungsunya yang meninggal 24 September 2022 lalu.  Air matanya mengalir deras dipicu rasa kehilangan. 

Beragam mainan itu mengingatkannya pada sosok Umar yang ceria dan penyayang.  “Saya nggak kuat,” ungkapnya pilu.

Umar Abu Bakar, berusia 2 tahun 10 bulan ketika dinyatakan meninggal oleh dokter di RS Cipto Mangunkusomo (RSCM) Jakarta. Umar didiagnosis mengalami gagal ginjal.  

Siti tidak merasakan kecurigaan sedikit pun, ketika Umar mengalami demam, batuk, pilek, dan diare, pada  Sabtu, 10 September 2022.  Ia hanya berpikir, anak keduanya itu cuma mengalami sakit yang umum dialami anak-anak balita.  

Namun karena disertai diare, Siti membawa Umar berobat ke sebuah klinik di Bekasi yang menjadi layanan kesehatan tingkat pertama BPJS Kesehatan.

Ia dan Umar pulang dengan membawa tiga jenis obat, termasuk paracetamol sirup.

Setelah tiga hari mengkonsumsi obat, Umar mendadak berhenti kencing.

“Malamnya masih pipis, tapi Selasa pagi, sudah gak ada pipis.  Saya gantiin pampers kan biasanya pagi penuh, tapi ini sudah nggak ada pipis,” tutur Siti.

Umar beberapa kali dirawat di rumah sakit, sebelum akhirnya dirujuk ke RSCM.

Siti tidak menyangka sedikit pun anaknya bakal mengalami gangguan ginjal akut karena Umar tidak memiliki riwayat penyakit berat. “Makanya bingung, kok bisa gagal ginjal akut,” ucapnya.

Siti mengaku heran, mengapa kasus tersebut baru diangkat ke media belakangan ini, padahal kasusnya sudah ada sejak awal tahun ini.

Mengenai dugaan kandungan etilen glikol dan dietilen glikol dalam obat yang menjadi penyebab sakit tersebut, Siti kembali menyatakan kebingungannya. 

“Saya juga bingung sebenarnya ini, kenapa bisa ada yang berbahaya dari si (obat) sirup ini.  Padahal kalau memang dia ber-BPOM kan seharusnya sudah diuji.  Kenapa bisa ada kandungan-kandungan lain yang berbahaya di dalam obat itu.”

‘Dari resep dokter dan beli di luar‘BBC mengkonfirmasi dugaan pemberian sirup parasetamol dari puskesmas dan klinik yang menjadi tempat berobat pertama peserta BPJS Kesehatan ini, namun sejumlah pejabat kementerian kesehatan belum merespons.

Sejauh ini, sirup parasetamol yang diperoleh melalui puskesmas dan klinik baru berasal dari dua kasus di Jakarta dan Bekasi, sehingga masih diperlukan pengakuan dari puluhan kasus lainnya dari mana mereka memperoleh obat tersebut.

Kemenkes sejauh ini mengambil langkah melarang penggunaan obat-obatan sirup ke seluruh layanan kesehatan, termasuk apotek.

“Kemenkes sudah meneliti bahwa pasien balita yang terkena AKI (accute kidney Injury) terdeteksi memiliki tiga zat kimia berbahaya (ethylene glycol-EG, diethylene glycol-DEG, ethylene glycol butyl ether-EGBE),” kata juru bicara Kemenkes, dr Syahril dalam keterangan tertulis.

Jumlah kasus yang dilaporkan hingga 18 Oktober sebanyak 206 dari 20 provinsi dengan angka kematian sebanyak 99 anak. Angka kematian pasien yang dirawat di RSCM mencapai 65%.

Hasil penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang menangani 49 kasus anak gagal ginjal sejak Januari menyebutkan sudah menerima laporan enam merek obat yang mengandung senyawa berbahaya tersebut. Namun, Direktur Utamanya, dr. Lies Dina Liastuti belum mau merinci.

“Kita masih menunggu, karena yang hasil ke kita itu baru enam dari semua yang kita kirim,“ kata dr. Lies.

Tidak semua obat tersebut berasal dari dokter. “Kalau dibilang resep dokter, ada juga yang beli di luar. Ada yang generik ada yang bermerek,“ tambah Lies.

Lima merek obat ditarik dari peredaranBadan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memerintahkan penarikan dan pemusnahan lima sirup obat yang memiliki kandungan Etilen Glikol (EG) melebihi ambang batas aman.

“Penarikan mencakup seluruh outlet antara lain Pedagang Besar Farmasi, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik, Toko Obat, dan praktik mandiri tenaga kesehatan,” demikian pernyataan yang dikutip dari situs BPOM, Kamis (20/10).

Dari hasil sampling dan pengujian terhadap 39 bets dari 26 sirup obat sampai dengan 19 Oktober 2022, diketahui adanya kandungan cemaran EG yang melebihi ambang batas aman pada 5 (lima) produk berikut:

Termorex Sirup (obat demam), produksi PT Konimex, kemasan dus, botol plastik @60 ml.Flurin DMP Sirup (obat batuk dan flu), produksi PT Yarindo Farmatama, kemasan dus, botol plastik @60 ml.Unibebi Cough Sirup (obat batuk dan flu), produksi Universal Pharmaceutical Industries, kemasan Dus, Botol Plastik @ 60 ml.Unibebi Demam Sirup (obat demam), produksi Universal Pharmaceutical Industries, kemasan Dus, Botol @ 60 ml.Unibebi Demam Drops (obat demam), produksi Universal Pharmaceutical Industries, kemasan Dus, Botol @ 15 ml.Namun demikian, kata BPOM, hasil uji cemaran EG tersebut belum dapat mendukung kesimpulan penggunaan sirup obat memiliki keterkaitan kejadian gagal ginjal akut.

Selain penggunaan obat, masih ada beberapa faktor risiko penyebab kejadian gagal ginjal akut seperti infeksi virus, bakteri Leptospira, dan multisystem inflammatory syndrome in children (MIS-C) atau sindrom peradangan multisistem pasca COVID-19.

Peluang tindak pidanaPengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo melihat adanya peluang temuan ini ditindaklanjuti di ranah pidana.

“Bisa jadi bukti pendahuluan bagi polisi untuk masuk adanya dugaan tindak pidana yang dilakukan koorporasi. Minimal dia bisa menggunakan pasal karena kelalaiannya mengakibatkan cedera atau hilangnya nyawa orang lain,” kata Sudaryatmo.

YLKI, kata Sudaryatmo juga melihat langkah yang diambil BPOM terlambat mengingat korban yang terus bertambah.

“Kalau Badan POM mengakui bahwa kandungan Etilen Glikon melebihi ambang batas, ini kelalaian Badan POM juga. Jadi kenapa baru bisa mendeteksi setelah ada kasus? Artinya surveilans yang dimilik Badan POM selama ini tidak efektif,” katanya.

Secara perdata, tambah Sudaryatmo, ahli waris korban bisa meminta pertanggung jawaban hukum secara perdata kepada industri farmasi dan juga kepada pemerintah casu quo Badan POM.

Wartawan Yuli Saputra di Bandung ikut berkontribusi dalam artikel ini.

Tokoh

Partai

Institusi

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Negara

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi