Dana desa menjanjikan kesejahteraan dan pembangunan bagi desa. Akan tetapi dana triliunan per tahun tersebut justru menjadi lahan basah baru bagi koruptor. Pemerintah pusat pun menjadi tersandera kewajiban mengalirkan dana tersebut. Untuk apa pemerintah mengucurkan dana hanya untuk menjadi bahan korupsi? Bukankah pemerintah memiliki kuasa untuk menghukum daerah?
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]P[/dropcap]ada tanggal 15 Januari 2014 Undang-undang (UU) nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa resmi disahkan. Undang-undang ini menjadi angin baru dalam otonomi daerah di Indonesia. Untuk pertama kalinya desa mendapat perhatian khusus dan spesifik dalam hubungan dengan pemerintah pusat. Undang-undang ini dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan dengan membangun mulai dari desa.
Salah satu upaya dari menyejahterakan desa tersebut adalah dengan mengucurkan dana desa. Dana desa menjadi amanat dari UU tersebut berdasarkan pasal 72 dalam Undang-undang tersebut. Pemerintah melakukan perimbangan dana dari pusat ke daerah melalui dana desa sebagai tambahan dana yang telah diberikan sebelumnya. Melalui dana tersebut desa diharapkan dapat lebih mandiri dan sejahtera serta cita-cita pemerintah untuk membangun dari pinggiran dapat terwujud.
Sayangnya upaya menyejahterakan desa tersebut mengalami ganjalan. Dana desa yang terlihat menjanjikan justru menjadi ladang korupsi baru bagi pejabat-pejabat di daerah. Perangkat pemerintahan di desa seolah tak terbiasa dengan dana miliaran dan terpukau oleh jumlahnya. Pemerintah pusat menjadi tersandera oleh desentralisasi melalui dana desa tersebut. Seolah-olah ada kewajiban besar mengalirkan dana desa terlepas dari kondisi daerah yang tidak akuntabel. Pemerintah pusat seolah dibuat tak bergigi dan tunduk pada keharusan mengalirkan dana triliunan per tahun.
Meski begitu, dana desa juga menjadi tanda pemerintah pusat tersandera oleh desentralisasi. Pemerintah seolah sangat wajib mengalirkan dana desa kepada daerah-daerah terlepas dari kondisi daerah-daerah tersebut. Ironisnya dana miliaran per desa tersebut justru menjadi ladang korupsi baru bagi pejabat di daerah.
Dana desa seharusnya dapat menjadi sarana unjuk kekuasaan pemerintah pusat kepada pemerintah pusat. Alih-alih mengalirkan dana triliunan begitu saja ke daerah lalu menjadi objek korupsi, pemerintah dapat menunjukkan taringnya melalui dana ini. Ada sejumlah cara pemerintah pusat untuk menunjukkan kuasanya melalui dana desa.
Perjalanan Dana Desa
Berdasarkan UU Desa, dana desa bersumber dari belanja pemerintah dengan mengefektifkan program yang berbasis desa. Alokasi dana desa merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota. Dana desa ini mengambil porsi sekurang-kurangnya 10 persen dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK).
Mekanisme pengalokasian dana desa dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Berdasarkan peraturan ini, Direktorat Jenderal Kementerian Keuangan melakukan perincian dana desa untuk setiap kabupaten/kota secara berkeadilan. Perincian ini dilakukan berdasarkan dua jenis alokasi yaitu alokasi dasar dan alokasi yang berdasar empat indikator yaitu luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin dan indeks kesulitan geografi..Dana desa disalurkan oleh pemerintah melalui Rekening Kas Umum Negara (RKUN) kepada pemerintah daerah melalui Rekening Kas Umum Daerah (RKUD). Selanjutnya dana tersebut dialirkan ke desa melalui Rekening Kas Desa (RKD).
#MenkeuSMI: Penyaluran Rp60 T u/ #DanaDesa bertujuan tingkatkan penghasilan masy desa shg diharapkan mereka bs berpartisipasi di pasar modal pic.twitter.com/hz5bpLdfN3
— Kementerian Keuangan (@KemenkeuRI) August 13, 2017
Penyaluran dana desa dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah tersebut tidak dilakukan secara serta-merta. Pemerintah daerah memiliki beberapa kewajiban yang terlebih dahulu harus dipenuhi. Daerah harus terlebih dahulu melaporkan Perda APBD pada tahun tersebut. Selain itu, pemerintah daerah juga harus membuat peraturan walikota/bupati tentang tata cara pembagian dan penetapan rincian dana desa. Pemerintah daerah juga perlu menyusun laporan realisasi penyaluran dan konsolidasi penggunaan Dana Desa tahun sebelumnya. Hal yang serupa berlaku di tingkat desa. Pemerintah desa berkewajiban membuat peraturan desa tentang APB Desa dan juga laporan penyaluran dana tahun sebelumnya.
Sejauh perjalanan UU Desa, pemerintah menggelontorkan dana cukup besar untuk dana desa. Pada tahun 2015, dana Rp 20,76 triliun dialirkan pemerintah untuk dana desa. Dana tersebut meningkat pada tahun 2016 menjadi Rp 46,98 triliun. Di tahun ini, dana tersebut kembali melonjak menjadi Rp 60 triliun. Angka tersebut direncanakan bertambah lebih besar di tahun depan yaitu mencapai Rp 120 triliun.
Sayangnya dana tersebut tidak selalu mengalir mulus di lapangan. Dana begitu besar tersebut justru menjadi lahan basah baru bagi praktik korupsi. Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendes PDT) dilaporkan telah menerima 200 laporan pelanggaran administrasi dari 600 laporan tentang dugaan penyelewengan dana desa. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menunjukkan bahwa sepanjang Januari-Juni 2017, sudah ada sebanyak 459 laporan mengenai dugaan korupsi dana desa.
Menjadi Sarana Unjuk Kuasa Pemerintah Pusat
Dana desa yang begitu besar sebenarnya dapat menjadi daya tawar pemerintah kepada daerah. Pemerintah dapat menahan aliran dana ke daerah baik itu berupa Dana Alokasi Umum (DAU) atau DAK. Hal yang sama berlaku pada dana desa. Pemerintah dapat menggunakan dana ini sebagai instrumen “penghukum” kepada daerah yang tata kelolanya amburadul atau bahkan korup.
Pemerintah pusat kerapkali dapat menahan pengalokasian dana dari pusat ke daerah. Kementerian keuangan sebagai tangan pemerintah pusat misalnya dapat menahan DAU pada saat pemerintah daerah lalai membuat laporan pertanggungjawaban keuangan daerah. Kondisi ini juga kerap dilakukan jika pemerintah daerah mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) APBD. Langkah untuk menahan aliran dana ke daerah juga kerap dilakukan misalnya saat penerimaan pada APBN tidak mencapai target.Hal yang serupa seharusnya berlaku pada dana desa. Pemerintah daerah yang tata kelolanya kacau atau bahkan terindikasi korup seharusnya dapat ditahan aliran dana untuk desa-desanya. Dalam banyak kasus dana desa yang dikorupsi misalnya, pemerintah memiliki kuasa untuk menahan aliran dananya. Hal ini agar pemerintah tidak tersandera kewajiban mengucurkan dana desa padahal dana tersebut menjadi sarang korupsi di suatu daerah.
Pemerintah juga seharusnya dapat menggunakan dana desa sebagai instrumen mengurangi kesenjangan antarwilayah. Jika melihat kondisi teranyar, pasca diberlakukannya UU Desa, ketimpangan antarwilayah di Indonesia belum mengalami perbaikan yang berarti. Jika diukur dengan indeks gini rasio, beberapa provinsi di Indonesia masih memiliki gini rasio di angka 0,4. Angka tersebut dianggap angka yang membahayakan. Hal ini membuat skema pengalokasian dana desa perlu mendapatkan penyesuaian.
Formula pengalokasian dana desa yang ada saat ini dianggap menyebabkan ketimpangan. Skema yang ada saat ini dianggap tidak berhasil menangkap kondisi riil di lapangan. Hal ini dikarenakan sebagian besar besaran dana ke setiap desa dibagi rata tanpa melihat variabel-variabel di dalam desa tersebut. Kondisi antara satu desa di suatu provinsi dengan desa di provinsi lain dapat memiliki perbedaan. Sebagai contoh, sistem desa berbentuk nagari di Sumatera Barat memiliki luas wilayah yang lebih besar ketimbang desa yang lain. Perbedaan juga dapat terjadi antara desa yang memiliki banyak penduduk dengan penduduk yang lebih sedikit.
Skema yang dilakukan dalam alokasi dana desa tersebut adalah skema 90 persen berbanding 10 persen. Maksud dari skema ini adalah pemerintah mengalokasikan 90 persen dana secara merata ke seluruh desa. Sisanya 10 persen dibagi berdasarkan empat variabel yaitu luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin dan indeks kesulitan geografi.
Jika memang pemerintah hendak mengurangi kesenjangan antarwilayah dimulai dari daerah, skema pengalokasian tersebut sebaiknya diubah. Besaran 90 persen berbanding 10 persen dapat diubah dengan mengatur persentase ke empat indikator di atas menjadi lebih besar. Dengan begini, upaya untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah dapat dijalankan lebih mudah.
Penyebab ICW Minta Pemerintah Batalkan Kenaikan Dana Desa https://t.co/m4HhAmo92Z
— TEMPO.CO (@tempodotco) August 20, 2017
Secara spesifik, sebagai mekanisme unjuk kuasa pemerintah pusat pada daerah, variabel yang juga penting adalah tingkat akuntabilitas daerah. Daerah yang memiliki tingkat korupsi tinggi dapat mendapatkan porsi dana yang lebih rendah ketimbang desa lainnya. Tingkat korupsi ini misalnya dapat dilihat dari indeks persepsi korupsi yang ada pada daerah tersebut. Selain itu, tingkat laporan penyalahgunaan dana desa juga dapat menjadi indikator bagi variabel ini.
Dengan skema alokasi dana desa yang selalu dapat disesuaikan, pemerintah dapat menunjukkan kembali kuasanya terhadap pemerintah daerah. Pemerintah tidak perlu ragu mengatur alokasi dana berdasarkan tingkat akuntabilitas desa. Tentu pemerintah juga perlu memperhatikan aspek pemerataan sehingga dana ini dapat menjadi solusi atas kesenjangan di negeri ini. Sebagai penyempurna, mekanisme pengawasan yang menyeluruh diperlukan agar pelaksanaannya berjalan optimal.