PEMILIHAN Serentak 2024 telah menjadi salah satu panggung terbesar bagi sejarah demokrasi Indonesia.
Perhelatan ini dipandang sebagai wujud nyata kedaulatan rakyat, di mana masyarakat memiliki kesempatan memilih pemimpin yang merepresentasikan aspirasinya.
Namun, di balik narasi optimisme tersebut, tersisa residu yang terus mengemuka: netralitas ASN dan pejabat daerah yang hanya ilusi, politik uang yang dirayakan dengan bahagia, dan bermunculannya kandidat-kandidat yang defisit secara kognitif tetapi mendominasi kontestasi.
Demokrasi Indonesia seolah tengah meroyan, kondisi kritis yang diwarnai ketegangan antara idealisme dan kenyataan.
Fenomena ini semakin nyata dengan kemenangan kotak kosong di beberapa daerah, seperti Pangkalpinang dan Bangka, serta dominasi suara tidak sah di Banjarbaru.
Baca juga: Politik Gimik Calon Kepala Daerah
Lamat-lamat, muncul pola resistensi dari masyarakat yang menolak sistem politik yang dianggap tidak lagi merepresentasikan keadilan dan aspirasi publik.
Namun, ancaman terbesar bukanlah fenomena kotak kosong, melainkan hadirnya pemimpin yang mengalami defisit kompetensi substantif.
Pemimpin seperti ini sering kali hanya menjadi simbol ornamental tanpa kapasitas memadai, produk dari demokrasi yang lebih menghargai popularitas ketimbang kompetensi.
Pembangkangan sipil sebagai koreksi moral
Konsep pembangkangan sipil yang diperkenalkan oleh Henry David Thoreau dalam esainya Civil Disobedience dapat menjadi lensa untuk memahami dinamika politik ini.
Thoreau memandang pembangkangan sipil sebagai perlawanan moral terhadap ketidakadilan, yang dilakukan secara beradab dan non-kekerasan.
Ia menekankan pentingnya peranan pemerintah sebagai instrumen penciptaan keadilan, bukan alat untuk mendikte moralitas rakyat.
Dalam konsepsi Thoreau, pemerintah seharusnya tidak menjadi instrumen yang mendikte moralitas rakyat, melainkan alat yang tunduk pada prinsip-prinsip keadilan.
Pemerintah yang terbaik menurutnya adalah yang paling sedikit memerintah (that government is best which governs least).
Thoreau menekankan pada prinsip meminimalkan peran pemerintah, khususnya dalam kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Baca juga: Politik Uang: Sanderaan Demokrasi
Ketika masyarakat menolak mendukung kandidat yang tersedia, mereka sebenarnya sedang mengartikulasikan kekecewaan mendalam terhadap sistem politik yang dianggap disfungsional.