Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri memperingati dua dekade peristiwa bom Bali I di Nusa Dua, Rabu (12/10). Kegiatan bertema “Harmony in Diversity” itu dilakukan bersama sejumlah tokoh.
Kepala Densus 88, Irjen Marthinus Hukom, mengatakan, aksi terorisme, termasuk bom Bali I, didasarkan pada keinginan mencari pengakuan martabat. Namun, lupa akan hal lain yang beririsan dengan hal tersebut: setiap manusia mempunyai hak sama untuk dihargai.
“Ketika kita merasa martabat kita lebih tinggi, maka di situlah terjadi superioritas dan kita akan menzalimi orang lain,” katanya dalam keterangannya.
Menurutnya, Indonesia memiliki tekad dan semangat yang kuat untuk bergandengan tangan menciptakan perdamaian tanpa kekerasan serta menjaga keamanan bagi setiap orang. Demi terwujudnya visi tersebut, diperlukan kerja sama lintas sektor, yang meliputi pemerintah, aparat keamanan, tokoh masyarakat dan agama, hingga publik. “Tanpa itu semua, cita-cita bersama mewujudkan perdamaian itu sulit tercapai.”
Sementara itu, aktivis sosial, Yenny Wahid, mengingatkan, Tuhan tidak butuh pembelaan karena Mahaperkasa. Ini sesuai wejangan almarhum ayahnya, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Namun, sambungnya, peristiwa bom Bali I terjadi dengan dalih Tuhan. Padahal, yang perlu mendapat pembelaan dari kekejaman makhluk lainnya adalah ciptaan Tuhan.
“Bom Bali merenggut nyawa 202 orang tidak bersalah dan 88 di antaranya adalah warga Australia,” ujar Yenny.
Ali Imron, salah satu aktor bom Bali I, divonis penjara seumur hidup atas perannya pendalangi aksi teror tersebut. Belakangan, dia menyesal atas serangan teror paling mematikan di Asia Tenggara tersebut.