“Bila perlu sebelum pernikahan harus diatur persyaratan yang tegas, yakni mereka masih dalam posisi kudus, suci artinya perawan atau tidak. Untuk itu, harus ada tes keperawanan. Jika ternyata sudah tidak perawan lagi, maka perlu tindakan preventif dan represif dari pemerintah.” ~ Binsar Gultom
PinterPolitik.com
Bumi gonjang ganjing…
Di alam maya pewayangan, Dewi Shinta terpana. Di dunia, seorang hakim tinggi bernama Binsar Gultom tiba-tiba nongol dengan ide pembuktian keperawanan sebelum pernikahan. Wahai, sang Dewi mau pingsan rasanya. Terbayang kembali bagaimana dirinya dulu rela moksa ditelan bumi, daripada harus kembali bertemu dengan Sri Rama. Suaminya yang gagah perkasa, tapi minim kepercayaan pada istrinya. Padahal, ia telah berusaha membuktikan kesuciannya dengan selamat dari jilatan panas api. Namun rasa curiga itu, telah menggerogoti cinta kekasihnya.
Apalah arti cinta tanpa saling percaya? Pertanyaan itu ternyata masih tersisa di dunia, tepatnya di salah satu negara yang terlewati khatulistiwa. Ketika negara-negara lain sudah menginjakkan kaki di bulan, mengarungi samudra ruang angkasa laksana Sang Jatayu Raksasa. Negara ini, Indonesia namanya, masih saja ada yang bergelut dengan masalah kesucian, keperawanan. Siapa lagi yang akan dipersalahkan dan dijadikan korban, tentu lagi-lagi perempuan. Dalam hatinya, Dewi bertanya-tanya, mengapa masih ada penegak hukum dan keadilan yang pemikirannya kuno begini?
Hakim Binsar Gultom Wacanakan Tes Keperawanan dan Keperjakaan Sebelum Pernikahanhttps://t.co/g7SZer9l5X pic.twitter.com/nOwOSIaj7T
— INFIA (@infiadotco) 11 September 2017
Dewi paham betul, mengapa ketika itu Rama memintanya membuktikan kesucian dan kesetiaan dirinya. Bagi titisan Dewa Wishnu, kedua hal itu adalah segalanya. Namun apakah kesetiaan tersebut harus diperlihatkan hanya dengan berupa kesucian fisik semata? Buktinya, setelah dibuktikan pun kecurigaan Rama sedikitpun tak berkurang dari hatinya. Lalu apa gunanya semua tes menyakitkan yang harus ia lakukan? Karena toh pada akhirnya, harus kembali terbuang di hutan. Ditinggalkan, dinistakan. Lalu di mana korelasi antara kesucian dengan cinta dan kasih sayang itu?
Mengingat masa lalu, memang menyesakkan. Namun lebih menyakitkan lagi, ternyata dosa Rama masih saja ada yang terbawa kaumnya hingga di abad modern ini. Banyaknya kecaman yang dilontarkan, baik dari para aktivis perempuan, pembela Hak Asasi Manusia, dan para akademisi, cukup menghibur hati Dewi. Setidaknya, ia tak perlu sampai turun ke bumi untuk mengutuk hakim itu sendiri. Ternyata warga di negeri Pertiwi ini, sudah banyak belajar dari dosa masa lalunya. Dan itulah akhir ceritanya, karena sang Dewi hendak mandi dulu di pancuran. (R24)