Tak hanya digrebek, mereka juga digiring ke kantor kepolisian dalam keadaan telanjang.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]S[/dropcap]ebagian masyarakat Indonesia, baik yang mengisi dunia maya atau tidak, pasti sudah mengetahui dengan baik alur cerita penggrebekan pesta seks di Atlantis Gym and Sauna, yang berlokasi di Ruko Kokan Permata Blok B 15-16 Kelapa Gading RT 15/03 Kelapa Gading Barat, pada Ahad malam (21/5) lalu. Polres
Dari 144 orang yang terjaring, empat di antaranya adalah warga asing. “Dua warga Malaysia, satu warga Singapura, dan satu warga Inggris.” ujar Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres, Jakarta Utara, Nasriadi.
Ruko Atlantis (Foto: Istimewa)
Polres Jakarta Utara sebelumnya juga telah menerima laporan terkait adanya kegiatan mencurigakan ke arah prostitusi di lokasi itu. Akhirnya, selama dua minggu penuh, pihak kepolisian memantau ruko tersebut. Atlantis sendiri adalah tempat olah kebugaran tubuh yang cukup terkenal di daerah Kelapa Gading.
Saat pengepungan dilakukan di sana, petugas keamanan gedung sempat menghadang, namun tak sulit bagi polisi untuk tetap dapat masuk. Mereka selanjutnya menelusuri lantai dua dan tiga gedung, dan menangkap basah kegiatan pesta bertajuk ‘The Wild One’ yang diisi oleh pria penyuka sesama jenis atau homoseksual.
(Foto: Antara)
Dari penggerebekan itu pula, polisi mengamankan kamera tersembunyi atau CCTV, alat kontrasepsi (kondom), fotokopi izin usaha, uang tunai bernilai jutaan, iklan kegiatan, serta telepon seluler. Selanjutnya, seluruh pengunjung, yang berjumlah 144 beserta pengelola gedung, dibawa ke kantor kepolisian untuk proses penyidikan.
Polisi langsung saja menetapkan 10 orang yang terdiri dari pengelola gedung dan penari striptis sebagai tersangka atas Pasal 30 juncto Pasal 4 ayat 2 dan atau Pasal 36 juncto Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pornografi. Mereka terancam hukuman maksimal 6 tahun, serta denda maksimal Rp. 3 miliar. Tak hanya itu, baik tersangka dan seluruh pengunjung yang dijaring, harus menjalani tes urin untuk memastikan ada tidaknya pemakaian narkoba.Pada saat berita ini dituliskan, Polres Jakarta Utara yang bekerjasama dengan Badan Narkotika Nasional, sudah mengeluarkan hasil bahwa tujuh orang pengunjung pesta terbukti positif mengonsumsi narkoba jenis ganja dan sabu-sabu. “Dari hasil tes urin, terbukti tujuh orang mengonsumsi narkoba.” ujar Kapolres Metro Jakarta Utara Komisaris Besar, Dwiyono.
Ketujuh orang yang mengonsumsi ganja dan sabu-sabu tersebut, adalah warga negara Indonesia, sementara dua di antaranya juga terjerat pasal Pornografi.
Foto-Foto yang Tersebar Luas dan Kecamannya
Ketika kabar penggerebekan Atlantis ini merebak pertama kalinya, publik, terutama yang aktif memantau media sosial melihat bagaimana para pengunjung dibawa polisi tanpa memakai sehelai baju, atau dengan kata lain telanjang. Atas sensasi itu, foto dokumentasi kepolisan yang seharusnya tak boleh bocor, malah sibuk beredar dan didistribusikan di dunia maya.
Hal ini, mengundang kecaman dan protes dari berbagai kalangan, terutama lembaga yang berkonsentrasi pada isu-isu Hak Asasi Manusia dan perlindungan hukum. Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Institue for Criminal Justice Reform (ICJR), serta Arus Pelangi misalnya, mereka mengecam penggerebekan polisi yang dinilainya melanggar fair trial atau peradilan yang jujur ketika melakukan pemeriksaan TKP dengan tidak memberikan waktu kepada pengunjung memakai baju.
Ketidakadilan juga berlanjut dengan dihalang-halanginya pihak LBH Jakarta melakukan pendampingan hukum oleh Polres Jakarta Utara. Selain itu, pihak kepolisian tidak menyediakan jasa penerjemah dan konselor terhadap pengunjung warga negara asing. Dengan demikian, Polres melanggar beberapa ketentuan penggrebekan.
Tak hanya LBH Jakarta, ICJR, dan Arus Pelangi, Komisi Nasional atau Komnas HAM turut menyesalkan aksi penggrebekan yang tak manusiawi. Menurut Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Eksternal/Pelapor Khusus Pemenuhan Kelompok Minoritas, Muhammad Nurkhoiron, aduan yang diterima pihaknya, para pengunjung yang terjaring digrebek, ditangkap, dan digiring menuju Polres Jakarta Utara setelah sebelumnya ditelanjangi dan dimasukkan ke dalam bis angkutan kota.Selain itu, para pria yang ditangkap juga diperlakukan secara sewenang-wenang oleh kepolisian. Padahal, mereka sudah didampingi kuasa hukum dari Koalisi Adokasi untuk Tindak Kekerasan Terhadap Kelompok Minoritas. “Dan kemudian, (kepolisian) menyebarkan foto tersebut secara viral melalui pesan singkat, media sosial, maupun pemerintahan.” tambahnya.
Hal ini menyebabkan sebuah konsepsi menggeneralisir dalam masyarakat bahwa homoseksual adalah sumber kriminal dan asusila. Sedangkan dalam pasal 28I (2) UUD 1945 disebutkan bahwa setiap orang bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang berisfat diskriminatif tersebut. Komnas HAM meminta agar pada saat melakukan proses hukum terhadap kelompok minoritas, dengan orientasi seksual yang berbeda, Polres Jakarta Utara dapat menghormati HAM.
Dengan demikian, secara tegas dan jelas, pihak kepolisian Jakarta Utara melakukan aksi sewenang-wenang dan penyalahgunaan kekuasaan, tidak menghormati HAM, dan tidak menghiraukan asas praduga tak bersalah yang seharusnya dihormati dalam proses penegakan hukum, dalam menyebarkan foto pengunjung, menghalangi bantuan hukum, dan lain-lain.
Pihak kepolisian sendiri menolak jika pihaknya dikatakan menelanjangi para pengunjung. “Kita tidak menemukan seperti itu. Bawa ke Polres tidak (ditelanjangi), pakai baju semua. Kan banyak orang di sana yang lihat. Enggak lah ya enggak ada itu (ditelanjangi),” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Raden Prabowo Argo Yuwono di Mapolda Metro Jaya.
Sedangkan AKBP Nisradi yang memimpin penggrebekan juga menyangkal tuduhan penelanjangan ini. Ia mengungkapkan bahwa saat tertangkap telanjang, pakaian sebagian besar pelaku dititipkan di loker lantai satu. Para pelaku pun hanya menggunakan handuk yang disediakan. Polisi tidak menemukan kegiatan seksual, tetapi menangkap basah sejumlah orang yang sedang melakukan striptis.
Rawannya Pembentukan Stereotiping dalam Kasus Atlantis
Tak sulit menebak sikap dan respon yang dikeluarkan pihak pemerintah terhadap polemik yang bersinggungan dengan ranah LGBT. Ketua Fraksi Partai Keadilan Sosial (PKS), Jazuli Zuwaini, sudah berkata jika yang dilakukan pengunjung Atlantis melanggar Pancasila.
Tak perlu kaget pula jika Menteri Pertahanan (Menhan), Ryamizard Ryacudu mengungkap kegusarannya terhadap kasus Atlantis lewat ujaran, “LGBT lah, apa lah. Marah Tuhan itu. Tuhan aja marah, masa saya enggak marah. Enggak boleh terjadi itu. Menjijikan. Tahu enggak Nabi Luth? Marah Tuhan. Langsung dihabiskan itu umat Nabi Luth. Kita sebagai umat Tuhan yang benar enggak suka juga,” katanya kemudian.
Ryamizard Ryacudu (Foto: Tirto)
Menanggapi hal ini pula, Polda Jawa Barat membentuk satuan tugas khusus (Satgasus) guna menindak jaringan (LGBT). Kapolda Jakabar Inspektur Jendral Polisi Anton Charliyan berkata, pihaknya memang sengaja membentuk ini guna mengantisipasi agar kasus pesta gay seperti yang berlangsung di Kelapa Gading Barat agar tak terjadi di Jawa Barat. “Tidak menutup kemungkinan di Jabar dengan jumlah penduduk banyak juga bisa terjadi. Makanya kami bentuk tim Satgasus.” Jelasnya.
Pernyataan dan respon beberapa tokoh di atas juga tak aneh bila kita dengar dari masyarakat mayoritas. Yaitu, pernyataan yang menyudutkan dan melenceng terhadap LGBT. Pandangan pemerintah tentang LGBT tersebut sedikit banyak adalah bentuk bagaimana sistem hukum dan tata negara yang masih bercampur aduk dengan keputusan lembaga agama, ratifikasi berbagai konvensi HAM internasional, juga keputusan yang bersifat politis. Sehingga, semangat reformasi yang salah satunya terwujud dalam UU HAM No. 39/1999, belum menjadi acuan perubahan kebijakan dan cara pandang masyarakat.
Maka tak heran jika UU Pornografi yang tak ketat ukuran serta kriterianya dibentuk tanpa paradigma tersebut. UU Pornografi jelas mengatur dan mengkriminalisasi homoseksual lewat Pasal 4 ayat (1) UU No. 44/2008 yang menyebut perbuatan menyebarkan aktivitas pornografi yang memuat persenggamaan, termasuk persenggamaan menyimpang. Yang dimaksud dengan persenggamaan menyimpang antara lain persenggamaan seksual dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual.
Dalam kasus Grebek Atlantis, negara atau pemerintah tak bisa mencampuri urusan privat warganya selama kegiatan tersebut dilakukan di tempat tertutup dan pribadi, serta semua aktivitas tersebut tak disebarluaskan. UU Pornografi dalam sejarahnya, berbatas pada intensi untuk menyebarkan konten berbau pornografi atau tidak.
(Foto: Reuters)
Pengunjung Atlantis, tak menyebarkan kegiatannya dan melakukannya di ruangan tertutup yang dijaga ketat, sehingga mereka seharusnya bisa lepas dari jeratan UU Pornografi. Namun, perlu diingat pula, aktivitas seks dan menikmati penari telanjang tak hanya dilakukan kelompok homoseksual, kelompok heteroseksual pun banyak pula yang menikmatinya.
Selain itu, kegiatan di Atlantis, layak mendapat campur tangan pemerintah dalam hal penyalahgunaan izin usaha. Sebuah tempat gym adalah tempat olahraga, bukan tempat penyedia penari telanjang, apalagi bersenggama. Menurut sumber yang terkait dengan kasus tersebut menyatakan, penggrebekan Atlantis pantas mendapat campur tangan kepolisian karena di dalamnya terdapat praktik prostitusi yang dilakukan sejak hampir dua tahun.
Membangun pembelaan yang adil dan jujur atas kasus Atlantis amatlah penting. Sebab, peristiwa ini menyangkut kelompok minoritas yang kerap tertindas di masyarakat, yakni LGBT. Penggrebekan yang tak manusiawi, penyebaran foto-foto dokumentasi, serta halangan akses bantuan hukum patut kita protes dan suarakan. Di sisi lain, pelanggaran hukum berupa penyalahgunaan tempat, adanya praktik prostitusi, serta penggunaan narkoba, memang menjadi ranah kepolisian bertindak.
Kelompok LGBT di negeri ini sama tertindasnya seperti kaum buruh, petani, perempuan, orang-orang difabel, umat Syiah, umat Ahmadiyah, orang Papua, dan seterusnya. Memperjuangkan LGBT bukanlah sebuah aksi menentang Pancasila seperti yang dikatakan oleh Ketua Fraksi PKS, Jazuli Zuwaini. Melainkan sebuah pengakuan identitas dan perlindungan dari represi, diskriminasi, dan kekerasan yang terus terjadi hingga hari ini. (Berbagai Sumber/A27)