Edward Soeryadjaya: Dongeng Kerajaan Astra

Edward Soeryadjaya: Dongeng Kerajaan Astra

23 November 2017, 11:54

Penetapan tersangka sekaligus penahanan putra sulung pendiri PT Astra Internasional, Edward Soeryadjaya oleh Kejaksaan Agung kembali membuka perdebatan terkait hubungan bisnis dan politik.

PinterPolitik.com
“Under every stone lurks a politician” – Aristophanes (446-386 BC), komedian Yunani kuno.
[dropcap]E[/dropcap]ntah apa yang dipikirkan oleh Edward ketika Bank Summa miliknya dilikuidasi pada tahun 1992. Haruskah ia marah, kecewa, atau cemas?
Pasalnya pemerintahan Presiden Soeharto saat itu terlihat ‘pilih kasih’. Bank Summa milik Edward dengan total kredit macet mencapai Rp 1 triliun diberikan status likuidasi, sementara Bank Pacific milik Ibnu Sutowo tidak mendapatkan status tersebut. Bank Pacific hanya dinyatakan bangkrut dan ditutup, padahal utang bank tersebut mencapai Rp 2 triliun. Sebagai catatan, sebuah bank yang dilikuidasi diharuskan untuk menyelesaikan semua utangnya.
Kini, entah perasaan apalagi yang ada dalam benak Edward ketika ia secara resmi telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan dalam kasus korupsi dana pensiunan PT Pertamina (Persero) senilai Rp 1,4 triliun – perusahaan yang dibesarkan oleh Ibnu Sutowo. Kejaksaan menahan putra pertama pendiri PT Astra Internasional, William Soeryadjaya ini untuk mencegah Edward mempengaruhi saksi atau menghilangkan barang bukti.

Attorney General’s Office Detains Edward Soeryadjaya for Alleged Involvement in Pertamina … https://t.co/3Ax8rNuKit pic.twitter.com/G3dUdaorM0
— The Jakarta Globe (@thejakartaglobe) November 21, 2017

Bak durian runtuh, ternyata pria kelahiran 21 Mei 1942 ini juga menjadi terdakwa dalam kasus keterangan palsu di sebuah yayasan sekolah di Jawa Barat. Edward disebut telah 13 kali mangkir sebagai terdakwa keterangan palsu akta notaris Yayasan Badan Perguruan Sekolah Menengah Kristen Jawa Barat (BPSMK-JB).Publik mungkin tidak banyak yang tahu tentang sosok Edward. Namun, jika mengikuti gelaran Pilgub DKI Jakarta beberapa waktu lalu, sebagian dari kita pasti ingat ketika Sandiaga Uno sempat dilaporkan ke polisi terkait pemalsuan dokumen aset sebuah perusahaan. Dialah Edward Soeryadjaya yang membuat laporan polisi tersebut.
Atau, mundur lagi ke belakang, mungkin banyak yang memperhatikan pemberitaan ketika pada Juni 2014 lalu, Direktur Ortus Holdings Ltd ‘melabrak’ Wakil Gubernur Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait ribut-ribut proyek monorel. Dialah Edward Suryadjaya, yang saat itu keluar dari Balai Kota dengan wajah cemberut.
Kini, kasus-kasus yang membelitnya menimbulkan tanda tanya besar, apakah putra William Soeryadjaya ini memang punya rekam jejak bisnis yang kurang baik, atau ini hanya sebuah ‘ketidakberuntungan’? Bagaimana sebetulnya kiprah Edward dalam bisnis dan hubungannya dengan politik?
Pertaruhan Trah Soeryadjaya
Hubungan Edward Soeryadjaya dengan Astra – bahkan dengan saudara-saudarinya – memang tidak begitu baik, terutama pasca krisis yang terjadi pada tahun 1992, seperti disebutkan di awal tulisan. Saat itu, Bank Summa milik Edward terbelit utang.
Dari Rp 1,5 triliun kredit yang disalurkan Bank Summa, sekitar Rp 1 triliun-nya macet. Utang Bank Summa salah satunya berasal dari Handelsbank Jerman lewat pinjaman yang nilainya mencapai 150 juta DM (Deutsch Mark) atau sekitar Rp 1,2 triliun.

Akibat utang-utang tersebut, William Soeryadjaya sampai harus turun tangan membantu kesulitan putranya. Status likuidasi membuat William harus menyelesaikan pembayaran utang bank milik anaknya tersebut. Sekitar 10 juta lembar saham Astra Internasional dilepas ke publik – harga yang harus dibayar oleh William. Harga itu terasa sangat mahal karena sekaligus manandai lepasnya kendali keluarga Soeryadjaya atas Astra.
Beberapa pihak yang tahu persoalan ini menyebut peristiwa tersebut melahirkan kerenggangan hubungan antara Edward dengan adik-adiknya: Edwin, Joyce dan Judith. Saudara-saudaranya menuduh Edward sebagai biang kerok kehancuran bisnis keluarga dan menyebabkan trah Soeryadjaya kehilangan kontrol atas Astra.Selentingan juga bermunculan terkait adanya pihak-pihak yang memang ingin mengambil alih Astra – perusahaan yang baru melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 1990. William ‘dipaksa’ melepas saham perusahaan demi membayar utang bank milik anaknya, sementara di saat yang sama ada bank lain yang utangnya mencapi Rp 2 triliun, tetapi tidak mendapatkan perlakuan yang sama dan diperlakukan secara ‘istimewa’ oleh Soeharto.
Walaupun demikian, kepasrahan dan keteguhan William berhasil membuat bisnis keluarganya tetap bertahan dan bahkan kembali memasuki masa kejayaan beberapa tahun setelahnya. Edward dan adik-adiknya juga melebarkan sayap bisnis ke berbagai sektor, mulai dari finansial hingga ke pertambangan.
Jika krisis tahun 1992 itu tidak terjadi, maka mungkin status putra mahkota Astra akan menjadi kado terindah bagi pria yang pernah mengenyam pendidikan di Ruhr University, Jerman ini. Tapi, apa mau dikata mimpi Edward tersebut justru digantikan oleh status perusahaan yang berpindah tangan.
Edward dan Edwin Soeryadjaya
Hubungan yang renggang – bisa juga disebut sedikit bertolak belakang – dengan saudara-saudaranya, salah satunya bisa terlihat di dunia politik. Pada Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu, Edward mendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang disebutnya sebagai ‘teman’. Ahok sendiri memang sempat mengakui bahwa ia dan Edward punya hubungan pertemanan.
Dukungan ini juga beralasan, mengingat perusahaan Ortus Holding Ltd di mana Edward menjabat sebagai direktur adalah investor utama konsorsium proyek monorel Jakarta. Maka, sebagai bagian dari upayanya untuk ‘memenangkan’ Ahok, ia sempat melaporkan Sandiaga Uno ke polisi terkait tuduhan pemalsuan dokumen – banyak pihak menilainya sebagai cara-cara politik yang kurang terpuji.
Edward Soeryadjaya saat penandatanganan kerja sama proyek monorel dengan China Communications Construction Company Ltd. (Foto: istimewa)
Sementara, Edwin Soeryadjaya saudaranya mendukung pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Edwin memiliki latar belakang kedekatan dengan Sandi. Keduanya adalah rekanan bisnis yang bahu membahu mendirikan PT Saratoga Investama Sedaya. Ketika Edward melaporkan Sandi ke Polisi terkait pemalsuan dokumen, yang dilakukan Sandi adalah bertemu dan meminta dukungan Edwin.
Walapun lebih dekat dengan Edwin, Sandi pun ternyata pernah menjalankan bisnis bersama Edward, meskipun beberapa pihak menyebut hubungan Sandi dengan Edward penuh ‘bara yang tak padam’. Sandi adalah salah satu murid William Soeryadjaya yang sukses mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya. Maka tidak heran, banyak yang menyebut William sebagai ‘pencetak orang-orang kaya di Indonesia’.
Lalu, jika berkaitan dengan politik, apakah status tersangka Edward ini punya hubungan dengan konstelasi politik di tingkat nasional?
Politik Bisnis atau Bisnis Politik?
Bukan rahasia lagi jika politik dan bisnis memang seperti sekeping mata uang: tidak dapat dipisahkan dan saling bersinggungan. Dari sekian banyak pebisnis, Edward mungkin menjadi salah satu potret tokoh yang mewakili pertalian bisnis dan politik. Fenomena ini adalah hal yang umum terjadi beberapa dekade belakangan, terutama di negara berkembang. India merupakan salah satu negara yang mengalami hal yang sama.
Sementara, negara maju punya sejarah yang lebih panjang terkait pertalian hubungan bisnis dengan politik ini. Amerika Serikat misalnya telah mengalami hal tersebut untuk waktu yang lama. Pemilihan anggota Kongres AS tahun 1958 merupakan salah satu tonggak awal pertalian politik dan bisnis yang mendapatkan artikulasi praksis. Saat itu, kebanyakan anggota kongres dari Partai Demokrat yang terpilih adalah kelompok pebisnis atau golongan pro-bisnis.
Apakah hal ini salah? Tentu saja tidak. Politik terbuka bagi siapa pun, termasuk bagi kalangan pebisnis. Di Indonesia, keran politik memang terbuka bagi pebisnis pasca reformasi 1998. Pebisnis – umumnya dari kelompok etnis Tionghoa – mendapatkan artikulasi kesempatan politik yang sama setelah selama 3 dekade dibatasi untuk hanya bergerak di bidang bisnis saja.
Potret ketimpangan ekonomi di salah satu sudut kota Jakarta. (Foto: Berita Satu)
Primordialisme Soeharto yang ditunjukkannya ketika memberikan perlakuan berbeda kepada Bank Pacific milik Ibnu Sutowo – seorang mantan militer berdarah Jawa – dibanding Bank Summa milik Edward yang berdarah Tionghoa, tentu menjadi bagian yang membekas dalam sejarah hidup Edward dan klan Soeryadjaya.
Mungkin inilah yang menyebabkan lahirnya tonggak kesadaran politik para pebisnis di Indonesia. Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia pun masih sangat dipengaruhi oleh relasi bisnis-politik ini, di  mana ‘perkawinan’ konglomerasi bisnis dengan oligark politik menghasilkan sistem kekuasaan yang banyak kali tidak memihak rakyat kecil. Sayangnya, hal inilah yang sedang terjadi saat ini, di mana 50 persen kekayaan negara dikuasai oleh hanya 1 persen penduduk saja.
Edward mungkin sedang apes. Sebagai pebisnis, mungkin ia ‘bermain’ terlalu jauh. Pertamina, perusahaan yang dibesarkan oleh Ibnu Sutowo-lah yang juga menghentikan langkahnya.
Pada akhirnya, kisah tentang Soeryadjaya dan Astra akan menjadi sebuah dongeng yang menarik untuk ditunggu bab-bab selanjutnya. Yang jelas, dari kasus Edward Soeryadjaya ini masyarakat bisa semakin paham kata-kata Aristophanes di awal tulisan ini, bahwa di bawah batu sekalipun pasti ada politik dan politisi di sana. (S13)