Sejauh mana kontet-nya Indonesia?
PinterPolitik.com
[dropcap]F[/dropcap]aisal Basri tak asal ucap saat menggambarkan keadaan ekonomi Indonesia dengan sebutan kontet. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kontet sama dengan kerdil atau tak bisa tumbuh besar. Padanan tersebut dirasa cocok, sebab bagi ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan stagnan tak berkembang sampai tahun 2018 mendatang.
Kelesuan ekonomi memang sudah jamak dirasakan di bawah pemerintahan Presiden Jokowi, terutama saat gerai-gerai ritel satu persatu tutup. Belum lagi, pajak yang semakin masif digalakkan dan dikenai pemerintah di berbagai sektor. Namun begitu, pemerintah, baik Presiden Jokowi maupun Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan Indonesia, tak pernah terbuka mengakui adanya kemerosotan ekonomi negeri.
Penyebab kemerosotan ekonomi tersebut, sebagian besar dilemparkan pada pola konsumsi masyarakat yang berubah atau karena datangnya penetrasi e–commerce. Sampai sejauh ini, belum banyak pihak mengangkat efek kebijakan pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi.
Jika analisis Faisal Basri benar adanya, apakah di dalam kontet-nya pertumbuhan ekonomi kita berbanding lurus pula dengan dampak dari kebijakan ekonomi pemerintah?
Kebijakan ‘Ngoyo’ Jokowi
Dalam gelaran Pemilihan Pilpres (Pilpres) 2015 lalu, Faisal Basri khusus menulis di kolom blog pribadinya, mengapa ia memilih Jokowi sebagai presiden. Sebagai seorang ekonom, pertimbangannya tentu dilihat dari wacana kebijakan ekonomi yang dibawa oleh lelaki asal Solo tersebut.
Saat Jokowi berhasil menang dan memerintah, ternyata dukungan Faisal Basri tak membuatnya diam melihat perkembangan ekonomi di bawah presiden yang didukungnya tersebut. Dalam sebuah kesempatan di Hotel Shangri- La pada Rabu (22/11/2017) lalu, ia bahkan mengkritik Presiden Jokowi untuk jangan mimpi dan macam-macam, “Jadi jangan mimpi macam-macam dulu, ya. Ekonomi Indonesia makin kontet,” katanya.
Lebih jauh, Faisal juga menunjuk spesifik kebijakan Jokowi yang dinilainya ‘aneh’. Salah satunya adalah ide Jokowi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dari pinggiran, perbatasan, dan Kawasan Timur Indonesia (KIT). Disebutnya aneh sebab Faisal melihat kenyataan yang berkebalikan di lapangan, yakni makin merosotnya pertumbuhan ekonomi di beberapa titik di sana.Jokowi saat mengunjungi proyek Trans Papua (Sumber: Istimewa)
Pada pembahasan mengenai pengembangan ekonomi di daerah KIT dan pinggiran, penilaian Faisal, selaras dengan catatan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Boediarso Teguh Widodo. Boediarso mengatakan bahwa transfer ke daerah tahun 2017 ini meningkat hampir 10 kali lipat, yakni mencapai Rp. 766 triliun dari yang hanya Rp. 81 triliun. Namun peningkatan tersebut, tak diikut dengan perbaikan fasilitas dan layanan daerah, bahkan tak seujung kuku meredakan angka ketimpangan.
Baik Faisal dan Boediarso, menyebut daerah KIT sebagai kawasan yang tak mengalami perbaikan ketimpangan. Di Kabupaten Mamberamo, Papua, akses air bersih masih berada di angka 4 persen. Di bidang kesehatan, di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Barat hanya 1, 4 per 100 ribu orang yang dilayani tenaga kesehatan.
Timur, Makin Jauh di Mata
Menurut data yang diambil dari Badan Pusat Statistik Indonesia, selama dua tahun masa kepemimpinan Jokowi, ada beberapa daerah yang mengalami kenaikan pertumbuhan ekonomi, namun di daerah lain, pertumbuhan ekonomi tak berjalan mulus. Daerah yang mengalami penurunan adalah Kawasan Indonesia Timur (KIT).
Seperti yang tercatat, pemerintah selama ini memang sangat gencar membangun kawasan timur Indonesia. Salah satunya adalah, adanya pembangunan Trans Papua di daerah Papua Barat. Namun begitu, dari gencarnya pembangunan infrastruktur di sana, ternyata tak beriringan dengan kenaikan pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya, yang terjadi malah adanya perlambatan. Hal ini bisa dilihat dari data yang diambil dari Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS), bahwa daerah KIT, terutama daerah Papua dan Maluku serta, Bali dan NTT, mengalami penurunan. Bali dan NTT, mengalami lonjakan dari angka 10, 3% di tahun 2015, 5, 9% di tahun 2016, dan merosot drastis di tahun 2017 dengan angka 3,1.
Sementara Papua dan Maluku, sebagai daerah dengan pertumbuhan ekonomi terkecil, mencetak angka pertumbuhan sebesar 6,6 % di tahun 2015, lalu 7, 5% di tahun 2016, lalu 2, 3% di tahun 2017. Meski KIT mengalami penurunan, Sulawesi masih tumbuh di atas rata-rata nasional dan sekaligus tertinggi. Sementara pertumbuhan ekonomi tertinggi masih dimonopoli Sumatera dan Jawa.
Melihat data dari BPS tersebut, bisa diputuskan bahwa kemerosotan ekonomi memang terjadi di Indonesia. Kebijakan Jokowi terhadap kawasan KIT, seperti yang dikemukakan oleh Faisal Basri, bisa menjadi salah satu penyebab stagnan-nya pertumbuhan ekonomi. Namun tentu saja, kebijakan pemerintah yang mengerdilkan kemampuan ekonomi negeri, tak hanya itu saja.Pembangunan Infrastruktur dan Mata Pedangnya
Luhut Panjaitan pernah berkata jika industri pariwisata akan menjadi penerimaan utama negara di tahun 2018. Sementara menurut Faisal Basri, tak perlu menunggu 2018, Indonesia sebetulnya sudah bertumpu pada penerimaan devisa dari sektor pariwisata sejak pemerintahan sebelumnya. Sayangnya, sektor ini hanya menjadi satu-satunya sumber penerimaan sebesar US$ 11 miliar. Namun, itu pun habis dalam sekejap karena adanya defisit minyak US$ 11,2 miliar.
Lesunya hal tersebut juga diikut oleh ‘panas dinginnya’ industri perbankan Indonesia. Penyaluran kredit perbankan relatif terbatas, sebab masyarakat lebih banyak menaruh uang di bank ketimbang belanja. Ini pula yang pernah disebutkan Sri Mulyani beberapa waktu lalu.
Selanjutnya, adalah masalah pembangunan infrastruktur. Faisal Basri menilai bahwa pembangunan Light Train Transit (LRT) yang menghubungkan Jakarta, Bogor, dan Bekasi (Jabodetabek) dinilai tergesa-gesa, sebab selain tak ada dana, pembangunan ini hanya menyasar kepentingan masyarakat perkotaan saja. Kebijakan ekonomi pemerintah ini masih dinilainya masih sangat eksklusif.
Politik pembangunan infrastruktur memang sebaiknya mengabdi pada cita-cita nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Oleh sebab itu, tak hanya masyarakat perkotaan yang dimanjakan, kepentingan masyarakat lainnya juga patut diutamakan.
Proyek insfrastruktur yang sifatnya jangka panjang, juga manfaatnya tak langsung dapat dirasakan. Namun, menurut Rudi Hartono, chief editor Berdikari Online, pembangunan infrastruktur dapat mendatangkan efek langsung dengan adanya penyerapan tenaga kerja, penggunaan bahan baku, dan barang penunjang dari dalam negeri, sehingga proyek tersebut masih mampu mendorong geliat ekonomi daerah sekitar. (Berbagai Sumber/ A27)