Ratih Ibrahim psikolog klinis dari Universitas Indonesia membahas fenomena menarik yang dikenal sebagai Efek Lipstik.Ini terjadi ketika konsumen, meskipun menghadapi kondisi ekonomi yang sulit, tetap mengeluarkan uang untuk barang-barang kecil yang menyenangkan, seperti lipstik premium.Dilansir dari Antara pada Kamis (31/10/2024), Ratih menjelaskan bahwa fenomena ini dipengaruhi oleh berbagai faktor ekonomi, emosional, dan sosial budaya.“Ketiga aspek ini saling berkaitan. Ketika seseorang merasa hidup semakin sulit, mereka mungkin berpikir, ‘Selama masih ada uang, saya ingin menyenangkan diri sendiri,’” ujarnya.Menurutnya, membeli barang mewah dengan harga yang lebih terjangkau, terutama saat diskon, juga termasuk dalam kategori pembelian emosional.Di era digital saat ini, banyak konten dari influencer yang menampilkan gaya hidup mewah meski dalam kondisi ekonomi yang kurang baik, turut mempengaruhi keputusan belanja masyarakat.Ratih mengungkapkan bahwa keinginan untuk membeli barang mewah bisa menjadi cara untuk menolak kenyataan.“Ini bukan hanya soal penolakan. Seseorang dapat membangun ilusi kendali, berpikir ‘Saya masih bisa mengendalikan hidup saya,’ padahal itu hanya ilusi,” jelasnya.Namun, dia memperingatkan bahwa perilaku ini bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental. “Ketika seseorang berusaha lari dari kenyataan, mereka akan menghadapi konsekuensi yang lebih buruk saat harus menghadapi realitas itu,” katanya.Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menyadari kebiasaan membeli barang-barang yang tidak benar-benar diperlukan dan berusaha menghentikannya.Untuk menghindari perilaku konsumtif yang bisa membawa pada utang, Ratih menyarankan agar kita menetapkan anggaran belanja yang ketat dan menghindari aplikasi belanja yang menggoda. (ant/saf/ipg)