Ujaran Gubernur Kalbar Cornelis tentang Front Pembela Islam April 2017 silam berbuah pengusiran ulama, bagaimana reaksi Front Pembela Islam terhadap hal tersebut?
PinterPolitik.com
Massa Front Pembela Islam (FPI) menggelar aksi bela ulama di Pontianak, Sabtu (20/5). Aksi berjuluk Aksi 205 tersebut dimulai dari Masjid Mujahidin Pontianak Kalimantan Barat (Kalbar) menuju Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Kalbar.
Ribuan orang mengikuti aksi tersebut. Sebagian besar dari mereka mengenakan baju berwarna putih. Sembari longmarch, mereka mengibarkan bendera putih dan hitam bertuliskan la ilahailallah dalam aksara Arab.
Aksi ini dipicu pernyataan Gubernur Kalbar Cornelis April lalu. Dalam pidato sambutan acara Gawai Dayak di Kabupaten Landak, gubernur usungan PDIP tersebut mengatakan, Habib Rizieq tidak boleh menginjakkan kakinya di tanah Kalbar. “Di Jawa itu, penduduknya sekian ratus juta tidak semua Islam… Islam itu tidak seperti yang Rizieq tawarkan dengan Tengku Zulkarnaen itu. Kalau dia datang di tempat kita di Kalimantan Barat, usir! Saya jadi provokatornya,” ujar Cornelis dalam pidatonya.
Sampai saat ini Habib Rizieq yang sedang berada di Madinah itu memang belum pernah mengadakan kunjungan ke Kalbar. (Lihat juga: Rizieq di Madinah, Kapan Pulang?)
Namun demikian, sejumlah pimpinan FPI seperti Ahmad Sobri Lubis dan Hidayat Quaiandri Batang Haris, yang berencana menghadiri sebuah acara di Pontianak, diusir oleh sekelompok orang di Bandara Supadio, Kalbar, awal Mei lalu.Semenjak peristiwa pengusiran tersebut, pengerahan massa dilakukan untuk mengadakan aksi bela ulama. Suatu poster daring menyerukan, “Memanggil Mujahid se-Kalimantan Barat! Aksi Bela Ulama Pontianak 205. Ulama Dicegat, Umat Menggugat.”
Poster Seruan Aksi 2015
Ujaran Berujung Tuntutan
Di depan Mapolda Kalbar, dalam sebuah orasi, seorang peserta aksi menuntut agar Cornelis segera diproses hukum. Menurutnya, pidato Cornelis merupakan ujaran kebencian yang memicu “gejolak” di tengah masyarakat.
Ketua DPW FPI Pontianak Ishak Ali Al-Mutakhar mengatakan, aksi serupa akan terus dilakukan selagi masih terjadi pengusiran terhadap ulama. “Kalau ada orang mengusir ulama ya tetap dilanjut (bela ulama). Siapapun orangnya, siapapun. Khususnya di Kalimantan Barat,” kata Ishak.
Di Mapolda, 13 orang perwakilan massa bertemu dengan Kapolda Kalbar Brigjend Pol Erwin Triwanto untuk melakukan audiensi. Dalam pertemuan tersebut, ada dua poin yang disampaikan perwakilan massa kepada Kapolda.
Perwakilan tim audiensi Habib Abdurrahman mengatakan, pertama, pihaknya mendesak pihak kepolisian untuk segera memperoses secara hukum Gubernur Kalbar Cornelis. Dia juga mengatakan, Jumat (19/5) kemarin, Tim Advokat Bela Ulama secara resmi telah mengajukan laporan di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Kalbar atas dugaan ujaran kebencian yang diucapkan Cornelis saat berpidato di Kabupaten Landak.
“Terus terang, di Indonesia, tidak ada seorang Gubernur yang memproklamirkan dirinya sebagai Provokator, baru Gubernur Kalbar ini. Siapapun dia, pejabat kah, aparat kah, apapun latar belakangnya, kalau mereka coba-coba menodai Pancasila, merusak NKRI, kalau mereka coba-coba menghina simbol agama kami, diantaranya Al-Qur’an dan Ulama, siapapun dia, kami akan tempuh jalur hukum” ujar Habib Abdurrahman.Selain itu, tuntuan kedua, menurut Habib Abdurrahman, pihaknya tidak ingin pihak kepolisian melakukan pengusiran ulama lagi di Kalbar. “Karena itu simbol agama kami, kami minta ulama diamankan, bukan diusir,” tegasnya.
Di hari yang sama, terdapat dua kegiatan massif lainnya di Pontianak, yakni Pekan Gawai Dayak ke-32 dan pawai budaya. Kegiatan ini diikuti massa yang berbeda dengan peserta Aksi 205. Kepala Urusan Liputan Produksi Dokumentasi Humas Polda Kalbar AKP Cucu Safiyudin mengatakan, “Dua massa tidak bertemu karena berada di tempat yang berbeda.”
Sempat beredar kabar bahwa telah terjadi kericuhan antara peserta pawai budaya dan Aksi 205 yang menurut Cucu, muncul ketika kepolisian memperpendek rute pawai budaya di Jalan Gajah Mada. Padahal hal tersebut dilakukan atas dasar efektifitas. “Pertimbangannya biar pawai cepat selesai, tapi kemudian muncul asumsi-asumsi adanya serangan kelompok lain,” ujar Cucu.
Selain itu Cucu menegaskan, peserta pawai Dayak tidak menenteng senjata tajam untuk menyerang peserta aksi 2015. Ia mengatakan, senjata itu merupakan bagian dari busana adat yang ingin mereka pamerkan pada kegiatan festival itu.
“Jadi semuanya aman dan terkendali. Semuanya landai-landai saja. Cuma ada video dan foto lama yang diunggah lagi ke media sosial,” ujarnya.
Pengamat dari Universitas Tanjungpura Pontianak, Jumadi, mengatakan, aksi ini rawan dimanfaatkan sebagai politik SARA oleh sebagian elit politik Kalbar yang tahun depan akan menyelenggarakan Pilkada untuk lima kabupaten kota dan provinsi.
“Ada anggapan begini, kalau ada komunitas dari elit tertentu yang terpilih maka menjadi ancaman komunitas elit yang lain. Prasangka-prasangka politik seperti itu yang kemudian memperkuat tarikan-tarikan ketika menggunakan agama dan etnik itu, menjadi menu politik yang sangat subur,” ujar Jumadi seperti terlansir dalam BBCindonesia.com.
Jumadi meminta semua elit politik di provinsi itu tidak menggunakan isu agama untuk kepentingan politik praktis. “Nuansa SARA di DKI itu berbeda eskalasinya dengan Kalbar. Karena DKI tidak pernah punya pengalaman konflik horizontal yang bernuansa SARA sampai menimbulkan korban jiwa yang cukup besar. Tapi di Kalbar pernah punya sejarah, banyak memakan korban – harta dan jiwa,” ungkap Jumadi.
Pembukaan pekan gawai dayak ke-32 pontianak. Sabtu, 20 mei 2017 pic.twitter.com/jMRHVnBY0l
— Rolles (@r7olles) May 20, 2017
(Berbagai Sumber/H31)