Jelang hari jadi TNI, sang Panglima TNI sempat menggegerkan kesatuan pertahanan negara. Mengapa Gatot yang selalu merelasikan diri pada Jenderal Soedirman sering berpolemik?
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]K[/dropcap]etika Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanggil Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Rabu (27/9) lalu, publik menduga kalau pemanggilan itu berkaitan dengan polemik 5.000 senjata yang sempat simpang siur di masyarakat. Namun saat keluar dari istana, ia berdalih kalau mereka hanya membicarakan persiapan perayaan Hari Ulang Tahun TNI yang ke-72. Ketika ditanya mengapa Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM juga turut hadir, sang jenderal mengaku hanya tak sengaja bertemu.
Walau hari jadi TNI jatuh pada 5 Oktober setiap tahunnya, tapi satuan TNI sebelumnya sudah memulainya melalui pagelaran wayang berlakon “Parikesit Jumeneng Nata” di Museum Fatahillah, Kota Tua, Jakarta, Jumat (29/9) lalu. Acara yang diawali dengan bakti sosial tersebut, merupakan cara TNI untuk berbagi dengan rakyat. Sedangkan pada hari peringatan yang dilakukan besok (5/10), di Cilegon, Banten, Gatot berjanji memberikan sesuatu yang baru dan berbeda bagi masyarakat. (Baca juga: Gatot Berpolemik atau Berpolitik?)
Baru dan berbeda, sepertinya memang ingin selalu ditampilkan oleh jenderal bintang empat ini. Namun isu senjata yang sempat membuat resah Menkopolhukam, Menteri Pertahanan, dan Kepolisian RI, sempat menggoyang popularitasnya. Padahal sebelumnya, Gatot begitu dipuja masyarakat sebagai tokoh militer yang agamis dan dekat dengan rakyat. Tak jarang, Gatot merelasikan dirinya dengan kesederhanaan Jenderal Soedirman. Sudahkan refleksi panglima besar itu ada pada dirinya?
Relasi Moral Gatot dan Soedirman
Siapa yang tidak kenal dengan Jenderal Soedirman? Beliaulah panglima besar yang namanya begitu diagungkan dalam sejarah pendirian negara ini. Sebagai sosok yang paling berjasa dalam perlawanan terhadap para penjajah, beliau tidak pernah mau ikut terjun dalam politik praktis. Prinsip pahlawan nasional yang kini namanya terpatri sebagai jalan tersibuk di Ibukota ini, sepenuhnya mengabdikan diri memanggul senjata.
Baginya, angkatan bersenjata harus kukuh dalam abdi negara, sehingga bersih dari kendali politik dan partai politik. Jenderal Soedirman jugalah yang menyerukan bahwa TNI adalah anak kandung bangsa serta bagian dari rakyat. Pribadinya yang bersahaja selalu mengingatkan, bahwa TNI bukanlah kasta, melainkan bagian dari rakyat itu sendiri sebagai bagian integral dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Nilai-nilai luhur Jenderal Soedirman inilah yang berulang kali dilontarkan oleh Gatot di berbagai forum, termasuk kisah perjalanan hidup panutannya tersebut. Salah satunya ketika ia berkisah tentang kehebatan Jenderal Soedirman, pada Hari Santri 2015. Menurutnya, Pak Dirman yang berprofesi sebagai guru, juga seorang kiai yang menjadi panglima angkatan bersenjata di zamannya. Dari kisah ini, Gatot ingin menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia tak lepas dari jasa sang jenderal saleh ini.
Kesalehan Pak Dirman tidak main-main, jelasnya, sebab memiliki tiga jimat yang mampu membuatnya kuat melawan Belanda. Jimat pertama adalah kendi berisi air wudhu yang selalu Pak Dirman bawa. Jimat kedua, sholat. Dan ketiga, perjuangannya untuk bangsa dan negara tanpa secuil pun kepentingan pribadi. Gatot juga menceritakan bagaimana beliau selalu berzikir ketika akan menyerang Belanda.
Seperti tahun sebelumnya, menjelang HUT TNI, Gatot tak lupa berziarah ke makam para pahlawan bangsa, salah satunya makam Jenderal Soedirman. Di hadapan pers, ia mengatakan kalau cara kepemimpinan Pak Dirman patut diteladani. Sekalipun berpangkat panglima besar, namun beliau selalu demokratis dan dekat dengan anak buahnya. Karena itu, Gatot mengingatkan bawahannya kalau TNI adalah anak kandung rakyat, sehingga harus selalu tulus dan ikhlas dalam mengabdi bangsa.
Kaos Politik dibalik Jubah Militer?
Ketika mengangkat Gatot sebagai panglima TNI menggantikan Jenderal Moeldoko, Jokowi banyak dikritik karena tidak mengindahkan pola rotasi matra di TNI. Pengangkatan inipun menimbulkan pertanyaan di sejumlah kalangan, ada apa dibalik pengangkatannya? Meski begitu, tidak ada yang bisa membantah keinginan Jokowi, karena pemilihan Gatot adalah hak prerogatif presiden.
Selama ini, prestasi TNI di bawah kepemimpinan Gatot dinilai cukup memuaskan, sebelum pernyataan-pernyataannya yang kontroversial. Belakangan, banyak kalangan menilainya ‘terlalu politis’ ketimbang para panglima TNI di era reformasi sebelumnya. Apalagi, Gatot juga terlihat hadir di acara partai politik, misalnya Rapimnas Golkar, Mei 2017 lalu. Sikapnya ini menghasilkan pujian dari para elit politik, bahkan sempat terlontar kemungkinannya untuk diusung di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang. (Baca juga: Gatot Cocok Jadi Capres?)
“Ini untuk mengingatkan generasi muda, bahwa perjuangan bangsa sejak proklamasi kemerdekaan tidak dilakukan oleh TNI, tetapi yang merebut kemerdekaan adalah seluruh komponen bangsa, termasuk para ulama. Setelah merdeka, baru TNI lahir. Jadi yang memerdekakan bangsa Indonesia bukan TNI, tetapi bapak-ibu kandung TNI, sehingga TNI adalah anak kandung rakyat.”
-Jenderal Gatot Nurmantyo-
Bagi para pengamat, sosok Gatot dinilai cukup menarik. Selain vokal dan blak-blakan di depan media, termasuk dalam mengkritik elemen pemerintahan, ia juga mampu menunjukkan kekuasaannya. Sikapnya ini menuai pujian dan dukungan luas dari publik, misalnya ketegasannya dalam isu film G30S/PKI. Begitu juga di mata massa aksi berjilid-jilid, bahkan tak sedikit yang nge-fans dengannya.
Begitulah Gatot, disukai semua orang, baik Jokowi, institusi TNI, partai politik, massa Islam, maupun publik secara umum. Di tengah arus kritik pada pemerintah, Gatot populer karena citranya yang merakyat dan religius sehingga dapat menjadi modalnya dalam berpolitik. Menelisik gagasannya untuk mengembalikan hak politik militer, ada kemungkinan ia ingin mengembalikan kewenangan pemerintahan ke tangan militer. (Baca juga: Gatot dan Polemik Hak Politik Militer)Dibandingkan dengan para jenderal di era Orde Baru (Orba) yang menginginkan kekuasaan di tangan militer, Gatot jelas bukan elit lama dan tidak punya masalah HAM. Selama ini, ia masih bermain dalam koridor yang sudah dipahami, yaitu koridor demokrasi supremasi sipil. Oleh karenanya, ia tentu sadar betul bagaimana reaksi publik akan presentasi dirinya di media, dengan citra jenderal yang gemar bersafari politik.
Kalaupun berambisi pada kandidasi Pilpres 2019 nanti, Gatot sudah cukup sukses ‘berinvestasi’ sejak dini. Atau, mungkin saja ia masih setia kepada Jokowi dan bersedia dijadikan sebagai penjaga stabilitas politik, jembatan politik dengan partai, bahkan jembatan dengan lawan politik pemerintah. Who knows? Hanya presiden dan panglimanya itu yang tahu.
TNI Kuat, TNI Profesional
Ribut polemik dan politik belakangan ini, jadi membawa definisi baru dalam ajaran Pak Dirman tentang relasi militer dan politik. Meski begitu, Gatot tidak bisa serta merta dicap sebagai militer pretorian. Ada kemungkinan, ia benar-benar bertugas menjaga stabilitas dengan menjembatani antagonisme antar elit politik. Perkara etis atau tidaknya untuk maju di Pilpres 2019 nanti, itu urusan lain. Toh, pada saat itu ia sudah pensiun, kan?
“Pelihara TNI, pelihara angkatan perang kita. Jangan sampai TNI dikuasai oleh partai politik manapun juga. Ingatlah, bahwa prajurit kita bukan prajurit sewaan, bukan prajurit yang mudah dibelokkan haluannya. Kita masuk dalam tentara, karena keinsyafan jiwa dan sedia berkorban bagi bangsa dan negara”
-Jenderal Soedirman-
Bagaimana pun citra TNI di Republik ini, tidak akan mengerdilkan prestasi dan profesionalisme institusi ini. Awal tahun ini, Global Firepower menempatkan Indonesia pada peringkat ke-14 militer terkuat di dunia dan nomor satu di Asia Pasifik. Prajurit elit seperti Kopassus dan Kopaska-nya namanya sudah begitu tersohor.
Bahkan Morris Jonowitz menyatakan kalau TNI (dulu BKR dan TKR) sebagai satu dari empat angkatan bersenjata yang lahir seiring dengan kelahiran negaranya, selain Burma (Myanmar), Israel, dan Aljazair. Istilahnya, Army of National Liberation atau Tentara Kemerdekaan. Artinya, dari sekian banyak negara yang pernah dijajah pada Perang Dunia II, Indonesia merupakan salah satu negara yang merdeka dengan perlawanan militer.
Sehingga, lontaran Gatot tentang pengembalian hak politik pada tentara aktif, bukanlah masalah yang harus dirisaukan. Bila memang ia sepakat dengan Pak Dirman agar militer berhati-hati dalam politik, tentu ia tidak akan meminta pensiun dini seperti sindiran Try Sutrisno. Menyambut hari lahir TNI, mari merefleksikan kembali katarsis demokrasi kita. Sudahkah perjuangan TNI bersih dari berbagai kepentingan? Sudahkah TNI dan rakyat bersatu padu layaknya orangtua dan anak kandung?
Dirgahayu TNI. Dari rakyat dan selalu untuk rakyat. Semoga. (R17)