Jakarta – Gugatan masyarakat melawan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memasuki tahap akhir. Masyarakat yang diwakili Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) menggugat kontrak Kemenkes dengan PeduliLindungi yang dikhawatirkan rawan bocor karena dikelola swasta.”Hari ini sudah memasuki tahap akhir yaitu pembacaan kesimpulan,” kata Ketua PBHI Julius Ibrani dalam keterangan pers, Kamis (28/4/2022).Gugatan didaftarkan sejak 18 April 2022 dan telah melakukan sejumlah rangkaian panjang persidangan. Setelah kesimpulan, majelis hakim akan bermusyawarah untuk memutuskan hasil akhir. Pihak Kemenkes dalam sidang itu menepis kontrak PeduliLindungi rawan kebocoran.
–
–
“Sudah 4 kali sidang pembuktian,” ujar Julius.Objek gugatan tersebut adalah Keputusan Kementerian Kesehatan Nomor Hk.01.07/Menkes/5680/2021 tentang Pedoman Kerja Sama Penggunaan QR Code Pedulilindungi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). PBHI menilai Keputusan Menkes itu melanggar sejumlah ketentuan peraturan perundang-undangan, terkhusus mengabaikan kewajiban negara dalam menjamin penghormatan terhadap hak privasi masyarakat.”Kebijakan kerja sama dengan pihak swasta dalam skema QR code aplikasi PeduliLindungi dengan penyedia platform aplikasi (PPA) swasta yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan masih nihilnya perspektif hak asasi manusia, terkait dengan data pribadi sebagai hak dasar yang wajib dilindungi oleh negara dalam penyusunan regulasi dan kebijakan di Indonesia,” kata Julius Ibrani.Pasal 28 G ayat (1) secara tegas menyebutkan bahwa negara berperan sebagai aktor yang memberikan perlindungan penuh terhadap sistem perlindungan data pribadi sebagai bagian dari hak privasi dan guna menghindarkan potensi penyalahgunaan data tersebut.”PBHI menyayangkan serta mempertanyakan sikap gegabah Kemenkes untuk membuka ruang kerja sama pemanfaatan data-data pribadi yang dapat dikategorikan sebagai personal health records pengguna aplikasi (data vaksinasi, hasil tes antigen-PCR) diteruskan kepada pihak swasta,” ujar Julius.Berdasarkan ketentuan Pasal 47 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, hanya dokter maupun pimpinan sarana kesehatan yang dapat mengakses data tersebut, dan wajib menjaga kerahasiaannya.”Penerbitan kebijakan ini jelas telah melanggar ketentuan dan prinsip dasar perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Pasal 17 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang memandatkan negara untuk meminimalkan potensi kebocoran data pribadi melalui akses kepentingan otoritas dan pihak ketiga,” beber Julius.
(asp/mae)