Jakarta – Banyak yang mengenang kisah hidup Helen Keller sebagai keajaiban, salah satunya adalah Maria Montessori. Dalam bukunya, Dr. Montesori’s Own Handbook (1914), Montessori mengutarakan bahwa kisah Helen Keller dan Anne Sulivan adalah dokumen hidup tentang keajaiban pendidikan. Lewat tangan dan hati dari seorang guru seperti Anne Sullivan, pendidikan memberi kemungkinan dan kesadaran yang amat penting: setiap anak dapat belajar.Seperti yang telah banyak diceritakan, Helen Keller lahir normal di Tuscumbia, Alabama, pada 1880. Ketika berusia 19 bulan, penyakit meningitis merenggut penglihatan sekaligus pendengarannya. Masa kanak-kanak yang semestinya penuh kegembiraan, tiba-tiba berubah menjadi tahun-tahun sendu, sunyi, dan gelap. Keadaannya itu membuat Helen kecil tumbuh menjadi anak yang keras kepala dan suka mengamuk.Meskipun difabel netra dan tuli, Helen sebenarnya anak yang sangat cerdas. Rasa ingin tahunya yang tinggi, membuatnya sedih dan marah ketika orangtuanya tidak mampu memahaminya. Tidak ada seorang pun dapat membantunya memahami “dunia”. Ketika mengenang masa-masa itu, Helen dewasa mengakuinya sebagai “hidup dalam dunia yang tidak nyata”. Itu terjadi sampai Anne Sullivan, gurunya datang. Dalam buku autobiografinya, The Story of My Life (1903), itulah hari paling penting sepanjang hidupnya. Helen menulis, “Cahaya! Beri aku cahaya!” Baginya, Anne Sullivan datang seperti cahaya yang menyinari gulita hidupnya.Helen beruntung, Anne Sullivan juga guru yang mengagumkan. Anne lahir dalam keluarga imigran Irlandia yang miskin. Sejak kecil dia hampir tak dapat melihat sama sekali. Masa kanak-kanaknya penuh penderitaan, karena diperlakukan dengan kejam dan ditelantarkan oleh ayahnya. Pada 1880 ketika berumur 14 tahun, Anne masuk Yayasan Perkins, sebuah yayasan pendidikan untuk anak-anak difabel netra di Boston, Amerika Serikat. Ketika itu pula, suatu operasi agak memulihkan penglihatannya. Pada 1886 Anne berhasil menamatkan sekolahnya, dan menjadi seorang guru untuk anak-anak difabel netra.Mengajari Helen Keller yang tak dapat melihat dan mendengar bukan pekerjaan mudah. Kira-kira, bagaimana mungkin mengajak berkomunikasi anak yang tidak dapat melihat, mendengar, sekaligus berbicara? Tetapi Anne berhasil melakukan apa yang masa itu dianggap mustahil. Anne mengajarkan kepada Helen satu metode berkomunikasi menggunakan abjad jari, sebuah bahasa isyarat yang dipakai orang tuli untuk berbicara dengan tangan. Helen pada mulanya menganggapnya permainan belaka. Dirinya kesulitan memahami itu sebagai pelajaran bahasa, bahwa benda-benda memiliki nama. Dia justru memakainya untuk mengajari anjingnya mengeja! Namun, pada suatu hari, Anne menyuruh Helen memegang cangkir di bawah air dari pompa yang sedang mengucur.Air dingin mengalir melewati tangannya terasa segar dan menyenangkan. Tiba-tiba cangkir itu dilepaskan Helen. Dia terdiam seolah terpesona. Dengan cepat dirabanya tangan Anne, dan dengan jari-jarinya ia mengeja, w-a-t-e-r (air). Untuk pertama kalinya rahasia kata-kata terungkap dalam pikirannya. Helen memahami keindahan bahasa yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi dan menamai segala hal di dunia.Mendobrak ImajinasiPeristiwa sederhana itu sampai sekarang mendobrak imajinasi manusia. Sejak itu, Helen dengan cepat mengenali nama-nama benda. Ia belajar membaca huruf braille, menulis surat, bahkan berbicara selayaknya orang yang dapat mendengar. Helen pun belajar dan menguasai bahasa Prancis, Jerman, Yunani, dan Latin. Pada usia 24 tahun, dia menamatkan kuliahnya di Radcliffe Institute. Helen Keller menjadi difabel netra dan tuli pertama yang lulus dari universitas.Kita mengenang kisah hidup Helen Keller itu tidak lepas dari peranan penting dari gurunya, Anne Sullivan. Berabad-abad sebelum kisah Helen Keller, tak terbayangkan bahwa seseorang anak difabel netra dan tuli masih dapat diajari dan dididik. Umumnya, pada saat itu anak-anak yang terlahir seperti Helen hanya akan dipingit di dalam rumah, atau dibunuh dan dibuang begitu lahir. Bukan hanya tidak percaya anak-anak itu dapat belajar, tetapi dianggap sebagai karma atau dosa asal yang membuat rasa malu bagi keluarga. Anak-anak difabel bergelimang cap dan stigma.Lewat kisah Helen Keller dan Anne Sullivan, kita dapat membayangkan sebuah dunia di mana setiap perbedaan dirayakan, bukan sebaliknya, ditakuti. Tidak hanya anak-anak difabel, tetapi setiap anak memiliki cara belajar yang berbeda-beda. Seperti diutarakan Helen dalam bukunya yang lain, The World I Live In (1908), mengenai keindahan belajar dengan “tangan yang dapat melihat”. Dirinya mungkin tak dapat melihat dan mendengar, tetapi imajinasi dan pikiran memberinya impresi mendalam. Dirinya mempelajari segala hal dari setiap sentuhan-pengalaman tangannya. Menurut Helen, memang ada perbedaan antara orang tak dapat melihat dan orang yang bisa melihat. Namun, katanya, yang berbeda adalah pada imajinasi dan keberanian yang kita gunakan untuk mencari pengetahuan yang melampaui indra kita.Cerita dari Helen Keller memperlihatkan bahwa anak-anak difabel tentu saja membutuhkan pendekatan sistem dan layanan pendidikan yang berbeda dan mengakomodasi keberagaman. Mereka membutuhkan rancang-bangun pendidikan yang tidak menghakimi kekurangan fisik, kognitif, maupun perilaku sebagai masalah belajar. Helen Keller mengutarakan, “Secara umum bisa dikatakan, kita menempuh jalan yang sama, membaca buku yang sama, berbicara dalam bahasa yang sama. Namun yang kita alami sangat berbeda.” Bagi Helen, “Tangan bagiku sama artinya dengan penglihatan dan pendengaran bagimu.”Apabila anak-anak yang memiliki penglihatan membaca dengan mata mereka, maka anak-anak difabel netra membaca melalui jarinya-jari pada huruf braille dan mendengarkan lewat audiobook. Apabila anak-anak yang memiliki pendengaran berkomunikasi secara lisan, maka anak-anak difabel rungu berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Dengan kata lain, anak-anak difabel sama dengan yang lain dan mampu untuk belajar, hanya saja cara belajarnya yang khusus dan unik.Di sisi lain, Helen dengan amat rendah hati, mengutarakan terima kasihnya pada gurunya, Anne Sullivan. “Ke mana saja guru dan saya pergi, orang sibuk mengelu-elukan dan memuji-muji diri saya,” ungkap Helen dalam buku biografis yang ditulis Is Daulay (1981). “Tapi mereka rupa-rupanya lupa bahwa yang memungkinkan saya melakukan hal-hal yang mereka kagumi adalah guru. Tanpa guru, saya bukan apa-apa. Gurulah yang mestinya dihormati, bukan saya.”Helen, seperti halnya anak-anak lain, menemukan pengetahuannya tidak hanya dengan “tangannya sendiri”, tetapi juga dibantu oleh “tangan” gurunya, Anne Sullivan. Tentu saja itu dapat menjadi cerminan untuk pendidikan kita hari ini. Anak-anak butuh tangan-tangan guru seperti Anne Sullivan di ruang-ruang kelas. Tangan-tangan yang bukan menghakimi, melainkan tangan-tangan guru yang sanggup membimbing dan percaya setiap anak dapat belajar.Muhammad Khambali pengajar di Yayasan Pendidikan Dwituna Rawinala, penulis buku ‘Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan’ (2024)
(mmu/mmu)