ISIS Masuk Indonesia? Gebuk Saja!

ISIS Masuk Indonesia? Gebuk Saja!

10 July 2017, 19:02

“ISIS ITU LEMAH. Memang tidak seperti itu kelihatannya sekarang, tapi inilah kenyataannya, dan mereka tidak ingin kita mengetahuinya.” ~ Waleed Aly

PinterPolitik.com
[dropcap size=big]S[/dropcap]elasa (4/7) dini hari, seseorang memasang bendera mirip bendera ISIS dan meninggalkan surat dalam botol plastik di Polsek Kebayoran Lama, Jakarta. Kabarnya, surat tersebut berisi ancaman ISIS yang akan membuat Jakarta bergolak layaknya Marawi, Filipina. Tidak sampai 24 jam kemudian, media sosial dihebohkan dengan sebuah video ancaman yang sama, juga mengatasnamakan ISIS.
Setelah wilayahnya terdesak di Suriah dan Marawi, Filipina, ISIS sepertinya ingin berpaling ke Indonesia sebagai basis mereka. Namun apakah ISIS mampu menakhlukan Indonesia semudah Marawi? Bila dianalisa lebih dalam, sebenarnya sulit bagi ISIS untuk dapat mengambil alih Jakarta – apalagi Indonesia. Karena untuk melakukan invasi dan menang, ISIS membutuhkan faktor-faktor krusial yang belum tentu didapat di Indonesia.

Usai Pasang Bendera hingga Ancam Jakarta Akan Seperti Marawi, ISIS Kini Nyatakan Perangi Indonesia! https://t.co/ESB32gKhUe via @TribunWOW
— TRIBUNnews.com (@tribunnews) July 5, 2017

Kevakuman Pemerintahan
ISIS mampu menguasai Irak dan Suriah karena di wilayah tersebut terjadi kevakuman pemerintahan, serta adanya gerakan pemberontakan yang menentang pemerintahan yang sah. Dalam sejarahnya, ISIS terbentuk setelah tentara Amerika Serikat (AS) menginvasi Irak di tahun 2003. Ketika tentara AS meninggalkan Irak, negeri kaya ladang minyak itu ditinggalkan dengan pemerintahan boneka yang tidak didukung sebagian besar warganya.
Dari situlah gerakan pemberontak Jabhat Al Nusrah (JN) yang menentang pemerintah mampu berkembang kuat, salah satu sebab utama adalah berkat dukungan dari warganya. Begitu juga ketika terjadi revolusi di Suriah, pada tahun 2011. Gerakan rakyat yang menentang Presiden Bashar Al-Assad juga ‘dipergunakan’ oleh JN untuk menguasai wilayah-wilayah yang kaya minyak.
Setelah mendapat cukup wilayah strategis, barulah Abu Bakar Al Baghdadi – pimpinan JN ketika itu, membentuk Daulah Islamiyah Irak dan Syam (DAIS) atau Islamic State in Iraq and Syam (ISIS) di tahun 2013. Bukan itu saja, ia juga mendeklarasikan pembentukan Negara Islam di sepanjang Irak dan Suriah, serta menetapkan dirinya sebagai pemimpin (khalifah) bagi umat Muslim di seluruh dunia.
Hal yang sama juga terjadi di Marawi, Filipina. Seperti yang kita ketahui, wilayah Mindanao sebagian besar penduduknya beragama Islam dan telah lama dikuasai oleh pemberontak. Tercatat sejak tahun 1899, pemberontak Moro sudah melakukan perlawanan pada Pemerintah Filipina dan berniat memisahkan diri untuk membentuk negara Islam. Kekuatan milisi yang kini dipimpin Maute inilah yang ditunggangi ISIS.Di Indonesia sendiri, ISIS memang pernah mencoba membangun kekuatan di Poso, Sulawesi Tengah. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan  Wiranto sendiri yang mengatakan, awalnya ISIS ingin menjadikan Poso sebagai basis massa untuk menguasai Asia Tenggara. Namun kini cikal bakal tersebut telah digempur dan dihancurkan oleh aparat keamanan, sehingga rencana ISIS bisa dibilang gagal.
Kondisi Indonesia yang kondusif, pemerintahan yang berjalan lancar, dan kewaspadaan aparat keamanannya yang tinggi, tidak memungkinkan Indonesia berakhir seperti Irak, Suriah, maupun Marawi. Kalaupun ISIS mencoba, bisa dipastikan tidak akan mungkin terjadi pengambilalihan wilayah secara cepat dan mudah. Walaupun Indonesia negara kepulauan yang dianggap kurang dari segi pengamanan di perbatasan, namun di tiap wilayah telah terdapat kantung-kantung militer – bahkan di daerah terpencil sekalipun.
Sumbangan Investor
Setiap peperangan maupun pemberontakan, membutuhkan biaya besar. Begitu juga ISIS. Di Suriah, sumber dana ISIS berasal dari sumbangan individu-individu kaya dunia, baik di Kuwait, Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, serta di AS sendiri. Para donatur atau angel investor ini, awalnya memberikan dana untuk mendukung JN bertempur melawan Al-Assad.
Menurut petinggi Angkatan Laut AS dan Komandan Tinggi NATO, James Stavridis,  para angel investor  ini memang menyumbang untuk ‘bisnis konflik’ yang dilakukan ISIS. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan bisnis konflik?
Dalam operasinya, ISIS bukan hanya sekedar berperang untuk menguasai wilayah tertentu. Di setiap aksinya, mereka melakukan perampokan ke instansi-instansi keuangan, penculikan dan perdagangan perempuan, pencurian benda-benda antik dan bersejarah, termasuk penjualan minyak secara ilegal yang mereka dapatkan dari sumur-sumur minyak yang dikuasai. Pembagian dari keuntungan ‘bisnis’ inilah yang diharapkan oleh para angel investor.
Di Indonesia sendiri, konon, memang ada ‘orang-orang’ yang ikut memberikan dana bagi pergerakan ISIS. Namun jumlahnya tentu tidak sebanding dengan pengeluaran yang dibutuhkan ISIS untuk menduduki Indonesia, bahkan Jakarta. Apakah para angel investor di negara-negara padang pasir tersebut juga tertarik ‘menjajah’ Indonesia? Belum tentu, selama ini Indonesia memiliki hubungan baik dengan negara-negara tersebut. Jadi sedikit kemungkinan mereka ingin ‘berurusan’ dengan Indonesia.
Apalagi, saat ini tindak tanduk ISIS sudah menjadi sorotan dunia internasional dan didaulat sebagai musuh bersama, sehingga para investor ini pun dikabarkan perlahan-lahan mulai menarik sumbangannya.
 
Sumber Pendapatan Lain
Berdasarkan laporan IHS Inc. – pemantau keuangan yang berkantor di Inggris – sekitar 50 persen pendanaan ISIS bukan berasal dari donatur, tapi dari sumber pendapatan lain. Mereka yakin, ISIS tidak seperti Al Qaeda yang menggantungkan diri pada donatur asing, tapi lebih banyak mencari penghasilan melalui rampasan dan pungutan pajak di wilayah-wilayah yang dikuasai.
Sekitar 43 persen penghasilan mereka, juga diraih dari penjualan minyak ilegal, penyelundupan narkotika, dan penjualan listrik. Bukan rahasia pula kalau ISIS mendapatkan banyak pendapatan dari aliran minyak yang mereka jual kembali ke pemerintah Suriah dan Turki.
Sebagai salah satu penghasil minyak terbesar dunia, sumur-sumur minyak Indonesia tentu menggiurkan ISIS. Tapi kilang minyak di Indonesia sebagian besar merupakan hasil kerjasama dengan pihak asing, apa ISIS yakin mampu menghadapi gempuran berbagai negara yang berinvestasi di Indonesia, bahkan hanya untuk satu sumur saja?
Selain minyak, ISIS juga dikabarkan mendapat banyak masukan dari penjualan artefak, pemerasan, dan perampokan. Sebagai negara yang memiliki nilai sejarah dan budaya terkenal di dunia, tentu saja hamparan peninggalan masa lampau itu akan menjadi harta karun tak ternilai bagi ISIS. Begitu juga dengan banyaknya instansi keuangan di Jakarta yang merupakan sentral perekonomian Indonesia. Hanya dengan merampok instansi-instansi keuangan di Jakarta, bisa jadi akan melumpuhkan Indonesia secara keseluruhan.
Namun untuk mendapatkan itu semua, ISIS membutuhkan ‘modal’ dan perencanaan yang tak main-main. Sebagai ibukota negara, pusat pemerintahan dan perekonomian Indonesia, Jakarta memiliki pengamanan berlapis yang tak bisa dipandang rendah. Begitu juga wilayah-wilayah lain di Indonesia, kantung-kantung kemiliteran yang tersebar merata di seluruh Nusantara – termasuk di pelosok tanah air, telah terbukti selalu siap siaga menghadapi ancaman teroris sekecil apapun.
Persenjataan Modern
Di Suriah, persenjataan ISIS dikabarkan sangat lengkap, menurut Amnesty International, senjata-senjata yang digunakan ISIS berasal dari Inggris, Prancis, Rusia, dan AS. Organisasi HAM itu melaporkan, senapan serbu dan senjata kecil yang digunakan ISIS kemungkinan berasal dari Inggris yang dikirim ke Irak saat invasi tahun 2003. Setelah invasi berakhir, senjata-senjata Inggris itu diduga jatuh ke tangan mereka. Sehingga secara tak langsung, Sekutu sebenarnya telah mempersenjatai ISIS.
Menurut pasukan relawan Irak yang berhasil menguasai gudang dan tempat persembunyian senjata ISIS, persenjataan para milisi berasal dari AS, sedangkan bahan makanan didapat dari Arab Saudi dan Qatar. Situs berita Irak Alahed, mengabarkan kalau sebelumnya sering terlihat ada pesawat-pesawat tak dikenal yang menjatuhkan senjata dan perlengkapan militer kepada ISIS di kawasan Al-Daur di timur kota Tikrit.
Kabar lain juga menyatakan kalau ISIS mampu memproduksi senjata dengan skala dan kecanggihan yang setara dengan peralatan pasukan militer nasional. Kelompok militan yang mengklaim kekuasaan di Irak dan Suriah ini, bahkan memiliki standar khusus dalam merakit senjata mereka. Menurut kelompok pengawas senjata Conflict Armament Research (CAR), mengungkapkan kalau sebelumnya ISIS memiliki “rantai pasokan yang kuat” dengan bahan baku dari Turki dan produksi senjata rakitan yang masif.
Namun kehebatan persenjataan yang mereka miliki itu, kini hanyalah rongsokan diantara reruntuhan belaka, setelah digempur dan diporakporandakan oleh pasukan koalisi Internasional, terutama pasukan Rusia. Baik di Irak maupun Suriah, ISIS sudah dihancurkan. Bahkan di Marawi pun pasukan pemberontak Maute yang telah bersumpah setia pada ISIS mulai terpojok dengan semakin kuatnya militer Filipina, berkat kiriman persenjataan dari Tiongkok dan AS.
Di  Marawi, kelompok Maute diuntungkan dengan banyaknya polisi dan militer korup yang memperjualbelikan senjata pada mereka. Bahkan disinyalir, kelompok Santoso di Poso pun persenjataannya dipasok dan diselundupkan dari Filipina. Namun setelah semua jalur logistik dari luar Indonesia – baik dari Timur Tengah maupun Filipina, nantinya diputus oleh pihak keamanan Indonesia, akan kemana ISIS mendapatkan persenjataan?
Bila di Irak, Suriah, dan Filipina yang memiliki persenjataan canggih saja ISIS kalah, bagaimana mungkin mereka mampu bertahan di Indonesia? Dari mana mereka akan mendapatkan peralatan canggih yang mampu melawan kehebatan militer Indonesia? Apalagi baik AS, Tiongkok, Australia, dan negara-negara lain tentu tak akan tinggal diam melihat investasi mereka di Indonesia akan ikut dikuasai.
Tentara Bayaran
Walaupun di Indonesia untuk mendapatkan laskar jihad yang bersedia bertempur tanpa bayaran sangat mudah, namun ISIS tentu membutuhkan tentara profesional untuk menghadapi militer Indonesia yang menduduki peringkat ke 14 terkuat di dunia. Sedangkan untuk membayar prajurit-prajurit profesional tersebut, lagi-lagi ISIS membutuhkan dana yang besar untuk mendapatkannya.
Pihak pasukan Rusia telah memastikan, bahwa para tentara yang berperang di pihak ISIS sebagian besarnya adalah tentara bayaran. Seorang pejabat dari Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan kalau ada sekitar 25 ribu hingga 30 ribu tentara bayaran yang berasal dari negara-negara pasifik. Umumnya mereka diiming-imingi uang sebesar 200 dollar per bulan dan juga perempuan.
Hanya saja, belakangan ini kondisi keuangan ISIS mengalami paceklik, lantaran jet tempur Rusia secara berkelanjutan telah mengebom tanker minyak ISIS yang hendak menuju Turki. Padahal, ISIS harus mengeluarkan sekitar 40 hingga 66 miliar per bulan untuk keperluan perang serta operasional lain. Dulu, nilai itu tidak ada apa-apanya bagi mereka, tapi sekarang kondisinya berbeda. ISIS telah bangkrut.
Bukti bangkrutnya ISIS ini ditemukan oleh petinggi militer AS yang memimpin pasukan koalisi, Mayjen Peter E. Gersten. Ia menemukan dokumen yang memperlihatkan ISIS mulai kekurangan uang tunai karena sebagian uangnya habis digunakan untuk membayar budak seks. Akibatnya, ISIS mulai kesulitan membayar milisinya. Tak heran bila banyak milisi yang mulai meninggalkan pertempuran (desertir).
Lebih menyedihkan lagi, akhir-akhir ini para prajurit yang masih bertahan pun dikabarkan tidak punya apapun untuk dimakan. Para penduduk setempat juga lebih suka menghindar dari para milisi, serta menolak menolong mereka. Pembelotan besar-besaran para prajurit di garis depan pun menjadi hal biasa, setelah gajinya dipotong hingga hanya 50 dollar saja. Jadi, bagaimana ISIS mampu ‘mengimpor’ tentara bayaran ke Indonesia, bila di markasnya sendiri saja mereka kehilangan prajurit?
Masuk Indonesia? Gebuk Saja!
Seringnya Indonesia mendapatkan teror dari oknum-oknum yang mengatasnamakan ISIS, memang menjadi keprihatinan. Namun, butuh upaya besar bagi kelompok teroris dunia ini untuk bercokol di Indonesia. Tanpa adanya kevakuman pemerintahan, donatur yang kuat, sumber penghasilan besar, persenjataan canggih, dan prajurit bayaran yang profesional, tak mungkin ISIS mampu menguasai, Jakarta – apalagi Indonesia.
Belum masuk ke Indonesia pun, Panglima TNI Gatot Nurmatyo dan Kapolri Tito Karnavian sudah bersiap siaga penuh untuk menangkal aksi-aksi terorisme dari dalam negeri. Begitu pula masyarakat Indonesia, tak sedikit yang bersedia bangkit melawan ISIS. Apalagi menurut survei yang dilakukan Saiful Mujani Research Center, 95,3 persen warga Indonesia menolak kehadiran ISIS di Nusantara.
Belum lagi di mata internasional, Indonesia memiliki arti yang sangat penting. Posisi Indonesia yang strategis, baik dari sisi geopolitik dan bisnis, juga menguntungkan dari segi keamanan. Karena ada banyak negara yang tidak ingin bila Indonesia dikuasai kelompok tertentu, apalagi teroris. Bahkan Australia sebagai negara tetangga, sudah menyatakan kesiapannya membantu Indonesia mengatasi gerakan teroris di tanah air. Jadi apalagi yang membuat kita takut pada ISIS? Berani masuk ke Indonesia, gebuk saja!   (R24)