KRjogja.com, YOGYA – Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) DIY, bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (FH UAD) dan Election Corner Universitas Gajah Mada (EC UGM), pada tanggal 27 November 2024, melakukan Pemantauan Tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilihan Serentak di 5 Kabupaten/Kota se-DIY. Tim Pemantauan melibatkan 319 relawan berasal dari JaDI DIY (22), FH UAD (266) dan EC UGM (31) yang memantau di lima Kabupaten Kota di DIY. Frenky Argitawan Mahendra selaku Sekertaris Umum JaDI DIY menuturkan secara umum, proses pemungutan dan penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) berjalan lancar, sesuai dengan regulasi yang berlaku, serta tidak ada kekurangan logistik TPS. “Meskipun demikian, kami mencatat beberapa temuan yang perlu menjadi perhatian sebagai berikut, ada surat suara tanpa stempel/tanda tangan ketua KPPS, tetapi sudah tercoblos, satu surat suara ditemukan dicoret oleh pemilih”, tutur Frenky. “Beberapa TPS juga kurang aksesibel bagi difabel, Lansia juga sering kali didampingi diluar bilik suara karena kesulitan akses, Lansia serta diberikan kesempatan mencoblos mandiri di kursi penunggu sehingga kerahasiaannya tidak terjamin, dan ada pemilih disekitar TPS yang menawarkan diri menjadi pendamping lansia”, lanjutnya. Frenky mengatakan, ditemukan juga beberapa TPS tidak menyediakan alat bantu tuna netra, akses disabilitas yang tidak memadai, ada beberapa DPT yang menyandang disabilitas tidak bisa mengakses bilik suara secara langsung sehingga bilik suara harus dipindahkan ketempat yang lebih rendah. “Untuk Kinerja Petugas KPPS kurang teliti saat registrasi dan penghitungan suara, menyebabkan selisih surat suara yang digunakan dan jumlah pemilih yang hadir, ada juga petugas KPPS condong ke salah satu paslon dengan gestur yang tampak tidak netral, serta kurangnya kesiapan petugas menyebabkan antrean panjang”, katanya. Terdapat juga beberapa kasus di mana pemahaman petugas KPPS dan PTPS terhadap regulasi masih kurang optimal, ada juga upaya penolakan dari KPPS terhadap permintaan saksi untuk mendapatkan salinan Formulir C1-Hasil. Frenky menyampaikan, terdapat juga Ketua KPPS yang tidak memberikan penjelasan mengenai tata cara pencoblosan/pemungutan suara kepada pemilih. Serta terdapat miskomunikasi petugas KPPS dalam penghitungan suara, kemudian dilakukan penghitungan suara ulang dengan kesepakatan para saksi dan Pengawas TPS. Ada juga kasus pemilih tidak membawa formulir C pemberitahuan karena merasa tidak pernah menerima formulir tersebut, serta kurang siapnya KPPS menyediakan formulir DPTb . Pada saat proses pemantauan, para pemantau mengalami keterbatasan akses visual dan dilarang memotret C Hasil-KWK, saksi juga sering meninggalkan tempat dan tidak menempati posisi yang disediakan. Selain itu, beberapa TPS tidak menyediakan tempat bagi Pemantau. Ada juga PTPS yang mengerjakan laporan di belakang bilik suara. “Ditemukan juga seorang pemilih mengenakan atribut mendukung salah satu paslon. Ada juga saksi yang melakukan video call dan kampanye diam-diam di area TPS. Ada pemilih yang menggunakan ponsel di bilik suara, pemilih membawa anaknya masuk kedalam bilik suara”, sampainya. Frenky menjelaskan, terdapat juga kesalahan teknis penulisan pada formulir dan selisih jumlah suara karena surat suara terselip, ada pemilih bukan DPT diizinkan mencoblos menggunakan KTP elektronik sebelum jam 12 siang. Serta adanya kotak suara sebelum penghitungan suara tidak dikeluarkan dan dihitung surat suaranya, hanya ditunjukan satu persatu saat proses penghitungan suara berlangsung. “Ada juga kasus pemilih yang tidak mencelupkan jarinya pada tinta, pemantau diminta mengikuti pengambilan sumpah oleh Linmas, terdapat pemilih ketahuan tidak melakukan pencoblosan pada kertas suara di bilik suara, surat suara langsung dimasukkan ke kotak suara, petugas KPPS penjaga kotak suara juga tidak teliti untuk mengingatkan kepada pemilih”, jelasnya. Untuk Jemput Bola KPPS ada yang tidak mengajak saksi ketika melayani pemilih menggunakan hak pilih dirumahnya, termasuk tidak mengajak pemantau. Frenky mengungkapkan, ada juga lokasi TPS tidak strategis dan kurang terbuka, sehingga proses penghitungan sulit disaksikan publik, TPS di dalam rumah pribadi tampak tertutup dan tidak aksesibel sehingga mempersulit pengawasan dan pemantauan. Beberapa TPS memanfaatkan seluruh bangunan fasilitas umum. Tembok dan pintu dijadikan sebagai batas TPS, kondisi ini menghambat pemantau dan masyarakat untuk mengamati proses pemungutan suara secara lebih dekat dan mendokumentasikannya. Frenky menambahkan, di beberapa TPS ditemukan ketidakhadiran saksi atau saksi hanya hadir sebagian waktu selama proses pemungutan dan penghitungan suara. Hal ini berpotensi mengurangi pengawasan dan transparansi proses pemilu. “Kami berharap catatan hasil pemantauan ini dapat menjadi bahan evaluasi bagi Penyelenggara Pemilu untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pilkada selanjutnya. JaDI DIY, FH UAD, dan EC UGM berkomitmen untuk terus mengawal proses demokrasi di Indonesia agar berjalan dengan berintegritas, jujur, adil, dan transparan”, pungkasnya.(*-1)