Kabar terbaru, laporan Antasari tentang persangkaan palsu dalam proses hukum pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen pada tahun 2009 lalu dihentikan oleh pihak kepolisian.
PinterPolitik.com
“Power is of two kinds. One is obtained by the fear of punishment and the other by acts of love” – Mahatma Gandhi (1869-1948)
[dropcap size=big]J[/dropcap]ika Mahatma Gandhi masih hidup, mungkin kita bisa bertanya, kekuasaan jenis mana yang sedang dialami pengaruhnya oleh Antasari Azhar – mantan ketua KPK periode 2007-2009. Yang jelas kisah tentang pria kelahiran Pangkal Pinang enam puluh empat tahun lalu ini sempat menjadi penghias halaman utama koran-koran pagi beberapa waktu lalu.
Saat ini, publik menunggu kelanjutan salah satu kasus yang menjadi perbincangan hangat di masyarakat beberapa waktu lalu tersebut. Kita tentu ingat pada bulan Februari 2017, tepat sehari sebelum gelaran Pilkada DKI Jakarta putaran pertama diselenggarakan, Antasari membuat pengakuan mengejutkan dihadapan awak media.
Saat itu, Antasari menyebutkan beberapa nama yang menurutnya terlibat dalam persangkaan untuk menjeratnya dalam kasus pembunuhan Direktur Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen pada tahun 2009 lalu. Kasus tersebut membuat Antasari divonis dengan hukuman 18 tahun penjara, sebelum mendapat pengurangan masa tahanan dan secara resmi bebas setelah mendapatkan grasi dari Presiden Joko Widodo pada 23 Januari 2017.
Dalam pengakuannya, tidak tanggung-tanggung, Antasari menyebut nama Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai salah satu orang yang berperan dalam persangkaan palsu atas dirinya. Ia juga menyebut nama pengusaha media, Hary Tanoesoedibjo, sebagai orang yang juga terlibat dalam kasus tersebut. Atas dasar keyakinan itulah, Antasari kemudian melaporkan hal tersebut ke pihak kepolisian.
Laporan yang menghebohkan ini juga diikuti wawancara di televisi, di mana Antasari sekali lagi secara tegas menyebutkan keterlibatan SBY dalam kasusnya itu. Atas aksinya tersebut, pihak SBY dan Partai Demokrat kemudian melaporkan Antasari ke kepolisian atas tuduhan pencemaran nama baik.
Kabar terbaru, laporan Antasari tersebut dihentikan oleh pihak kepolisian. Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri memastikan akan menghentikan penyelidikan kasus tersebut. Ketiadaan bukti baru ditengarai menjadi penyebab penyelidikan kasus ini dihentikan.Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal (Pol) Herry Rudolf Nahak. Ia menjelaskan, pihaknya telah meneliti sejumlah barang bukti yang telah disampaikan oleh Antasari, namun penyidik menyimpulkan barang bukti tersebut sudah pernah disampaikan dalam persidangan kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen di pengadilan.
Hal itulah yang menyebabkan laporan Antasari tidak bisa naik ke penyidikan. Walaupun pihak kepolisian memutuskan untuk menghentikan penyelidikan atas kasus ini, pihak Partai Demokrat disebut-sebut akan tetap meneruskan proses hukum dalam laporan pencemaran nama baik terhadap Antasari.
SBY berjabat tangan dengan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar, di Kantor Kepresidenan, Jakarta, pada tahun 2009.
Penghentian kasus ini tentu menimbulkan tanda tanya besar, apakah kasus ini memang benar-benar sudah selesai, ataukah cuap-cuap Antasari saat itu lebih cenderung bersifat politis? Hal ini menarik, mengingat banyak masyarakat menunggu-nunggu akhir dari ‘drama’ yang membawa nama-nama besar dan telah dimulai oleh Antasari tersebut.
Cuap-cuap Antasari
Cuap-cuap Antasari pada 14 Februari 2017 lalu seolah menjadi hujan di siang bolong – tak ada angin, tak ada awan, tiba-tiba saja terjadi. Bahkan tudingan Antasari terhadap SBY seolah-olah tidak bisa dilepaspisahkan dari status SBY sebagai salah satu tokoh penting di Pilkada Jakarta saat itu, di mana putera pertama SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sedang bersaing memperebutkan ‘kursi panas’ gubernur DKI Jakarta keesokan harinya. Disebut ‘kursi panas’ karena posisi gubernur DKI Jakarta sangat menentukan peta politik nasional secara keseluruhan.
Hal itulah yang menyebabkan SBY harus ‘bela-belain’ mengadakan konferensi pers pada malam harinya untuk mengklarifikasi tuduhan yang disampaikan oleh Antasari tersebut. Bahkan, jika mau dianalisis secara lebih jauh, boleh jadi cuap-cuap Antasari ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kekalahan AHY dalam kontes Pilkada Jakarta.
Ketika dimintai tanggapan terkait kasusnya yang dihentikan oleh pihak kepolisian, Antasari menyebutkan bahwa ia bisa menerimanya, asalkan memang sudah diupayakan dengan maksimal.
Jika sudah maksimal saya terima jika di hentikan.
Yapi jika belum dicari lalu di hentikan berartikan tanda tanya besar ya
— Antasari Azhar (@azhar_antasari) May 19, 2017
“Saya kan sudah lapor. Kalau pun hasil penyelidikan mengatakan bahwa tidak cukup alat bukti. Mereka akan hentikan. Pertanyaannya yang mencari alat bukti siapa? Jika memang sudah maksimal mereka lakukan, saya bisa terima,” kata Antasari ketika, seperti dikutip dari detik.com pada 18 Mei 2017.
Pernyataan Antasari ini terkesan aneh, mengingat ia sebelumnya begitu yakin kalau kasusnya bisa diproses hukum ke tahap selanjutnya. Kita tentu ingat bagaimana ekspresi berapi-api yang ditampilkan Antasari saat memberikan keterangan pers di depan media, setelah melaporkan dugaan persangkaan palsu tersebut. Mengapa Antasari begitu saja menerima keputusan kepolisian untuk menghentikan penyelidikan atas laporannya?
Politisasi Kasus Hukum?
Mungkin, salah satu variabel jawaban yang bisa muncul untuk pertanyaan di atas adalah, bahwa dalam cuap-cuap Antasari ada nuansa politiknya. Bahkan, kalau mau ditarik ke belakang, grasi terhadap Antasari juga bisa dianggap lebih cenderung bersifat politis dibandingkan sisi keadilan hukumnya – hal yang juga disebutkan oleh SBY dalam konferensi pers untuk mengklarifikasi tuduhan Antasari.
Antasari bertemu Presiden Jokowi setelah permohonan grasinya dikabulkan. (Foto: istimewa)
Hal lain yang bisa dilihat adalah ketika Antasari hadir dalam debat Pilkada Jakarta, pada 27 Januari 2017 lalu. Ia hadir dan bergabung dengan tim yang menjadi lawan AHY, yaitu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat. Wajar jika banyak pihak menilai kasus Antasari ini menjadi ‘kartu As’ untuk melawan gerakan mengalahkan Ahok yang terjadi selama 6 bulan terakhir, dengan tajuk penistaan agama Islam. Benarkah demikian?
(Baca: Kartu As Bernama Antasari)
Tuduhan itu bukan tanpa alasan, mengingat SBY disebut-sebut sebagai orang yang selama 6 bulan ini berada di balik berbagai aksi protes di ibukota, mulai dari gerakan 411 hingga aksi 212. Tuduhan ini meruncing ketika Presiden Jokowi sendiri menyebut keberadaan ‘aktor politik’ dalam aksi 411, saat ia memberikan keterangan pers menanggapi aksi tersebut.
Dengan segala perubahan dalam peta politik nasional saat itu – bahkan berpotensi menjadi chaos dalam skala besar – boleh jadi Antasari menjadi ‘kartu As’ untuk menjegal peluang trah Cikeas berkuasa di ibukota. Terlepas dari performa AHY yang kurang baik dalam debat-debat Pilkada, jika dilihat dari sisi dukungan politik, ia seharusnya mampu melangkah minimal ke putaran kedua – walaupun tidak dapat dipungkiri faktor performa debat dan gagasan politiknya juga sangat mendukung penurunan elektabilitas AHY.
Analisis lain juga bisa berkaitan dengan apa yang disebut sebagai ‘politik dendam’ yang terjadi antara SBY dengan Megawati Soekarnoputri.
(Baca: Kisah Dendam Di Balik Kekuasaan)
Bukan rahasia lagi jika kedua elit politik ini adalah seteru politik yang paling dominan selama hampir dua dekade terakhir. Hal yang membuat perseteruan keduanya unik adalah karena mereka sepertinya sulit untuk ‘berdamai’. Mungkin kata-kata ‘don’t take it personal’ tidak berlaku untuk hubungan politik dan personal antara SBY dan Megawati.
Lalu, kartu As siapakah Antasari? Sulit untuk menebak-nebak secara pasti. Yang jelas, dihentikannya penyelidikan kasus Antasari ini seolah menjadi titik balik setelah pertemuan SBY dan Jokowi di Istana Kepresidenan beberapa waktu lalu. Terlepas dari berbagai selentingan di media sosial terkait keterlibatan petinggi polri dalam kasus ini, dihentikannya penyelidikan atas kasus ini bisa jadi membuktikan tercapainya win win solution antara elit-elit politik. Apakah itu berarti kasus Antasari memang dipolitisasi? Mungkin masih butuh waktu untuk secara tegas menjawabnya.
Apa yang Bisa Dipelajari?
Raja Louis XIV dari Prancis mungkin dianggap sebagai salah satu diktator paling terkenal, apalagi jika melihat salah satu ucapannya yang paling terkenal: ‘L’Etat, c’est moi’. Kalimat yang berarti ‘negara adalah saya’ ini menggambarkan apa yang terjadi jika penguasa mengidentikkan negara dengan dirinya sendiri – ia bisa dengan bebas mengatur negaranya dan berkuasa untuk apa pun, termasuk dalam hal menjalankan hukum.
Mungkin terlalu jauh untuk menilai Indonesia dengan ucapan Raja Louis XIV tersebut. Namun, jika penguasa bisa mempolitisasi kasus hukum untuk tujuan tertentu, bukankah itu hampir sama dengan mengatakan ‘negara adalah saya’? Karena ‘negara adalah saya’, maka boleh dong mengatur sesuka saya?
Antasari mungkin memperjuangkan keadilan untuk dirinya. Namun, kalau sudah berhadapan dengan orang yang lebih berkuasa, apa daya. Kekuasaan itulah yang membuat keadilan seringkali menjadi relatif.
Tuhan itu tdk tidur,walaupun sy di Berhentikan. sekarang terbuktikan di mana2 banyak yg mangkrak
Itu tanda nya ada yg tidak beres
— Antasari Azhar (@azhar_antasari) May 19, 2017
Hal lain yang juga perlu disadari oleh para elit politik adalah, bahwa rakyat di lapisan bawah sangat mudah terpecah belah jika elitnya saling ‘bersenggolan’. Ibaratnya, jika elit politik hanya saling umpat, masyarakat di bawah bisa saling tinju. Elitnya hanya saling senggol, masyarakat bisa saling bacok, bahkan bunuh-bunuhan. Oleh karena itu, sudah selayaknya elit-elit di tingkat atas menyadari bahwa apa pun tujuan politiknya, harus selalu diarahkan untuk kepentingan yang lebih besar, yakni untuk kepentingan bangsa dan negara.
Pada akhirnya, seperti kata Mahatma Gandhi di awal tulisan ini, kekuasaan itu sangat tergantung pada pilihan: menebar ketakutan atau menebarkan cinta. Niscaya, jika para elit politik di negara ini memahami kekuasaan sebagai cinta, keindahan politik tidak perlu dinikmati dengan perpecahan. (S13)