Hal itu disampaikan Ketua Bidang Perikanan dan Peternakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Hendra Sugandhi dalam Diskusi Publik KNTI ‘Arah Kebijakan Baru Pemerintah Indonesia pada Tata Kelola Perikanan’, Selasa, 29 Oktober 2024.“Penangkapan ikan terukur itu kuota jumlah tangkapan ikan mengabaikan status tingkat pemanfaatan, semua (Wilayah Pengelolaan Perikanan-WPPNRI) dianggap hijau. Apalagi JTB (jumlah tangkapan yang diperbolehkan) itu hanya estimasi bukan angka pasti jika over estimasi membahayakan keberlanjutan sumber daya ikan,” kata Hendra dikutip dari kanal Youtube DPP KNTI Nelayan Indonesia, Kamis, 31 Oktober 2024.
Kemudian, ia menyebut sistem kuota PIT juga berpotensi melahirkan rent seeker atau pelaku usaha yang mencari keuntungan ekonomi dengan cara memanipulasi atau merekayasa aturan, kebijakan, tarif, regulasi, politik, dan alokasi anggaran negara.“Jika kuota PIT dijual ke pihak asing akan membahayakan keberlangsungan usaha penangkapan ikan nelayan lokal. Teritorial itu harus kita protect untuk nelayan kecil,” tegasnya.“Kemudian 12 mil sampai 200 mil memang untuk kapal-kapal skala menengah, nah yang paling miris adalah kita memanfaatkan laut lepas, ini yang harus kita manfaatkan secara optimal. Kalau kita tidak mampu, tapi saya harap mampu, baru kita undang asing, jangan di WPP,” tambahnya. Oleh karena itu, ia mengusulkan agar PP 11/2023 itu dibatalkan atau dicabut demi berjalannya usaha perikanan yang baik. Selain PP tersebut, Hendra juga mengurai peraturan-peraturan lain yang menjadi penghambat. Di antaranya PP 85/2021 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Selanjutnya, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KKP) Nomor 5 Tahun 2022 adalah peraturan yang mencabut Permen KKP Nomor 36/Permen-KP/2015 tentang Kriteria dan Pengelompokan Skala Kecil, Skala Menengah, dan Skala Besar dalam Pungutan Hasil Perikanan. Menurut dia, Permen ini tidak proporsional dan memberatkan nelayan.