Kehadiran Fly Jaya dan Masa Depan Bisnis Penerbangan Indonesia

Kehadiran Fly Jaya dan Masa Depan Bisnis Penerbangan Indonesia

28 January 2025, 14:14

tirto.id – Langit Indonesia akan semakin ramai oleh kehadiran maskapai anyar, Fly Jaya. Berdasarkan laman resmi perusahaan yang berkantor di Menara Ekuitas, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan itu, operasional akan dimulai di tahun ini.Sementara rute yang akan dilayani oleh Fly Jaya adalah berbagai daerah di dalam negeri, mulai dari Jakarta melalui Bandara Halim Perdana Kusuma; Bandung, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY); dan Samarinda melalui Bandara Melalan Melak. Hal ini sesuai dengan misi maskapai tersebut untuk menyediakan penerbangan yang andal dan nyaman bagi masyarakat.“Misi kami, #ConnectingNusantara, adalah menjembatani pulau-pulau dan masyarakat Indonesia, menawarkan perjalanan yang lancar baik untuk liburan maupun bisnis. Kami berkomitmen untuk menyediakan layanan luar biasa yang mencerminkan keindahan dan keragaman bangsa kita,” tulis manajemen pada laman resminya, dikutip Rabu (22/1/2025).Sayangnya, sampai berita ini ditulis, Tirto belum berhasil mendapatkan jawaban dari manajemen soal persiapan operasional maskapai dan kapan tepatnya Fly Jaya akan mulai mengudara.Selain Fly Jaya, industri penerbangan sudah terlebih dulu diramaikan oleh kedatangan PT Blue Bird Nordic (BBN) Airlines Indonesia yang resmi mendapatkan Sertifikat Operator Pesawat Udara alias Air Operation Certificate (AOC) dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pada Mei 2024. Kemudian, BBN Airlines Indonesia memulai penerbangan penumpang komersialnya secara resmi pada September 2024.Sebagai informasi, AOC merupakan sertifikat yang harus dikantongi maskapai untuk penerbangan penumpang komersial. Dus, Chairman BBN Airlines Indonesia, Martynas Grigas, berharap dengan adanya sertifikat itu, BBN Airlines Indonesia dapat memenuhi tingginya permintaan penerbangan domestik.“Selain permintaan penerbangan domestik yang cukup besar, permintaan dari India dan Cina juga cukup tinggi. Oleh karena itu, BBN Airlines Indonesia telah menata wilayah operasinya yang meliputi kawasan Asia & Oceania, sehingga tidak hanya melayani kebutuhan domestik, tetapi juga melayani permintaan dari negara-negara tetangga di kawasan tersebut,” jelasnya, dalam keterangan resmi, dikutip Rabu (22/1/2025).Calon penumpang melakukan lapor diri dan cetak tiket mandiri di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Rabu (4/12/2024). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/Spt.Dengan tujuan itu, sampai kini BBN Airlines Indonesia telah mengoperasikan sebanyak 5 armada pesawat, di antaranya: Boeing 737-800F, PK-BBN Boeing 737-800F, PK-BBF Boeing 737-800, PK-BBG Boeing 737-800 dengan kapasitas 189 kursi, dan PK-BBH Boeing 737-800 dengan kapasitas 189 kursi. Sementara pada awal mengudara, maskapai asal Dublin, Irlandia itu melayani rute Jakarta-Denpasar, Jakarta-Surabaya, dan Jakarta-Balikpapan.Sementara itu, bergabungnya Fly Jaya ke dalam industri penerbangan Tanah Air mendapat sambutan baik dari berbagai pihak. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, misalnya. Kata dia, hadirnya Fly Jaya akan sedikit mengobati krisis jumlah pesawat yang saat ini tengah dialami Indonesia.Dia menyebut, Indonesia kini membutuhkan 750 pesawat, namun terkini hanya ada 410 pesawat yang siap melayani penerbangan domestik. “Jadi tentu siapa pun yang berinvestasi untuk peningkatan daripada jumlah pesawat tentu harus disambut dengan baik. Kami dari BUMN memaksimalkan tentu Pelita, Garuda atau Citilink secara maksimal,” ungkap Erick saat ditemui di Kantor BUMN, Jakarta, Selasa (21/01/2025).Soal persaingan bisnis, Bos BUMN itu meminta agar para pemilik perusahaan aviasi tak usah khawatir karena Indonesia memiliki pangsa pasar cukup besar untuk penerbangan domestik. Bahkan, tak kalah dengan pasar Amerika Serikat (AS) dan Cina. Saat ini yang terpenting untuk memastikan kondisi minimnya jumlah pesawat dapat segera teratasi.“Saya rasa marketnya cukup besar. Kalau kita lihat komparasi dengan domestik market yang ada di Amerika Dan China saya rasa kita juga potensi yang luar biasa, tinggal bagaimana kita coba bisa menambah jumlah pesawat ini ke depan,” imbuh dia. Hal serupa disampaikan Menteri Perhubungan (Menhub), Dudy Purwagandhi. Kendati, dirinya akan telebih dulu mengecek izin terbang komersial maskapai milik PT Surya Mataram Nusantara tersebut.“Kebetulan saya belum lihat di meja saya, nanti saya coba cek kepada staf apakah pengajuan. Tapi saya rasa hadirnya maskapai harus kita sambut dengan baik, apa pun itu, untuk bisa melayani lebih baik lagi kepada masyarakat,” ungkapnya pada kesempatan yang sama.Dudy menyebut, saat ini Fly Jaya baru memiliki sertifikat standar angkutan udara yang baru terbit pada Desember 2024.Terpisah, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Lukman F Laisa, mengatakan, izin operasi Fly Jaya paling cepat dapat terbit pada pertengahan tahun 2025. Sebab, saat ini proses pengajuan AOC maskapai tersebut baru sampai di tahap pertama, dari total lima tahap yang harus dilalui.“Tapi, penerbitan AOC tergantung aplikan (pemohon), dalam hal ini Fly Jaya. Kalau respon Fly Jaya bagus, penerbitan AOC bisa cepat. Sampai saat ini, Fly Jaya masih berproses untuk mendapatkan AOC,” kata Lukman, kepada Tirto, Selasa (22/1/2025).Soal rute, Kementerian Perhubungan telah menerima rencana awal Fly Jaya akan melayani penerbangan ke dan dari Yogyakarta serta Balikpapan, dengan pesawat akan terbang dari Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur.Masa Depan Bisnis Penerbangan RIAnalis Independen Bisnis Penerbangan Nasional, Gatot Rahardjo, sepakat hadirnya maskapai-maskapai anyar seperti Fly Jaya dan BBN Airlines Indonesia dapat menyemarakkan industri penerbangan Tanah Air. Lebih dari itu, kehadiran maskapai baru dinilai akan menambah kapasitas penerbangan dan mengatasi salah satu masalah industri: kekurangan pesawat.Kondisi ini tak lain dialami Indonesia imbas pukulan pandemi COVID-19. Meski sudah hampir tiga tahun berlalu, besarnya pukulan pagebluk membuat industri aviasi belum bisa bangkit. Hal ini tercermin pula dari jumlah armada pesawat yang sejak pandemi sampai kini telah menurun sekitar 34 persen.“Tapi kita belum tahu (dampaknya) seperti apa maskapai baru ini nantinya. Karena mereka baru memproses AOC. Nanti kalau sudah AOC baru terlihat business plan-nya seperti apa,” kata Gatot, kepada Tirto, Rabu (22/1/2025).Lebih lanjut, Gatot menjelaskan, ketika pandemi kebanyakan maskapai mengalami penurunan kinerja bisnis, sehingga mengurangi jumlah operasional armada. Namun, meski pesawat dalam kondisi terparkir dan tak terpakai, perawatan armada harus tetap dilakukan, termasuk dalam hal ini penggantian suku cadang. Artinya, ada biaya perawatan yang harus dikeluarkan oleh perusahaan penerbangan.“Tapi di pasaran, suku cadangnya tidak tersedia karena pabriknya juga kena dampak COVID. Harga suku cadang jadi mahal karena jumlahnya terbatas dan juga produksinya berkurang. Akhirnya, banyak maskapai yang pesawatnya masih di bengkel, MRO, karena tidak ada biaya bayar perawatan dan suku cadang dan pengiriman dari pabrik pesawat juga berkurang,” imbuh dia, sembari menjelaskan MRO alias Maintenance, Repair, and Overhaul yang merupakan kegiatan perawatan, perbaikan, dan pemeriksaan pesawat terbang.Kekurangan armada pesawat ini lantas menjadi salah satu sebab tarif tiket pesawat untuk rute domestik tinggi. Meski sebenarnya, dengan adanya Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB) yang diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 20 Tahun 2019, pemerintah seharusnya sudah mempertimbangkan daya beli masyarakat dalam menetapkan harga tiket pesawat.“Jadi kalau mau fair, harusnya tidak ada masyarakat yang merasa tiket mahal karena sudah diperhitungkan oleh pemerintah,” imbuh Gatot.Sementara itu, tak seperti pesawat jet yang sudah hampir pulih dari dampak pagebluk, rute-rute pesawat propeller (pesawat baling-baling) masih begitu memprihatinkan. Perlu diketahui, pesawat jet seringkali digunakan untuk melayani penerbangan jarak jauh seperti rute-rute internasional. Sedangkan pesawat propeller hanya melayani jarak pendek yang masih dalam lingkup regional.Dus, operasional Fly Jaya dinilai akan memberi dampak positif terhadap industri penerbangan domestik apabila pesawat tersebut mengerahkan banyak armada dan rute penerbangan domestik.“Kondisi pasar rute-rute untuk pesawat ATR (penerbangan jarak pendek) ini sedang kekurangan kapasitas secara kronis. Produktivitas sektor ini se-Indonesia diperkirakan masih dibawah 50 persen tingkat pra-pandemi. Ini dikarenakan masalah di pasokan suku cadang pesawat,” ujar Gerry, kepada Tirto, Rabu (22/1/2025).Sejumlah pesawat berada di apron Bandara Internasional Lombok, di Kecamatan Pujut, Praya, Lombok Tengah, NTB, Jumat (15/11/2024). ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/foc.Kondisi ini kemudian diperparah dengan biaya operasi yang sudah naik tinggi. Sayangnya, pemerintah belum juga merevisi naik TBA tiket pesawat, meski wacana penyesuaian aturan telah digaungkan sejak tahun lalu.Masalah kronis jumlah pesawat di Tanah Air, dimisalkan Gerry dengan total armada yang dioperasikan Wings Air. Perusahaan penerbangan yang dimiliki Lion Air Group ini diketahui memiliki sekitar 40 pesawat aktif dari total sekitar 60 armada. Namun, satu pesawat aktif hanya terbang rata-rata sekali per 2 hari.“Di mana seharusnya 4-8 penerbangan per hari per pesawat. Untuk penerbangan kelas ATR, Tarif Batas Atas sudah terlalu rendah dan harus direvisi naik,” imbuh dia.Tarif tiket pesawat yang mencakup juga biaya tambahan bahan bakar (fuel surcharge), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), asuransi Jasa Raharja, dan Airport Service Charge (SAC) alias biaya layanan jasa penumpang pesawat udara di bandara bagi penumpang, diakui Gerry memang mahal. Namun, hal itu tidak lantas menjadikan maskapai menanggung tarif tiket pesawat terlampau rendah.“Masyarakat harus paham bahwa memang biaya sedang mahal di dunia, dan di Indonesia terlihat lebih mahal karena harga paling tinggi dibatasi TBA, lalu layanannya ditentukan sesuai peraturan,” imbuh dia.Gerry pun menyayangkan orang-orang yang bukan hanya tidak mengerti alasan di balik harga tiket mahal, namun juga seolah tutup mata dan tak peduli akan nasib industri maskapai domestik. Atas tuntutan masyarakat, pemerintah pun memangkas tarif tiket pesawat dan meminta maskapai menurunkan harga tiket yang mereka jual pada periode libur Hari Raya Natal 2024 dan Tahun Baru 2025.Padahal, ketika peak season seperti hari libur ketika hari-hari besar keagamaan atau libur sekolah, lumrah jika harga tiket pesawat lebih mahal dari periode biasa.“Begitu peak season di luar negeri, harga tiket di luar negeri mahal, mereka diem, atau bilang wajar lah di luar negeri lagi peak season. Tapi nggak mau maskapai Indonesia diperbolehkan mempunyai kebebasan harga seperti di luar,” ucap dia.Untuk mencegah kemerosotan kinerja atau bahkan kebangkrutan maskapai Indonesia, Gerry menyarankan agar menaikkan TBA, hingga 40 persen. Jika tidak, pemerintah bisa mengubah Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan untuk menghapus TBA dan klasifikasi layanan. Dus, tarif tiket pesawat sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar.Sebagai informasi, klasifikasi layanan pesawat dibagi menjadi tiga: full service (maskapai yang memberikan layanan secara penuh dengan mengalokasikan biaya pemberian fasilitas pada tarif tiket pesawat), medium frills (pesawat dengan layanan standar minimum), dan no-frills (pesawat yang hanya memberikan layanan berupa kursi dan penerbangan itu sendiri). Dalam hal ini, maskapai full Service dapat memasang biaya dasar tiket pesawat sebelum pajak dan biaya tambahan (basic fare ticket) sampai 100 persen dari TBA, medium frills di 85 persen dan no frills di 75 persen.“Ya bisa aja TBA dan ketentuan layanan itu dihapus bersamaan, dan maskapai menentukan harga sendiri. Jika dia (maskapai) pasang kemahalan untuk layanan yang dia tawarkan, ya nggak ada yang akan beli,” ujarnya.Meski begitu, penghapusan klasifikasi layanan dapat membuat maskapai full service merugi, sehingga mendorong perusahaan untuk beralih ke penerbangan dengan medium frills atau bahkan no frills. Kata Gerry, ini berpotensi dilakukan maskapai agar bisa tetap mendapatkan untung dari tarif tiket pesawat.“Jika klasifikasi layanan dihapus, tanpa Tarif Batas Atas juga, maka tidak akan ada beda antara harga maskapai full service dan no-frills. Tidak akan ada beda antara harga maksimum maskapai full service dan no frills. Kalau ketentuan klasifikasi layanan dihapus tanpa ketentuan Tarif Batas Atas dihapus, ya akan begitu (banyak maskapai full service yang beralih),” tukas Gerry.