Usai Pilkada Jakarta, isu SARA tak serta merta berhenti begitu saja. Walau tidak sepanas sebelumnya, namun hembusannya masih terasa di masyarakat. Apakah SARA juga akan menjadi senjata ampuh pada setiap pemilu ke depannya?
PinterPolitik.com
“Kami (Anies-Sandi) harus bersiap-siap menjadi gubernur, kalau bagi Pak Basuki siap-siap tidak menjadi gubernur.”
[dropcap size=big]O[/dropcap]lok-olok Anies Rasyid Baswedan dalam debat Pilkada DKI Jakarta di Mata Najwa di atas, ternyata kini menjadi kenyataan. Dengan selisih suara sekitar 12,8 persen, pasangan Anies-Sandiaga Uno mampu menyingkirkan pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Syaiful Hidayat dari Balai Kota, untuk periode 2017-2022 pada Oktober nanti.
Hanya saja, kemenangan Anies-Sandi menyisakan pertanyaan, mampukah mereka menyatukan kembali warga Jakarta yang sudah terpecah belah akibat isu SARA yang ditabur selama kampanye lalu? Kemenangan pasangan nomor tiga ini, diakui mampu sedikit mendinginkan suasana Jakarta yang sempat panas dengan berbagai aksi organisasi massa Islam.
Sayangnya, meredanya aksi ini bukan berarti bisa membuat warga Jakarta bisa melupakan ‘luka’ yang pernah tertoreh sebelumnya. Walau di tingkat elite, kedua paslon sudah saling memaafkan, namun di akar rumput luka akibat gesekan keberpihakan mereka masih belum sepenuhnya sembuh.
Silaturahmi yang terputus antar keluarga, teman, rekan kerja, atau antartetangga sehingga saling tidak menyapa saat berpapasan, removed atau keluar dari grup whatsapp, delete contact atau status unfriend di medsos lainnya, masih menyisakan trauma yang memerlukan waktu untuk bisa disembuhkan.
Ketimpangan Sosial Berselimut SARA
“Demokrasi bukan hanya kotak suara semata. Kita harus berdiri di pihak mereka yang mencari kehidupan lebih baik.” ~ Barack Obama
Kehidupan yang lebih baik, bagi masyarakat Jakarta mungkin dengan memberikan kesempatan pada gubernur baru yang memiliki kesamaan kepercayaan sebagian besar rakyatnya. Menurut Ketua Eksekutif Indobarometer, Chudori, pilihan ini mau tak mau mencerminkan dominasi preferensi pemilih masih didasarkan pada isu primordial. Padahal idealnya, pemimpin yang terpilih seharusnya berdasarkan meritokrasi atau atas kemampuannya.Hal yang sama juga dikatakan pendiri SMRC, Syaiful Mudjani. Ia juga terheran-heran karena kentalnya fenomena keberpihakan pada kesamaan identitas primordialisme justru terjadi di ibukota negara yang penduduknya heterogen. “Bayangkan, bagaimana kuatnya ikatan primordial dan penolakan terhadap pihak lain di daerah-daerah,” ujarnya seraya menambahkan, kondisi itu menjadi “PR” bagi pendidikan politik bangsa ke depannya.
Anggapan ini disanggah oleh Pengamat Sosial Devie Rahmawati, menurutnya isu SARA yang mencuat di Pilkada Jakarta berakar dari permasalahan ekonomi, karena Indonesia secara umum sebenarnya memiliki toleransi tinggi. “SARA itu sebagai identitas yang membuat keresahan dan kegelisahan mereka menjadi satu, sehingga bisa teriak bersama karena memiliki kawan. Jadi sebenarnya bukan menyangkut mata sipit atau agama, bukan itu, tapi orang yang tidak bekerja,” katanya di Menteng, Jakarta.
Persoalan kesenjangan ekonomi yang terbungkus SARA itu, kemudian ditangkap dan diolah oleh elite politik untuk memenangkan pemilihan kepala daerah. “Ini yang kemudian dikendarai ‘orang’ dan mengambilnya sebagai gimmick (tipuan) politik, sebagai casing (wadah) dalam upaya memperjuangkan kontestasi,” kata dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia itu.
Neoliberalisme dan Konservatisme
“Demokrasi adalah dua serigala dan satu domba memutuskan berdasar penghitungan suara, apa yang akan dimakan untuk makan siang. Kebebasan adalah domba bersenjata melawan penghitungan suara.” ~ Benjamin Franklin
Dalam sistem perekonomian dunia yang menganut neoliberalisme saat ini, masyarakat yang termarjinalkan bisa diibaratkan sebagai domba yang terjepit diantara penghitungan suara dua serigala, seperti kutipan salah satu pendiri Amerika di atas. Tak terkecuali Indonesia, khususnya Jakarta. Masyarakat yang tergusur paksa, bisa jadi berada di posisi sang domba. Dan melalui SARA, sang domba seakan memiliki ‘senjata’ untuk mempengaruhi penghitungan suara itu.
Persoalan ketimpangan ekonomi, juga dilihat Devie sebagai faktor kalahnya Ahok-Djarot di sebagian besar wilayah Jakarta. Tapi, ia juga mengingatkan kalau bukan hanya Indonesia saja yang mengalaminya sehingga berdampak pada politik. Elit politik yang mengambil sikap untuk menjalankan ekonomi kapitalisme, terbukti hanya meninggalkan lubang dalam karena dianggap tidak mampu menyejahterakan rakyatnya.
Bagi Devie, fenomena populisme yang mengarah pada fasisme pun terjadi secara global. Meski berbeda, pilihan masyarakat Inggris keluar dari Uni Eropa bukan karena masyarakat Inggris berperilaku rasis terhadap para imigran. “Ketika mereka memilih Brexit (British Exit) itu bagian dari protes mereka terhadap Pemerintah Inggris yang memang tidak memenuhi kebutuhan dasar mereka,” terangnya.
Kebangkitan konservatisme di berbagai penjuru dunia, seperti terpilihnya Trump sebagai presiden Amerika Serikat, populernya Marine Le Pen di Perancis, hingga mobilisasi massa Islam untuk ‘menggagalkan’ seorang non-muslim menjadi gubernur di Jakarta (Ahok) membuat banyak pihak khawatir dengan masa depan dunia.Bahkan Fukuyama, si pendeklarasi “akhir sejarah”, khawatir dengan perkembangan dunia. Ia mengubah pandangannya tentang akan “abadinya” ekonomi pasar bebas dan demokrasi liberal sebagai tatanan final sistem ekonomi politik dunia. Kondisi saat ini, ujarnya, menunjukkan tanda-tanda adanya potensi perubahan sistem ekonomi politik dunia menuju ke masa lalu, yaitu ke masa di mana konservatisme berkuasa.
Mulutmu Harimaumu
“Demokrasi tidak lebih dari pemerintahan oleh majoritas, di mana 51 persen anggota masyarakat dapat mengambil hak-hak 49 persen anggota masyarakat lainnya.” ~ Thomas Jefferson
Dalam kasus Pilkada putaran kedua lalu, 57,95 persen warga DKI Jakarta yang memilih Anies-Sandi, berhak berbahagia di atas kekecewaan 42,05 persen pemilih Ahok-Djarot. Kemenangan dengan selisih yang lumayan besar ini, menurut Konsultan tim pemenangan Anies-Sandi, Eep Saefullah Fatah, bukan karena isu primordial seperti yang selama ini disinyalir oleh banyak kalangan.
“Di Jakarta sampai dengan exit poll, hanya 22 persen yang memilih karena agama dari semua pemilih yang ada,” kata Eep dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (22/4). Jumlah ini, lanjutnya, menggugurkan anggapan kalau pemilih pasangan calon nomor tiga adalah pemilih yang tidak rasional.
Pernyataan Eep ini konsisten dengan survei yang dilakukan oleh Indo Barometer. Menurut lembaga survei ini, berdasarkan kepuasan publik terhadap kinerja Ahok, angka penilaiannya sebenarnya cukup tinggi, yaitu 70 persen. “Lazimnya, calon dengan tingkat kepuasan setinggi ini, cenderung di dukung mayoritas pemilih,” kata Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari.
Namun pada kasus Ahok, faktor yang menjatuhkannya adalah dari kategori kesukaan personal pemilih kepada calon gubernur, di mana ia hanya mendapatkan 60 persen. Skor ini, seperti yang dikutip pada Harian Kompas beberapa waktu lalu, paling rendah dibanding lawannya. Untuk kategori yang sama, Anies mendapatkan skor 80 persen, sementara Sandi dan Djarot masing-masing memperoleh 70 persen.
Selain itu, ternyata faktor agama juga sangat berpengaruh bagi warga dalam menentukan pilihannya. Berdasarkan hasil survei yang sama, diketahui bahwa variabel suku dan khususnya agama memanglah kelemahan Ahok. Ia mengatakan, pendukung Ahok-Djarot didominasi warga yang beragama Kristen. Sedangkan mayoritas pemilih Islam mendukung Anies-Sandi.
“Hal ini penting dan menarik karena terjadi pergeseran komposisi dukungan pemilih Islam pada Basuki-Djarot. Sebelum peristiwa Al Maidah 51 di Kepulauan Seribu, pemilih Muslim mayoritas ke Basuki-Djarot. Namun, setelah peristiwa itu, mayoritas pemilih Muslim pindah ke Anies-Sandi,” jelas Qodari yang mengatakan kalau kesalahan Ahok tak lepas dari pepatah “mulutmu, harimaumu”.
Pengaruhi Pilkada 2018 dan Pilpres 2019
“Politik identitas mengeras, perbedaan ditingkahi dengan fatwa sesat.” ~ Najwa Shihab
Isu SARA memang bagai bumbu penyedap di setiap pemilihan umum, namun pada Pilkada DKI Jakarta tahun ini, bumbu yang ditabur terlalu banyak sehingga nyaris membuat Indonesia ‘sakit’ karena tubuh persatuannya terkoyak-koyak. Bila pada masa-masa lalu isu SARA mudah dienyahkan, di tahun ini, kehadirannya mampu berjaya.
Bahkan Qodari pun memperkirakan, ke depannya bumbu pedas ini akan terus ditabur. Baik itu di Pilkada Serentak 2018 maupun Pemilihan Presiden 2019 mendatang. “Tanpa bermaksud menimbulkan pesimisme, isu SARA dan politik identitas diperkirakan kembali muncul dalam kontestasi politik ke depan seperti Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.”
Perkiraan ini akui oleh Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjajaran Muradi Clark. Ia mengungkapkan kalau saat ini sudah ada kampanye dan penggalangan opini agar tidak memilih partai pendukung penista agama. Namun pengaruhnya tak akan signifikan di Pilgub Jatim. Itu mengingat dalam pilgub, pemilih lebih melihat figur calon gubernur atau wakil gubernur daripada partai pengusung.
“Ada efek domino Pilgub Jakarta terhadap Pilgub Jatim, tapi tidak signifikan. Sangat kecil pengaruhnya,” ujar mantan aktivis mahasiswa ’98 itu, Selasa (25/4). Menurut pemegang gelar dokter dari Flinders University, Australia ini, isu SARA yang kental pada Pilgub DKI Jakarta juga akan terjadi di Pilgub Jatim. Hal itu mengacu kelompok masyarakat yang aktif menolak Ahok menjadi gubernur DKI datang dari beberapa daerah di Jatim.
Kekhawatiran akan dipergunakannya kembali isu agama dan juga komunisme pada Pemilihan Presiden 2019 kelak, juga diungkapkan oleh Dosen Universitas Nasional Australia (ANU), Profesor Marcus Mietzner. “Saya menduga isu agama, isu komunisme dan isu politik identitas akan ada pada pemilihan presiden mendatang,” kata Marcus dalam sebuah diskusi kritis di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
Dalam kasus Ahok, jelas Marcus, persoalan agama menjadi penentu kemenangan. Apalagi ditambah dengan tudingan Ahok telah menistakan agama. Tanpa kasus itu pun, peta politik warga Jakarta 40 persennya adalah orang konservatif yang memilih pemimpin muslim dan hanya 35 persen pemilih yang pluralistik. “Sisanya, lebih banyak terpengaruh kasus penistaan agama dan gaya kepemimpinan Ahok,” simpulnya.
Belajar dari pengalaman Pilkada DKI yang penuh luka ini, Qudori menyarankan agar pemerintah mulai mengambil kebijakan yang minimalnya mampu mengurangi kesenjangan ekonomi. Sehingga deprivasi relatif yang selalu muncul dalam bentuk politik identitas dan isu SARA, tidak kembali lagi pada setiap pilkada dan pemilu. “Prioritas kebijakan yang harus diambil pemerintahan, bukan lagi pertumbuhan melainkan pemerataan ekonomi,” pungkasnya. Bagaimana pendapatmu? (Berbagai sumber/R24)