Mereka hanya diberikan janji oleh pemerintah bahwa para importir susu akan diwajibkan untuk menampung hasil susu peternak lokal dengan ancaman akan dicabut izin importnya jika tidak dijalankan. Tidak ada solusi fundamental yang diberikan oleh pemerintah. Dalam tata niaga persusuan nasional kita selama ini, peternak rakyat jelas dalam kedudukan sangat lemah. Mereka bukan hanya menjadi bulan bulanan pabrikasi penampung hasil susu mereka, tapi juga korban importir susu yang mendapatkan privilege kuota impor dari pemerintah.
Perusahaan pengolahan susu itu dapat semena mena menentukan menolak atau menerima setoran susu peternak rakyat. Apakah dengan alasan standar kualitas ataupun daya tampung yang dibuat buat. Sementara importir susu juga dapat setiap saat menekan harga susu peternak dengan menambah kuota impor. Dalam posisi di atas, peternak rakyat tentu hanya jadi bulan bulanan pemilik pabrik pengolahan dan pemasar serta importir susu. Sebabnya karena peternak tidak memiliki kuasa terhadap keputusan apapun dari pabrik pengolahan dan pemasar dan juga lobi terhadap pemerintah sebagai pemegang kuasa kuota impor. Nasib peternak sangat bergantung pada kebaikan hati pemilik pabrik pengolahan dan pemasar dan kebijakan pemerintah. Padahal pebisnis kita hanya punya satu tanggungjawab, mengejar keuntungan.Di berbagai negara yang industri susunya maju seperti New Zealand, Swiss dan bahkan Kanada sebagaimana saya lihat sendiri, para peternak itu mereka hanya fokus produksi. Peternak rakyat itu tidak dihargai setoran susunya dari harga pasaran. Tapi diberikan bagian keuntungan dari hasil perusahaan pengolah dan pemasar, dari bisnis hulu hingga hilir secara fair dan transparan. Seperti di New Zealand justru lebih hebat lagi. Peternak susu itu bergabung dalam satu koperasi susu yang bernama Koperasi Susu “Fonterra” (Diary Cooperative). Tugas dari koperasi susu Fonterra tak hanya memproses dan memasarkan, tapi juga memberikan layanan berupa penyediaan dana untuk rencana anggota koperasi lakukan ekspansi jumlah ternak sapi mereka, menyelenggarakan aktivitas pendidikan dan pelatihan, penanganan kesehatan sapi, dan bahkan hingga riset dan pengembangan. Peternak tidak dihargai hasil panenan susunya di tingkat kandang (on farm), tapi mereka mendapat keuntungan dari bisnis pendukungnya (off farm) setelah susu diolah dan dipasarkan oleh koperasi. Keuntungan dibagi sepenuhnya sesuai dengan kapasitas volume partisipasi setoran susu mereka. Keuntungan dari koperasi selain dibagikan kepada peternak anggotanya, juga dipotong dana cadangan untuk memupuk modal dan kembangkan layanan lanjutan. Bahkan mereka alokasikan dana khusus untuk mendukung aktivitas sosial bagi masyarakat. Peternak anggota koperasi susu itu mereka mendudukan perwakilan langsung di koperasi susu sebagai Board Of Director (Dewan Pengurus) dalam sebuah pemilihan demokratis di tingkat Rapat Umum (General Assembly). Dewan Pengurus koperasi mengangkat manajer profesional yang bekerja dan bertanggung jawab terhadap mereka. Dipandu oleh para manajer profesional koperasi susu dari tamatan kampus terbaik, Dewan Pengurus memutuskan kebijakan terbaik untuk peternak anggota koperasi susu. Lalu manajer profesional mengeksekusi kebijakan umum yang disusun tersebut dan melaporkanya kepada Dewan Pengurus.
Koperasi Fonterra saat ini kuasai pangsa pasar susu dunia hingga 35 persen. Dari 10.500 peternak anggota koperasi susu mereka per orang memiliki sapi perah rata rata 3.500 ekor sapi. Menjadi perusahaan besar penerima penghargaan sebagai perusahaan berbasis kepemilikan rakyat (people-based enterprise) yang kuasai bisnis susu dari hulu hingga hilir. Pemerintah jika memang serius untuk memperbaiki nasib peternak maka hal fundamental yang harus dilakukan adalah memperkuat peternak rakyat melalui koperasi. Jika hanya berikan janji dan regulasi sekelas Perpres maka akan tetap sama, jadi macan kertas yang tak berguna.
*Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis(AKSES) dan CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR)