Jakarta: Pernyataan kuasa hukum Lukas Enembe terkait penggunaan hukum adat dan kondisi kesehatan kliennya dianggap narasi di luar kasus. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak menggubris hal tersebut dan fokus mencari bukti.
“Karena narasi yang dibangun di luar itu tentu sama sekali tidak bisa menjadi alat bukti,” ujar juru bicara penindakan KPK Ali Fikri, Minggu, 16 Oktober 2022.
Menurut dia, proses penyidikan terus dilakukan dengan mencari bukti. Ali mengatakan KPK setidaknya membutuhkan lima unsur untuk memenuhi syarat hukum acara pidana.
-?
–
–
–
–
Komitmen KPK tak menggubris narasi terkait kasus Lukas Enembe didukung. Pengamat hukum Ali Yusran Gea menyebut narasi terkait pernyataan pengacara Lukas tak sesuai dengan kapasitasnya sebagai kuasa hukum.
“Pengacara itu membuat isu yang tidak masuk akal dan mencerminkan menghalangi proses hukum,” kata Ali Yusran Gea.
Dia menegaskan kasus Lukas tak bisa ditangani dengan hukum adat. Sebab, dugaan rasuah Lukas terkait dengan hukum nasional dan harus diusut dengan hukum positif.
Ali Yusran menegaskan Indonesia negara hukum dan tiap warganya mesti patuh pada hal itu. Jangan sampai, pernyataan kuasa hukum kontraproduktif dan menghalangi penegakan hukum.
“Jadi Lukas Enembe dan pengacaranya tidak boleh munculkan variabel lain, alasan sosiologi, alasan budaya, alasan ada konflik. Itu kan semua termasuk menghalang-halangi proses penegakan hukum juga,” ujarnya.
Sebelumnya, pengacara Lukas Enembe, Alloysius Renwarin menegaskan kasus dugaan suap dan gratifikasi kliennya harus diselesaikan secara hukum adat, bukan lewat KUHP. Alasannya, hukum adat di Papua masih sangat kuat.
“Ini kan permintaan dari keluarga dan masyarakat adat. Pak Lukas ditetapkan sebagai kepala suku besar dan mereka sudah mengambil alih persoalan Pak Lukas ke para-para adat,” ujar Alloysius beberapa waktu lalu.
(END)