Meski namanya tak begitu harum dan hanya sedikit tercatat dalam catatan sejarah perjuangan bangsa ini. Namun namanya tetap harum dan menjadi penyemangat bukan saja bagi para lelaki di dunia militer tetapi juga kaumnya.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]T[/dropcap]anpa coba mencari tahu lewat internet, jika ditanya siapa saja nama pahlawan wanita dari Wilayah Barat sampai Timur Indonesia yang anda kenal. Ya, diurutan pertama pasti disebut R.A. Kartini yang berasal dari Rembang, Jawa Tengah.
Urutan kedua adalah Dewi Sartika, Rohana Kudus, Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, ada juga Nyi Ageng Serang, ada Martha Christina Tiahahu dan masih banyak lagi.
Lalu, mengapa dan sejak kapan R.A. Kartini menjadi salah satu tokoh pahlawan yang sampai saat ini serasa diistimewakan oleh pemerintah, bahkan bulan kelahirannya menjadi bulan khusus untuk para wanita di Indonesia dalam merayakan kemerdekaannya?
Tapi, untuk saat ini kita tidak akan meributkan dan membahas hal itu.
Selanjutnya, apakah anda tahu bahwa tokoh emansipasi perjuangan wanita Indonesia sudah ada bahkan jauh sebelum era Tjoet Nja’ Dhien / Cut Nyak Dien (1848-1908)
Tokoh perempuan tangguh dan hebat, sekaligus pejuang emansipasi wanita ini memang belum banyak dikenal. Tetapi, namanya tetap harum dan dikenang bahkan lebih dikenal di pelajaran sejarah negara lain. Namanya juga tercatat dalam sejarah sukses menghalau Portugis dan Belanda masuk ke Aceh, sesuai catatan seorang wanita Belanda, Marie Van Zuchtelen, dalam bukunya berjudul “Vrouwlijke Admiral Malahayati” (Malahayati- Sang Admiral Wanita).
Ya, nama asli wanita tangguh ini adalah Keumalahayati, salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Namanya lebih dikenal dengan sebutan Laksamana Malahayati.Laksamana Malahayati merupakan wanita pertama di dunia yang pernah menjadi seorang laksamana. Ia lahir pada masa kejayaan Aceh, tepatnya pada akhir abad ke-XV. Berdasarkan bukti sejarah (manuskrip) yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia dan berangka tahun 1254 H atau sekitar tahun 1875 M, Keumalahayati berasal dari keluarga bangsawan Aceh. Belum ditemukan catatan sejarah secara pasti yang menyebutkan kapan tahun kelahiran dan tahun kematiannya. Diperkirakan, masa hidupnya sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI.
Ayahnya, bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah Kesultanan Aceh sekitar tahun 1530-1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.
Dilihat dari silsilah tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Laksamana Malahayati merupakan keturunan darah biru atau keluarga bangsawan. Ayah dan kakeknya pernah menjadi laksamana angkatan laut. Tak ayal jiwa bahari yang dimiliki ayah dan kakeknya tersebut kental mengalir didirinya, meskipun ia seorang wanita.
Wanita Pemimpin Armada Janda
Memasuki usia remaja, Laksamana Malahayati mendapatkan kebebasan untuk memilih pendidikan yang diinginkannya. Ketika itu Kesultanan Aceh Darussalam memiliki Akademi Militer yang bernama Mahad Baitul Makdis, yang terdiri dari jurusan Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Setelah menempuh pendidikan agamanya di Meunasah, Rangkang, dan Dayah. Ia kemudian mendaftarkan di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis dan berhasil menyelesaikan pendidikan militernya.
Sebagai siswa berprestasi, Laksamana Keumalahayati kemudian meneruskan jurusan Angkatan Laut. Ketika menempuh pendidikan di akademi ini ia bertemu dengan seorang calon perwira laut yang lebih senior (data tentang namanya belum diketahui). Singkatnya, mereka berdua menikah setelah lulus dari Akademi Militer Mahad Baitul Makdis.
Usai menikah, Laksamana Malahayati terus berkarir di dunia pergerakan dan perjuangan. Ia diangkat oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil (1589-1604 M) sebagai Komandan Protokol Istana Darud-Dunia di Kesultanan Aceh Darussalam. Pada tahun 1585-1604, ia juga memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.
Dalam catatan sejarah, tidak diketahui dengan pasti identitas suami Laksamana Malahayati, namun yang jelas ia juga merupakan seorang pahlawan perang. Diketahui, suami Malahayati telah melakoni banyak perang, salah satunya adalah ketika melawan Portugis di Teluk Haru. Ketika itu pasukan armada Aceh berhasil membuat Portugis bertekuk lutut.Namun sayang, pertempuran itu banyak memakan korban dari dua belah pihak. Setidaknya, sekitar seribu tentara tanah Rencong gugur, termasuk suami Malahayati.
Sepeninggal suaminya, Malahayati tak terjebak dalam derita. Ia kemudian memohon kepada Sultan al-Mukammil, raja Aceh yang berkuasa dari 1596-1604, untuk membentuk armada perang. Prajuritnya adalah para janda pejuang Aceh yang gugur dalam pertempuran. Dalam armada tersebut, belakangan bukan hanya janda yang tertarik bergabung, tapi juga para gadis-gadis muda.
Armada perang tersebut dikenal dengan nama “Inong Balee” atau berarti perempuan janda. Pangkalannya terletak di Teluk Lamreh Krueng Raya. Mereka memiliki 100 kapal dengan kapasitas 400-500 orang. Masing-masing kapal juga sudah dilengkapi dengan meriam.
Negosiator Ulung
Pada 21 Juni 1599, pasukan ekspedisi dari Belanda yang baru selesai berperang dengan Kesultanan Banten tiba di Aceh. Rombongan yang dipimpin Cornelis dan Frederick de Houtman itu disambut baik. Namun armada asing itu malah menyerbu pelabuhan Aceh.
Kerajaan Aceh melawan. Laskar Inong Balee pimpinan Malahayati jadi tembok terdepan. Armada Belanda berhasil dilibas, bahkan pada 11 September, De Houtman tewas di tangan Malahayati sementara saudaranya Frederick de Houtman ditawan selama dua tahun.
Selanjutnya, pada 21 November 1600 Belanda mengirim pasukannya kembali di bawah komando Paulus van Caerden. Mereka menjarah dan menenggelamkan kapal-kapal yang penuh rempah-rempah di pantai Aceh.
Juni tahun berikutnya, Malahayati berhasil menangkap Laksamana Belanda, Jacob van Neck, yang tengah berlayar di pantai Aceh. Setelah berbagai insiden, Belanda mengirim surat diplomatik dan memohon maaf kepada Kesultanan Aceh melalui utusan Maurits van Oranjesent.
Tak hanya piawai memimpin pasukan di medan perang, Laksamana Malahayati ternyata juga merupakan sosok negosiator ulung. Pada Agustus 1601, Malahayati memimpin Aceh untuk berunding dengan dua utusan Maurits van Oranjesent, Laksamana Laurens Bicker dan Gerard de Roy. Mereka sepakat melakukan gencatan senjata. Belanda juga harus membayar 50 ribu gulden sebagai kompensasi penyerbuan yang dilakukan van Caerden.
foto: istimewa
Sepak terjang Malahayati sampai juga ke telinga Ratu Elizabeth, penguasa Inggris. Sehingga negeri raksasa itu memilih cara damai saat hendak melintas Selat Malaka. Pada Juni 1602, Ratu Elizabeth memilih mengutus James Lancaster untuk mengirim surat kepada Sultan Aceh untuk membuka jalur pelayaran menuju Jawa.
Malahayati disebut masih memimpin pasukan Aceh menghadapi armada Portugis di bawah Alfonso de Castro yang menyerbu Kreung Raya Aceh pada Juni 1606. Sejumlah sumber sejarah menyebut Malahayati gugur dalam pertempuran melawan Portugis itu. Dia kemudian dimakamkan di lereng Bukit Kota Dalam, sebuah desa nelayan yang berjarak 34 kilometer dari Kota Banda Aceh.
Untuk mengenang jasa-jasanya itu, nama Malahayati selain dipakai sebagai nama jalan di berbagai wilayah di Indonesia, namanya juga diabadikan dalam berbagai hal. Mulai dari Pelabuhan di Teluk Krueng Raya, Aceh Besar. Selain itu, salah satu kapal perang TNI Angkatan Laut dinamakan dengan KRI Malahayati.
Dalam dunia pendidikan terdapat Universitas Malahayati yang terdapat di Bandar Lampung. Agar terus dkenang, sosok Laksamana Wanita tangguh ini pada tahun 2017 juga diabadikan dalam sebuah serial film “Laksamana Malahayati”. Bahkan dalam dunia politik saat ini, nama Malahayati juga dipakai oleh Partai Nasional Demokrat sebagai nama divisi wanitanya dengan nama lengkap Garda Wanit. (berbagai sumber T29)