KRjogja.com – SEMARANG – Media atau pers adalah bagian kecil dalam sebuah elemen ekosistem perhelatan Pilkada Serentak. Namun menariknya, harapan masyarakat kepada media begitu besar karena bisa memberikan warna, terutama bagaimana wartawan bersikap dan memposisikan diri dalam pemberitaannya. Pilkada selalu dikaitkan dengan politik uang yang berpotensi melahirkan pemimpin yang tidak berintegritas. Pemimpin amanah lahir dari pemilih cerdas yang berdaulat. Dan standar pemimpin ideal kurang lebih sama dengan karakter seorang pemimpin agama yang patuh pada moral dan norma. Demikian benang merah yang terungkap dalam Seminar Pilkada Serentak 2024 bertajuk “Menjadi Pemilih Cerdas dalam Pilgub Jateng 2024 Berkualitas” di Gedung Pers Jateng, Jalan Tri Lomba Juang No 10 Semarang, Kamis 31 Oktober 2024.
Seminar yang digelar Masyarakat dan Pers Pemantau Pemilu (Mappilu) PWI Jateng dan KPU Jawa Tengah itu menghadirkan narasumber Ketua PWI Jateng Amir Machmud NS, pengamat politik dan akademisi Dr Kadi Sukarna SH MHum, serta Ketua Mappilu Sugayo Jawama. Seminar dimoderatori pengurus Mappilu PWI Jateng Bekti Maharani. Seminar selain diikuti wartawan, juga pengurus Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) di wilayah Kecamatan Semarang, termasuk Candisari, dan Ngaliyan.
Ketua PWI Jateng Amir Machmud NS memaparkan, pilkada serentak sesungguhnya memiliki banyak elemen ekosistem, yang meliputi partai, pasangan calon baik di kontestasi pilpres, pilgub, pilwakot maupun pilbup. Selanjutnya ada tim sukses, pendukung, dan penyelenggara seperti KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang dalam ekosistem saling mengait. “Dan media sebenarnya bagian kecil dari ekosistem yang bergerak bersama-sama ini. Kalau kemudian publik menaruh harapan besar pada media, tentu karena aspek memberikan warna. Akan dinanti bagaimana media bersikap dan memposisikan diri,” kata Amir. Diungkapkan, setiap pemberitaan pilkada tak dilepaskan dari asupan-asupan intervensi, baik itu internal maupun eksternal. Internal dicontohkan bagaimana wartawan bersikap, redaktur bertindak, serta ke mana afiliasi politik pemilik media dan investornya. Faktor eksternal, kata dia, diartikan bagaimana pemerintah menghendaki arah pemberitaan sesuai yang dimauinya. Selain itu ada partai, akademisi, dan iklan sebagai asupan yang ikut menentukan hidup matinya bisnis media. “Kondisi ini akan membuat wartawan menghadapi dikotomi, antara pertimbangan etis dan kepada siapa menyuarakan dukungan dalam bingkai pemberitaan calon tertentu atau bagaimana bentuk berita yang bakal disajikan,” ujar Amir Machmud yang juga sebagai dosen Jurnalistik UKSW Salatiga itu. Akhirnya, kata dia, di tengah luka dan jejak demokrasi yang membuat masyarakat terpolarisasi, maka yang bisa dilakukan pada Pilgub Jateng adalah bagaimana media bisa tegak lurus dengan indepedensi, memiliki bobot netralitas yang berpedoman pada etika. Etikalah yang akan mempertanggungjawabkan apakah sebuah berita itu benar atau salah, hitam atau putih, menciptakan simpati atau tidak. Sementara itu, dosen pascasarjana Fakultas Hukum Unversitas Semarang sekaligus pengamat pilkada Kadi Sukarna mengatakan ajang Pilpres 2024 memberikan pelajaran tentang buruknya sistem berdemokrasi kita. Karenanya, dia pesimistis pilkada yang sebentar lagi diselenggarakan bisa lepas dari money politics dan bansos. Dia juga tak yakin bahwa pejabat atau pemerintah akan netral dalam pilkada nanti. Sudah saatnya, kata dia, warga negara bisa menjadi pemilih yang cerdas, dan bisa mempertanggungjawabkan pilihannya. Selain itu, tidak menggadaikan hak pilih dengan politik uang.