Proses seleksi calon komisioner Komnas HAM belakangan banyak disorot, terkait masuknya salah satu nama petinggi FPI. Saat melakukan dialog publik, Zainal Petir mengaku ingin menjadikan FPI lebih humanis. Benarkah?
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]B[/dropcap]erita masuknya petinggi Front Pembela Islam (FPI) dalam daftar nama-nama calon komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Zainal Abidin Petir, menimbulkan reaksi dari masyarakat. Salah satu yang melayangkan protes adalah organisasi massa (ormas) di Jawa Tengah, yaitu Garda Nasional Patriot Indonesia (Ganaspati).
“Ini sebuah langkah mundur jika Komnas HAM sampai merekrut Zainal Petir. Selama ini, dia jelas berafiliasi dengan FPI yang kerap melakukan tindakan-tindakan anarkis dan intoleran dalam kehidupan bermasyarakat. Terkait hal itu, kami sudah kirim surat penolakan Zainal Petir,” tutur Ketua Ganaspati Jateng, Ratya Mardika, Rabu (17/5). Ia juga khawatir Zainal membawa kepentingan kasus Imam Besar FPI, Habib Rizieq.
Zainal Arifin: saya tertarik masuk ke Komnas HAM supaya FPI lebih humanisme. Hadirin menertawakan. pic.twitter.com/XccuZ9qU1e
— Ursula Florene Sonja (@kuchuls) 18 Mei 2017
Menanggapi penolakan ini, Zainal mengaku akan menghadapinya dengan sabar dan tawakal. “Di Semarang ada demo anti Zainal Petir. Mereka mempermasalahkan saya karena ada sangkut pautnya dengan FPI,” aku Pengurus FPI Semarang ini. Ia juga menolak dikaitkan dengan berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota FPI selama ini. “Yang sering terlibat kekerasan itu kan oknum, bukan organisasinya. Justru saya itu bergabung untuk membuat FPI menjadi organisasi yang humanis.”
Banyak Berkelit
“Sebetulnya, saya sudah berkecimpung dengan nilai-nilai HAM sejak dulu. Saya melakukan pendampingan PKL, saya juga kebetulan dewan pembina tuna netra muslim di Semarang,” kata Zainal yang menegaskan kalau akan berdiri di atas kepentingan masyarakat, bukan kelompok. Zainal bersama 30 orang dari total 60 orang peserta, Rabu lalu, mengikuti seleksi tahap ketiga yang berupa dialog publik dari masyarakat umum.
Dalam dialog yang digelar oleh Pansel Anggota Komnas HAM ini, sempat diwarnai interupsi oleh audiens. Sebab Zainal dianggap memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan yang mereka layangkan. “Jawabannya tidak menjawab pertanyaan dari kami,” protes salah satu audiens. Pada diskusi publik ini, Zainal mendapatkan dua pertanyaan langsung yang diarahkan terhadap dirinya.
Pertanyaan pertama adalah mengenai tujuan Zainal bergabung dengan Komnas HAM, mengingat dirinya bergabung dengan FPI yang notabene pernah menolak HAM. Pertanyaan kedua, adalah mengenai kebebasan umat beragama di Indonesia. Si penanya mengkritisi diskriminasi terhadap jemaat HKBP Filadelfia Bekasi. Namun, Zainal berkelit dengan hanya menjawab satu pertanyaan pertama saja.
Zainal Petir Calon Komisioner Komnas HAM Ternyata Dulu Yang Tolak Bu Sinta Nuriyah di Semarang https://t.co/32CnD062Pu pic.twitter.com/kcBcbRsDfC
— Pujangga Cinta (@jalinancintamu) 18 Mei 2017
Sebelumnya, Zainal pernah membuat kontroversi di Semarang menyangkut pelarangan istri almarhum Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriyah untuk hadir di acara buka puasa bersama di Gereja Santo Yakobus Zebedeus, Semarang, Juni tahun lalu. Namun, ia berkelit kalau penolakan itu merupakan kesepakatan bersama 10 ormas di Semarang yang keberatan kalau acara buka puasa dilakukan di gereja.
Ia juga membantah pernah melarang Sinta Nuriyah untuk berbuka bersama dengan umat agama lain. Menurutnya, itu merupakan kesalahan pemberitaan yang menyudutkan dirinya. “Kan acara tetap berjalan di balai desa sebelah gereja. Karena yang diundang buka puasa kan kaum dhuafa, muslim dhuafa yang akidahnya lemah, pemahaman Islamnya lemah. Nanti malah timbul konflik, kami menghindari itu,” sergahnya.
Tidak Tegas Berpihak
Selain banyak berkelit mengenai kasus-kasus yang menyangkut FPI, Zainal pun memiliki pandangan yang berlawanan dengan prinsip-prinsip HAM, seperti masalah pemberlakuan hukuman mati di Indonesia yang menuai kritik dari organisasi HAM dunia. “Hukuman mati masih bisa berlaku untuk kasus pidana tertentu,” katanya saat melakukan diskusi publik, Kamis (18/5).
Zainal yang menjabat sebagai Ketua Tim Advokasi FPI Jateng ini, mengaku setuju dengan hukuman mati untuk bandar narkoba yang dilaksanakan pemerintah. “Gembong narkoba bisa merusak generasi, apakah bisa dibiarkan?” tanya anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) dan wakil ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Jawa Tengah (APPSI) ini. Meski begitu, ia menambahkan kalau pemberlakuan hukuman mati harus melalui prosedur hukum yang cermat dan profesional.
Begitu pun saat ditanya mengenai nilai-nilai toleransi terhadap kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Queer (LGBTQ). Walau ia menyatakan kelompok tersebut sebaiknya jangan diganggu, dikucilkan, ataupun disakiti, namun Zainal tetap mengatakan akan tidak setuju apabila anaknya melakukan tersebut. “Kalau anak perempuan saya melakukan lesbi, saya enggak setuju. Silakan dimaknai yang dalam,” katanya.
Jawabannya soal isu poligami pun mengawang. Ini terkait LGBT: jangan dikucilkan, tp saya tidak setuju kalau anak saya melakukan lesbi. pic.twitter.com/vymUfNJ14n
— Ursula Florene Sonja (@kuchuls) 18 Mei 2017
Secara terbuka, dihadapan publik yang menanyainya, Zainal mengaku mengaku tak khawatir dengan maraknya penolakan masyarakat. Termasuk tudingan kalau ia sengaja disusupkan, untuk memuluskan rencana FPI dalam kasus Rizieq Shihab. Apalagi, saat ini ulama yang tersandung kasus pornografini juga pernah meminta komisioner Komnas HAM untuk terbang ke Arab Saudi, guna mendengarkan keterangannya.“Kalau disusupkan, saya harusnya langsung diterima dong. Ini kan daftar, susah lagi,” sanggahnya, sambil menambahkan kalau memang ada tuntutan hukum yang berlaku, ia bersedia mundur dari FPI. Pernyataannya ini, banyak dipertanyakan karena Zainal tidak bersikap tegas untuk tidak berpihak bila kelak terpilih sebagai anggota Komnas HAM. Ia kembali berkelit dengan mengatakan bersedia disanksi bila ketahuan tidak netral.
Sementara itu, Wakil Ketua Tim Panitia Seleksi Komnas HAM, Harkristuti Harkrisnowo, menyatakan uji publik memberikan kesempatan kepada publik untuk bertanya kepada para calon komisioner. “Kami tidak dalam posisi bertanya karena ini dialog publik. Moderatornya juga berasal dari civil society dan akademisi, bukan dari panitia seleksi,” katanya, Kamis (18/5).
Hakristuti mengatakan pansel memberikan kesempatan kepada publik untuk mempertanyakan ideologi calon komisioner, asalkan tidak menyinggung masalah suku, agama, ras dan antargolongan. “Penilaian terhadap hukuman mati, diskriminasi, LGBT, semua masuk. Itu kan mencerminkan ideologi ya. Tapi itu tergantung yang bertanya,” katanya, sambil mengungkapkan kalau panitia seleksi akan menilai dari jawaban para calon komisioner tersebut. (Berbagai sumber/R24)