Tahun 2013 lalu, civitas academica Universitas Indonesia dikejutkan oleh berita pemerkosaan yang dialami salah satu mahasiswinya. Belum habis rasa tak percaya, terungkaplah jika pelaku (kebetulan) punya titel seniman.
PinterPolitik.com
Sitok Srengenge atau yang lahir dengan nama Sitok Sunaryo, resmi ditetapkan Polda Metro Jaya sebagai tersangka. Penyair sekaligus seniman yang konon humanis ini, dijerat Pasal 335 KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan, Pasal 286 KUHP tentang Kejahatan Kesusilaan, serta Pasal 294 KUHP tentang pencabulan. Srengenge layak diganjar hukuman 5 tahun penjara atas perbuatannya.
Namun apa daya, memasuki tahun ketiga, Polda Metro Jaya tak juga menahan Sitok sebagaimana seharusnya. Ia masih bebas, tak merasa bersalah, dan percaya diri mentas dari satu pergelaran ke pergelaran lain, baik dalam dan luar negeri, atas nama adiluhung seni dan sastra. Ia bahkan sempat terpantau membacakan puisi kaya Gus Mus dalam acara solidaritas Petani Kendheng bertajuk ‘Atas Nama Cinta’.
Sitok Srengenge membaca puisi Gus Mus di Rembang. pic.twitter.com/sexxfzBLwT
— Ulil Abshar-Abdalla (@ulil) April 15, 2017
Tak hanya itu, tersangka yang juga ternyata bisa melukis ini, menggelar pameran tunggal bertema ‘Srengenge’ atau matahari di Langit Art Space, Jalan Sonosewu, Ngestiharjo, Yogyakarta pada Kamis (18/5). Pameran ini menampilkan karya-karya berupa lukisan abstrak tentang lanskap kejiwaannya sebagai penyair. Rencananya, akan ada 40 karya yang akan dipamerkan selama satu bulan.
Awalnya, pameran juga akan digelar di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Bantul. Untungnya, setelah banyak penolakan yang muncul, pameran tersebut batal diselenggarakan. Alhasil, Langit Artspace yang masih kokoh menggelar pameran Sitok, tak luput dihadang.
Malam itu, tepat setelah Dian HP memamerkan kelihaiannya bermain piano, bentangan spanduk bertuliskan ‘Tolak Buayawan Sitok Sregenge’ digelar. Selanjutnya lantunan kata-kata, “Sitok, kamu pemerkosa” dan sejenisnya membahana di dalam ruang pameran.(Foto: Serunai.co)
Suasana berubah ricuh seketika. Polisi dan sekelompok pihak yang mengenakan seragam ‘Laskar Merah Putih’ dan ‘Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI) menggiring puluhan pendemo ke luar galeri, namun protes dan penolakan terus berlangsung.
Berdasarkan Serunai.co, Muhammad Yasir, koordinator aksi penolakan berkata, “terlepas dari rasa kemanusiaan kami terhadap korban, Sitok ini adalah produk kegagalan hukum. Maka dari itu, kita sepakat bahwa, di undangan (aksi) itu ada. Sitok boleh bebas dari hukum negara, cuma jangan kita kasih kesempatan. Harus diberi sanksi sosial,” ujarnya.
Ia menambahkan, aksi tersebut juga bentuk solidaritas bagi korban Sitok, RW, dan juga korban-korban kekerasan seksual lainnya yang masih belum menemukan keadilan yang seharusnya mereka dapatkan.
Memahami dan Mendengarkan Korban
Menurut Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY), selama tiga tahun berturut-turut kekerasan seksual di Indonesia adalah kasus tertinggi dibandingkan kekerasan lain di ranah komunitas. Penanganan kasus kekerasan seksual juga terkendala lemahnya kekuatan pembuktian akibat ketiadaan saksi dan alat bukti yang mendukung, karena rata-rata korban melaporkan kasusnya dalam jeda waktu yang cukup lama dari kejadian perkara.
Ditambah lagi, ketimpangan relasi kuasa antara korban dan pelaku, di mana pelaku memiliki posisi politik, sosial, dan ekonomi yang tinggi, dapat mempengaruhi proses hukum yang berjalan. Sementara korban semakin tidak berdaya untuk menuntut. Inilah yang terjadi pada RW, mahasiswi FIB UI yang menjadi korban Sitok. Kasus kekerasan seksual ini teramat penting karena korban hamil.
RW sendiri mengalami trauma teramat berat. Ia pernah dikabarkan beberapa kali melakukan upaya bunuh diri, mulai dari melompat ke danau, hingga mengkonsumsi obat-obatan. Dirinya juga telah melahirkan anak atas perbuatan asusila Sitok, pada 31 Januari 2014 lalu.Kasus yang berjalan alot nan lamban antara RW dan Sitok, adalah buah bukti bagaimana Sitok, sebagai penyair yang memiliki lingkaran seniman nan powerful dapat menginterupsi proses hukum yang berjalan dengan dalih ketiadaan barang bukti, selain perangkat hukum yang tak memadai.
Pada Oktober 2015, RW bersuara meminta keadilan bagi dirinya dan putri kecilnya yang tidak tahu menahu. Surat tersebut ditunjukan kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan. Tak ada yang diinginkannya selain menindak seniman tersebut secara tegas dan memutus belitan kasus yang menderanya.
Setelah RW bersuara, korban Sitok lainnya turut muncul dan bersaksi. Adalah mahasiswi asal Bandung yang mengaku dilecehkan secara seksual oleh Sitok. Ia berhasil menghindar setelah sebelumnya dirayu oleh Sitok. Sebelumnya, mahasiswi tersebut datang ke kos Sitok yang berlokasi di Pasar Minggu untuk membicarakan proyek sastra. Namun sesampainya di sana, ia memperdayanya dengan minuman keras. Melihat gelagat tak beres, perempuan itu memutuskan pulang,
“Dia dihalang untuk pulang, tapi dengan cara manipulatif. Pelaku pandai memanipulasi,” ujar Saras Dewi, dosen FIB UI sekaligus pendamping RW. Menurut feminis asal Bali ini, bahkan Sitok juga telah melakukan kekerasan seksual terhadapnya. “Bukan konsep kekerasan fisik seperti dipukul, tetapi kekerasan verbal yang membuat calon korban terpaksa tinggal, ya bisa dikatakan rayuan,” ungkapnya.
Saras Dewi (Foto: Istimewa)
Pada saat menceritakan kisahnya, Saras Dewi mengatakan jika secara psikis mahasiswi tersebut belum sepenuhnya pulih dari rasa trauma. Namun, ia bersedia menjadi saksi RW di pengadilan. “Mungkin tidak secara lansgung (di pengadilan) tetapi tertulis seperti dalam wawancara. Karena dia masih sangat trauma.” ujarnya lagi.
Perkosaan Tak Langsung (Soft Rape) Tak Terengkuh Pasal Negeri
Dalam The Truth About Rape, Elizabeth Boskey menyatakan, kita bisa tanyakan apa yang ingin korban lakukan dan apa yang ingin pendampingnya lakukan. Para korban perkosaan, bagaimana pun keadaannya, adalah manusia berdaya yang tak berkurang sedikitpun kediriannya karena perkosaan.
Suaranya sangat penting untuk berbunyi secara mandiri. Memahami dan mendengarkan mereka adalah langkah paling awal untuk menghadapi kasus yang sudah kepalang sulit diputus mata rantainya ini. Maka dari itu, mendengarkan suara RW dan korban Sitok lainnya, amat penting dalam upaya memerangi kasus asusila, terutama di dunia kesenian. Dunia yang kerap dipandang agung dan sarat nilai kemanusiaan.
Kita juga tak bisa melepaskan mata begitu saja atas pasal dan Undang-undang yang seharusnya menjerat Sitok. Di Indonesia, kasus perkosaan ternyata tak mengakomodir semua elemen penyebab dan jenis perkosaan. Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbicara tentang perkosaan berbunyi sebagai berikut,
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.”
Dari bunyi pasal tersebut, dapat kita lihat bahwa di Indonesia, elemen dari perkosaan adalah adanya force atau paksaan, serta fear atau rasa takut yang diberikan pelaku kepada korban. Sedangkan, pada kasus Sitok terhadap RW, jenis perkosaan yang terjadi adalah Perkosaan Tak Langsung atau soft rape.
Penampakan galeri Langit Artspace di Yogyakarta (foto: serunai.co)
Dalam The Truth about Rape, Boskey menjelaskan tiga jenis perkosaan, yaitu Perkosaan Langsung (hard rape), Perkosaan Tak Langsung (soft rape), dan Perkosaan di Bawah Umur (statutory rape). Perkosaan Langsung (hard rape), melakukan perkosaan dengan paksaan, ancaman, dan kekerasan yang menyebabkan tak hanya ketakutan tetapi juga luka-luka fisik. Perkosaan Tak Langsung (soft rape) adalah perkosaan yang dilakukan tanpa cara kekerasan atau paksaan, tetapi secara halus, yaitu bujuk rayu, tekanan dan intimidasi secara psikologis. Sedangkan Perkosaan di Bawah Umur (statutory rape) merupakan perkosaan yang dilakukan terhadap anak berumur di bawah 17 tahun.
Sayangnya, pasal Perkosaan Tak Langsung (soft rape) di Indonesia, belum terakomodir sama sekali. Hal ini juga disampaikan Dekan Fakultas Hukum UI, Topo Santoso. “Rape tak harus dengan sexual intercourse atau ada unsur kekerasan. Atau ancaman kekerasan, memar-memar, karena itu, pasal 285 KUHP itu sudah tidak cocok lagi di era modern ini, harus direvisi,” tegasnya.
Dengan begitu, pantas saja aparat hukum negara terkesan sangat lamban, sulit diproses, dan berbelit ketika menyelesaikan kasus asusila Sitok. Ketiadaan barang bukti yang menjadi tolok ukuran kejahatan sesuai pasal 285 KUHP, menjadi penyebab kasus berjalan di tempat. Bahkan, kasus ini bisa saja terancam mendapat status SP3, atau pembekuan atas alasan di atas.
Jika sudah begitu, tak menutup kemungkinan jika pelaku-pelaku perkosaan atau kekerasan berbasis gender lainnya akan mudah dilewati begitu saja, seolah bukan perkara besar. Sekalipun dapat diselesaikan, penyelesaiannya tak pernah merugikan pelaku kejahatan. Sedangkan korban, harus menderita dan menanggung trauma seumur hidup.
Di negeri Paman Sam sendiri, Perkosaan Tak Langsung (soft rape) sudah cukup dikenal. Walaupun tidak memasukan istilah tersebut, hukum dan pasal Amerika Serikat sudah memasukkan unsurnya.
Ini bisa terlihat dari pembagian kasus pemerkosaan menjadi tiga jenis, yakni Male Crime, Extra Marital Crime, dan Sexual Offence. Jenis Sexual Offence memiliki beberapa elemen pembentuk seperti, adanya force (paksaan), fear (rasa takut), dan fraud (tipu daya). Nah, elemen-elemen inilah yang mengandung unsur perkosaan tidak langsung dalam hukumnya.
Memahami Perkosaan dan Berpihak pada Korban
“Rape is not about sex, it is about power”
Kesalahpahaman yang sering kita temui dalam kasus perkosaan adalah ketiadaan atau ketimpangan pembicaraan tentang kuasa. Perkosaan terjadi sebagai dampak dari timpangnya relasi kuasa. Pada banyak kasus, pemerkosaan terjadi bukan karena pemerkosa tidak dapat mengontrol nafsu seksualnya, melainkan karena terdapat dorongan untuk melukai dan mendominasi orang lain secara seksual.
Apa yang terjadi pada RW dan Sitok bukan disebabkan oleh pakaian RW yang ‘mengundang’, atau penampilan fisiknya yang ‘aduhai’. RW menjadi korban Sitok karena penyair kebanggaan Salihara tersebut memiliki relasi kuasa lebih tinggi, yakni posisi dirinya sebagai seniman terkenal dari institusi yang konon dianggap bonafit. Otomatis, ia memberikan derajat sosial lebih tinggi dibandingkan RW, yang ‘hanya’ seorang mahasiswi FIB UI.
Kita juga harus berhenti berpura-pura mengenai pekerjaan yang berkenaan dengan kesenian, di mana kerap dipandang sebagai sesuatu yang adiluhung dan memiliki nilai lebih bagi kemanusiaan. Predikat adiluhung seharusnya dinilai dari kontribusi dan tindak tanduknya, bukan malah menjadi kedok untuk menutup-nutupi kejahatan kemanusiaannya. Sitok, sebagaimana tersangka penjahat kelamin lainnya, harus dilihat sebagai seseorang yang memiliki hasrat untuk menguasai, menjadi mikrofasis, dan perbuatan kejahatan lainnya.
Kita juga tak bisa begitu saja merevektimisasi korban, dengan menganggap ia tak berdaya. RW masih utuh dan mampu berbicara, dan tak boleh dilupakan. Dengan terus mengingat mereka, kita bisa melawan ancaman SP3 atau dipeti-eskannya kasus ini karena ‘ketiadaan bukti’. Permasalahan personal dan privat yang dialami RW, serta korban kasus kekerasan seksual lainnya, adalah permasalahan struktural dan sosial yang butuh penyelesaian politik.
Dengan demikian, penyelesaian tersebut juga membutuhkan partisipasi kita, bukan hanya sebatas simpati semata. (Berbagai Sumber/A27)