DJAROT Sulistio Wisnubroto gusar mendengar kabar sejawatnya, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang bertugas meriset reaktor-reaktor nuklir di daerah. Bekas Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) itu mendapati para peneliti menghadapi kekurangan alat pelindung diri (APD) dan thermoluminescence dosimeter (TLD)—peralatan untuk mengukur dosis radiasi yang diterima seseorang ketika memasuki area berbahaya pada reaktor nuklir—sejak Kepala BRIN menggaungkan kebijakan sentralisasi riset.“Kebetulan saya mengontak teman-teman di Sleman, Serpong, dan Bandung. Mereka menceritakan ketersediaan peralatan sudah lebih baik dibanding sebelumnya yang pernah kekurangan,” kata Djarot kepada Tempo, Senin, 25 November 2024. Krisis APD dan TLD memuncak pada akhir Oktober 2024, bahkan peneliti menggunakan sisa perlengkapan pada masa sebelum Batan dilebur ke dalam BRIN.Reaktor nuklir yang dimaksudkan Djarot tersebut berada di tiga lokasi, yaitu Reaktor Kartini di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta; Reaktor Nuklir Serba Guna G.A. Siwabessy di Serpong, Banten; dan Reaktor Nuklir Triga Mark II di Bandung, Jawa Barat. Persoalan tersendatnya pasokan APD dan LTD di tiga reaktor ini muncul ketika dilakukan pemantauan serta evaluasi dalam beberapa bulan terakhir.Ketersediaan peralatan keselamatan itu membaik bukan karena kiriman dari Jakarta berjalan lancar. Djarot mengatakan hal ini terjadi karena intensitas peneliti yang memasuki area reaktor berkurang. Apalagi kunjungan siswa, mahasiswa, ataupun masyarakat untuk melakukan penelitian sudah tak ada. “Sekarang nyaris tidak ada yang datang berkunjung karena masalah perizinan yang ribet. Mungkin karena hal itu kebutuhan APD berkurang.”Selain mengalami masalah ini, para peneliti nuklir sedang menghadapi demotivasi karena hilangnya tunjangan keselamatan kerja di BRIN. Tunjangan itu hanya diberikan kepada tim yang bekerja di bidang reaktor nuklir. Padahal pekerja BRIN yang mengelola reaktor nuklir disokong oleh banyak divisi, seperti divisi limbah dan bahan bakar, yang berhubungan langsung dengan reaktor.
Peneliti BRIN melakukan pengecekan kolam reaktor nuklir di fasilitas Reaktor Serba Guna G.A Siwabessy, di kawasan Sains dan Teknologi B.J. Habibie, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Juli 2024. ANTARA/Galih Pradipta Beragam masalah yang dihadapi Organisasi Riset Tenaga Nuklir BRIN ini muncul ketika berlakunya kebijakan sentralisasi riset di bawah kendali Kepala BRIN Laksana Tri Handoko sehingga ekosistem dan tata kelola yang semula diurus oleh Batan menjadi terbengkalai. Salah satu di antaranya ihwal terhentinya pengkajian pembangunan reaktor nuklir, padahal Presiden Prabowo Subianto sedang merencanakan membangun sedikitnya 5 gigawatt pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sebagai upaya transisi energi baru dan terbarukan di masa depan.Perekayasa Ahli Madya Pusat Riset Teknologi Penerbangan BRIN Akhmad Farid Widodo menceritakan hampir semua organisasi riset di BRIN kehilangan kultur dan keunikan ekosistem. Hal ini terjadi akibat sentralisasi riset dengan penyeragaman metode kerja. “Padahal setiap lembaga kan punya tata kelola, kultur masing-masing yang sesuai dengan ekosistemnya,” kata Farid.
Penyeragaman riset dan inovasi yang dimaksudkan Farid adalah kebijakan Laksana Tri Handoko yang melepaskan peneliti atau periset dari alat-alatnya. Sentralisasi ekosistem riset juga terjadi ketika semua organisasi riset disamaratakan. Misalnya, Organisasi Riset Tenaga Nuklir diperlakukan sama dengan organisasi riset lain—seolah-olah tak memerlukan regulasi dan pengawasan ketat, padahal mencakup keselamatan masyarakat.Padahal setiap organisasi riset membutuhkan desentralisasi—mengingat mereka memiliki perbedaan ekosistem, tugas, dan fungsi yang unik. Apalagi BRIN merupakan lembaga yang diciptakan dari peleburan 33 lembaga dan organ di kementerian. Tiap organisasi memiliki tata kelola berbeda, bahkan tidak saling terkait. “Kegiatan penelitian dan pengembangan arkeologi tentu berbeda dengan penelitian dan pengembangan teknologi. Masing-masing mempunyai genetik yang berbeda.”
Peneliti melakukan riset kendaraan listrik di laboratorium pengembangan kendaraan listrik Micro Electric Vehicle-Teleoperated Driving System (MEVi-TDS) di laboratorium BRIN, Bandung, Jawa Barat, Januari 2023. TEMPO/Prima MuliaKarena alasan tersebut, pemerintah mulai menjalankan desentralisasi pembangunan nasional sesuai dengan Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2025-2045. Undang-undang ini mengatur arah ilmu pengetahuan dan teknologi, inovasi, serta produktivitas ekonomi. Menurut Farid, undang-undang tersebut mewajibkan pemerintah membentuk lembaga iptek yang terdesentralisasi berbasis bidang riset.Pembentukan lembaga ini dimaksudkan sebagai bagian dari reformasi yang dilakukan secara bertahap dengan pelibatan industri dalam rancangan proses bisnis iptek dan inovasi. Tujuan desentralisasi adalah agar Indonesia mengambil peran sebagai salah satu pusat pengembangan sains dan inovasi di kawasan Asia serta dunia—utamanya di bidang kemaritiman, biodiversitas, teknologi material, serta kebencanaan atau mitigasi bencana.Jika desentralisasi tidak diimplementasikan oleh BRIN, Farid khawatir riset dan inovasi nasional bakal jalan di tempat. Bahkan dalam jangka panjang akan menimbulkan tumpang-tindih kewenangan. Apalagi Presiden Prabowo Subianto telah membentuk Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, yang memiliki fungsi serta kewenangan yang beririsan dengan BRIN.
Peneliti Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri BRIN Poltak Partogi Nainggolan menilai tumpang-tindih kewenangan BRIN dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi dimungkinkan terjadi karena masih adanya posisi Ketua Dewan Pengarah BRIN yang merupakan ex-officio Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Posisi tersebut masih dijabat oleh Megawati Soekarnoputri yang juga Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. “Jika kondisi ini terus berlangsung, bisa dianggap tidak ada perubahan di BRIN,” kata Partogi.Artinya, program-program riset BRIN bakal tidak berubah seperti yang dijalankan sebelumnya, kecuali bila elite politik telah mengarahkan bandul pengembangan riset sesuai dengan kebijakan Presiden. “Tampaknya ada red line yang tidak ingin diterobos oleh Presiden Prabowo sebagai kepala pemerintahan yang baru.”
Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) I Gede Wenten, di Gedung BJ Habibie, Kantor BRIN, Jakarta,12 November 2024. TEMPO/Tony HartawanAnggota Dewan Pengarah BRIN, I Gede Wenten, memastikan kerja-kerja lembaganya nanti tak tumpang-tindih dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Dia telah berkoordinasi dengan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Satryo Soemantri Brodjonegoro untuk mensinkronisasi riset di masa depan. “Kebetulan BRIN punya banyak pusat riset yang mengakar, seperti roket, satelit, dan nuklir, yang tidak dipunyai universitas,” ucap Wenten.Tujuan utama BRIN nantinya adalah menjalankan riset dan inovasi untuk berkontribusi pada pembangunan nasional. Seharusnya itu yang menjadi penilaian atau key performance indicator (KPI) bagi para periset atau perekayasa. Dengan begitu, Indonesia akan menghasilkan capaian inovasi nasional yang kuat dan sesuai dengan karakteristik kebutuhan nasional.
Menteri Satryo sebelumnya menjelaskan niat awal Presiden Prabowo Subianto yang ingin menggabungkan kementeriannya dengan BRIN. Rencana tersebut urung terlaksana sehingga Kementerian Pendidikan Tinggi tidak akan mengganggu kerja-kerja BRIN. “Saya pribadi, ya, sudah kalau memang kondisinya begitu,” kata Satryo.Prabowo sebetulnya disebut-sebut bakal menghidupkan kembali lembaga-lembaga penelitian yang selama ini dilebur ke dalam BRIN. Di antaranya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional, serta Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Nantinya lembaga-lembaga itu di bawah koordinasi BRIN selaku penyokong dana serta berada di dalam Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko memberikan keterangan pers pada acara BRIN Menjawab di Jakarta, 10 Februari 2023. ANTARA/Hafidz Mubarak ATempo berupaya meminta penjelasan kepada Kepala BRIN Laksana Tri Handoko ihwal kedudukan BRIN dan persoalan sentralisasi lembaga-lembaga riset. Pertanyaan juga mengarah pada amanat Undang-Undang RPJPN 2025-2045 yang mengatur desentralisasi pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun Handoko belum merespons permohonan konfirmasi yang dikirim ke telepon selulernya.Handoko dalam siniar YouTube BRIN menjelaskan peluang tumpang-tindih fungsi dan kewenangan lembaganya dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Dia memastikan tidak akan ada tumpang-tindih riset karena BRIN masih merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 tentang pembentukan BRIN yang berada di bawah presiden.“Itu kebijakan Presiden bahwa keduanya (BRIN ataupun Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi) harus ada,” tutur Handoko pada 22 November 2024. Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, kata dia, nantinya berfokus pada persoalan perguruan tinggi, tak terkecuali riset-riset di dalam kampus. Adapun BRIN memiliki kewenangan pada kebijakan riset nasional sekaligus memfasilitasi riset dan inovasi.Handoko pernah menjelaskan capaiannya dalam meleburkan puluhan lembaga penelitian dan pengembangan di kementerian dalam tiga tahun belakangan. Misalnya membuat kebijakan penerapan alat-alat riset yang dapat digunakan secara inklusif oleh berbagai pihak. Salah satunya keberhasilan BRIN dalam memiliki armada kapal riset yang bisa dimanfaatkan oleh seluruh komunitas peneliti dan fakultas kelautan di Indonesia.