Sugih tanpa bandha,
Digdaya tanpa aji,
Nglurug tanpa Bala,
Menang tanpa Ngasorake
(Filosofi Jawa)
BELAKANGAN langit berselimut mendung gelap menyelimuti Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA) dan badan peradilan di bawahnya.
Salah satu lembaga pemegang kekuasan yudikatif dalam Trias Politica ini harus menghadapi kenyataan bahwa tiga orang hakimnya tersandung skandal suap dan gratifikasi. Kasus itu juga menyeret mantan petinggi MA, yang sudah dua tahun pensiun.
Nilai barang buktinya tidak tanggung-tanggung, hampir Rp 1 triliun. Fakta yang sungguh memilukan bagi seluruh aparatur peradilan di Indonesia.
Ketika segenap daya dan upaya warga peradilan dicurahkan demi mewujudkan visi MA menjadi lembaga peradilan yang agung, harus kembali tercoreng pemberitaan yang jauh dari nilai integritas.
Sebagai PNS di lingkungan MA, Penulis sepenuhnya menyadari bahwa core business dari MA dan badan peradilan di bawahnya adalah mengadili dan menyelesaikan perkara yang diterima dalam rangka memberikan rasa adil dan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat.
Hakim sebagai ujung tombak penegakan hukum, tentu harus mendapatkan posisi dan penghormatan setinggi-tingginya dalam struktur organisasi.
Oleh karenanya, sudah tidak terbantahkan lagi bahwa pucuk pimpinan di lembaga pengadilan, termasuk MA, harus dijabat hakim. Hal ini tentu untuk melindungi marwah kekuasaan kehakiman itu sendiri.
Namun demikian, dalam menjalankan core business tersebut, lembaga pengadilan tentu tidak bisa diisi jabatan hakim semata. Perlu dukungan bagian kepaniteraan dalam hal administrasi perkara, dan bagian kesekretariatan sebagai supporting unit yang mendukung kelancaran tugas, pokok, fungsi pengadilan.
Korelasi dan hubungan kerja ini sejatinya adalah hubungan resiprokal yang menjadi ciri khas dari lembaga yudikatif.
Dikutip dari laman kepaniteraan.mahkamahagung.go.id, bahwa dalam sistem pengadilan mana pun di dunia, keberadaan lembaga kepaniteraan merupakan hal yang mutlak diperlukan sebagai unsur pendukung jalannya pengadilan.
Dalam setiap susunan pengadilan, seorang ketua pengadilan selalu didampingi seorang panitera pengadilan.
Demikian pula dalam perkembangannya, Kesekretariatan dalam institusi pengadilan menjadi urgen dibutuhkan untuk memberikan layanan pendukung, baik kaitannya dengan sarana dan prasarana kerja, data maupun informasi, urusan administrasi juga kaitan dengan layanan kesejahteraan pegawai serta hak-hak kepegawaian lainnya.
Fungsi supporting unit ini menjadi sangat dibutuhkan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Sehingga jabatan-jabatan terkait Kepaniteraan dan Kesekretariatan dapat pula diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Oleh karena penempatan dan penghormatan hakim pada posisi setinggi-tingginya hingga disebut sebagai “Yang Mulia”, tentu diharapkan hakim mampu fokus menghasilkan putusan-putusan yang berkualitas tanpa harus dibebani urusan administrasi birokratif.