JAKARTA, KOMPAS.com – Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dan Daniel Yusmic Foekh menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan MK nomor perkara 62/PUU-XXII/2024.
Putusan MK tersebut menghapus aturan ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden atau presidential threshold yang selama ini tertuang dalam Undang-Undang Pemilu.
Anwar dan Daniel menilai, para pemohon yakni empat orang mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga tidak mempunyai kedudukan hukum dalam permohonan yang mereka ajukan.
“Kami berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dan oleh karenanya permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” tulis Anwar dan Daniel, dikutip dari salinan putusan, Kamis (2/1/2025).
Baca juga: MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden, Semua Parpol Bisa Usung Capres
Anwar dan Daniel berpandangan para pemohon tidak punya kedudukan hukum karena berstatus sebagai mahasiswa.
Sedangkan, 36 gugatan terkait presidential threshold yang ditolak MK datang dari pemohon yang punya kedudukan hukum sebagai partai politik maupun warga negara yang berhak untuk maju pada pemilihan presiden.
Anwar dan Daniel pun menilai, keempat pemohon mesti membuktikan kerugian konstitusi yang mereka alami dengan mengajukan judicial review atas ketentuan presidential threshold.
“Untuk menentukan dan menilai apakah pihak dalam permohonan pengujian undang-undang memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon atau tidak, maka pihak tersebut harus dapat menjelaskan kualifikasi dan kerugian konstitusional yang dialami oleh berlakunya suatu undang-undang,” tulis mereka.
Baca juga: MK Hapus Presidential Threshold 20 Persen, Apa Dampaknya?
Anwar dan Daniel bahkan menyebut beberapa putusan yang menegaskan syarat kedudukan hukum para pemohon, seperti putusan 74/2020, putusan 66/2021, putusan 52/2022, dan putusan 80/2023.
“Bahwa pembatasan pihak yang dapat memohonkan pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017 bukan berarti bahwa norma a quo kebal untuk diuji, melainkan karena tiadanya kerugian konstitusional pemohon perseorangan warga negara Indonesia in casu para pemohon a quo,” tulis mereka lagi.
Selain itu, dua hakim konstitusi ini menyebut bahwa dalam waktu berdekatan ada permohonan yang sama yang diajukan oleh empat orang dosen, badan hukum yayasan, serta pegiat pemilu.
Norma terkait kedudukan hukum ini juga diarahkan pada empat perkara lain yang dinyatakan gugur karena kehilangan obyek hukum setelah putusan 62/2024 dibacakan di persidangan.
Ambang batas dihapus, semua parpol bisa usung capres
Diberitakan sebelumnya, MK menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
Dalam pertimbangannya, hakim MK Saldi Isra mengatakan, ambang batas pencalonan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, berapapun besaran ambang batas itu.
Sebab, dengan ambang batas, tidak semua partai politik bisa memberikan pilihan calon presiden dan calon wakil presiden.
Baca juga: 5 Pedoman Pencalonan Presiden dari MK Usai Hapus Presidential Threshold