Mungkinkah Pancasila Menjadi Agama Publik?

Mungkinkah Pancasila Menjadi Agama Publik?

24 August 2017, 9:31

Pancasila yang di dalamnya terkandung konsep religiositas, multikulturalisme, humanisme dan keadilan sosial merupakan resep ideal untuk menghadirkan demokrasi paripurna dan menumbuhkan civic religion (agama publik) di Indonesia. Akan tetapi, isu radikalisme maupun intoleransi yang diboncengi neolib, kesenjangan sosial hingga korupsi yang yang telah membudaya di Indonesia seakan mengaburkan peran Pancasila sebagai dasar negara. Apakah masih mungkin bagi Pancasila untuk menahbiskan diri sebagai agama publik Indonesia?

PinterPolitik.com
“Rukun Islam ada lima. Jari kita ada lima setangan. Kita mempunyai pancaindra. Jumlah pahlawan kita Mahabharata, pandawa, juga lima. Sekarang asas-asas dasar negara kita, lima pula bilangannya.”
(Soekarno)
[dropcap size=big]K[/dropcap]epala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP Pancasila) Yudi Latif mengatakan bahwa penghayatan dan pengamalan Pancasila bisa menangkal berbagai paham dan energi negatif baik dari dalam maupun luar negeri. Menurutnya Pancasila juga bisa menjadi energi positif untuk menyatukan keberagaman dan memperkuat kebhinekaan Indonesia. Dia mengakui sekarang masih ada sebagian kecil bangsa Indonesia cenderung memelihara budaya negatif. Menilik persoalan radikalisme yang akhir-akhir ini santer terdengar, apakah bisa energi positif dalam Pancasila mampu diaplikasikan sebagai a set of public believe (keyakinan/ agama publik) dalam kehidupan publik?
Pengalaman AS
Amerika yang menganut paham liberalisme, tidak terlalu menaruh minat pada agama dan lebih fokus pada perkembangan dunia. Agama dan negara merupakan dua institusi independen. Negara tidak bisa ikut campur soal agama warganya dan agama tidak bisa pula mengatur negara. Mengenai beragama atau tak beragama merupakan pilihan bebas dari setiap pribadi.
Dari segi pemerintahan, tidak ada Kementerian Agama di Amerika. Agama juga tidak pernah ditanyakan dan dicantumkan pada kartu identitas, misalnya KTP, karena dinilai sebagai privacy. Beragama merupakan urusan setiap orang dengan Tuhan. Konsep ini telah tercantum dalam konstitusi negara dan memengaruhi kehidupan warga AS sehingga jarang terdengar ada konflik yang mengatasnamakan agama. Amat jauh berbeda dengan Indonesia bukan?
Pengalaman Tiongkok
Berbeda dengan AS yang berhaluan kanan (liberal), Tiongkok adalah negara yang berhaluan kiri (komunis). Karena dipengaruhi oleh komunisme yang cenderung anti agama, maka kebebasan beragama di Tiongkok amat ditekan. Kehadiran setiap agama di Tiongkok harus sesuai dengan kebijakan dari Partai Komunis Tiongkok (PKT). Komunisme tak pernah ditentangkan dengan agama karena dipengaruhi oleh dialektika materialismenya Karl Marx. Maka, beragama dianggap sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi dan bertentangan dengan kebijakan dasar PKT.
Walaupun, kebebasan beragama ditentang dan memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia, namun perekonomian Tiongkok berkembang pesat dan mampu menyaingi Amerika. Selain itu, belum pernah terdengar kasus-kasus yang berkaitan dengan radikalisme maupun intoleransi seperti yang terjadi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena masing-masing penduduk telah menghayati ajaran komunisme sebagai civic religion (agama publik).Pengalaman Thailand
Keadaan di Thailand justru lebih mencengangkan lagi. Selain menganut aliran liberalisme, Thailand juga dikenal sebagai salah satu ‘surga dunia’ bagi para pemuja syawat. Padahal, negara yang berjuluk negeri Gajah Putih tersebut juga cukup dikenal religius dengan beragam peninggalan bersejarah umat Budha yang sangat mengagungkan keselarasan hidup dengan mengedepankan kesopanan dan adat istiadat yang memiliki nilai-nilai kesusilaan yang tinggi. Menurut sebuah catatan, sebagian pendapatan Thailand disokong dari industri seks yang berjamur di kota-kota besar, seperti Bangkok dan Pattaya. Selain itu, Thailand juga menawarkan wisata seks bagi para penyuka sesama jenis. Kaum lady boy (waria) juga masuk dalam jajaran pelakon wisata seks di Thailand, bahkan disebut-sebut sudah menjadi gender ketiga dalam perundang-undangan di Thailand.
Kebijakan pemerintah setempat dengan pengembangan ekonomi yang terfokus pada sektor pariwisata, membuat banyak orang berlomba-lomba untuk menyuguhkan sesuatu yang dapat menarik minat turis asing berkunjung ke negeri Siam tersebut. Walaupun demikian, belum pernah terdengar kasus radikalisme atau intervensi kaum agamis terhadap kegiatan prostitusi di Thailand. Bagaimana menurut anda jika ini terjadi di Indonesia?
Toleransi di Bali dan Dayak
Sebenarnya di Indonesia, toleransi dan sikap saling menghormati tetap terjaga di beberapa daerah seperti Bali dan Dayak (Kalimantan Barat). Setiap warga di sana telah disatukan oleh konsep yang sama untuk berusaha menjaga kearifan lokal tanpa mengganggu kebebasan pribadi sesama. Orang-orang bali yang terkenal dengan semboyan  “om basudewa kumtu ba kamyang” (semua manusia bersaudara) menjadi kekuatan tak kasat mata untuk tetap hidup secara rukun dengan agama lain. Selain itu, keadaan alam Bali yang indah menjadi daya tarik tersendiri bagi para turis lokal dan manca negara untuk bertandang ke sana sehingga tak mengherankan bila Bali ikut terpengaruh dengan kebudayaan barat. Akan tetapi, belum sekalipun kita mendengar isu konflik yang mengatasnamakan agama karena masing-masing penduduk berpegang pada semboyan persaudaraan yang satu dan sama.
Tak jauh beda dengan Bali, di Kalimantan terutama masyarakat Dayak juga sebenarnya sangat menjunjung tinggi toleransi dengan agama lain. Hal ini terlihat lewat jamuan Bubur Jagaq dan Nasi Tisit merupakan santapan sambutan khas suku Dayak saat upacara penerimaan tamu. Mereka menghindari pemakaian minyak babi dalam masakan tersebut sebagai bentuk penghargaan atas tetamu yang beragama muslim. Bisakah pengalaman di Bali dan Dayak berimbas pada persatuan nasional untuk meredam intoleransi dan radikalisme?
Bagaimana Dengan Pancasila?
Sebenarnya sejak awal kemerdekaan, Pancasila telah ditetapkan sebagai pendoman dasar bagi kehidupan bangsa Indonesia. Akan tetapi peran Pancasila menjadi timpang oleh konsep NASAKOM-nya Soekarno. Hal ini terus berlanjut pada era Soeharto, di mana ada program Pedoman, penghayatan dan pengamalan Pancasila (P4) yang sebenarnya dipakai untuk mengindoktrinasi pemikiran masyarakat untuk tetap memihaknya sebagai presiden RI. Begitu pula di zaman reformasi, peran Pancasila justru dibenturkan dengan isu radikalisme yang diboncengi kepentingan para bisnisman (neolib), isu intoleransi yang sarat dengan SARA dan budaya korupsi.
Bila Pancasila diterapkan dengan baik sudah pasti kasus-kasus semacam Gestapu, insiden 98, kerusuhan Ambon dan Tim-tim tidak akan pernah terjadi. Melihat kenyataan ini, maka bisa dikatakan seluruh warga negara RI belum memiliki konsep dan cara berpikir yang satu dan sama. Kita hanya menjadikan Pancasila sebagai pedoman hidup pada tataran konsep, tidak sampai pada aktualisasi. Indonesia belum memiliki agama publik.
Lantas apakah kita perlu mengadopsi konsep civic religion Amerika? Tidaklah demikian, menurut Benyamin F Intan, ide agama publik Amerika dilatarbelakangi oleh konsep naked public square yang menyudutkan peran agama dalam kehidupan publik.  Selain itu, menurut Benyamin, naked public square juga berpotensi untuk menciptakan fundamentalisme dan radikalisme agama. Dengan meminggirkan agama ke ranah privat, naked public square mengekang kebebasan beragama yang notabene bertentangan dengan Pancasila, terutama sila pertama, Ketuhana Yang Maha Esa.
Tidak menyetujui konsep naked public square, bukan berarti Pancasila akan dengan mudah menerima sacred public square. Konsep sacred public square dari negara agama menyalahi spirit kebinekaan Pancasila karena memperlakukan warga negara berdasarkan agama. Tolok ukur kebijakan negara bukan lagi asas keadilan, tapi agama. Dengan demikian, sirnalah sudah fungsi luhur negara sebagai pengayom kemaslahatan warga.Dengan menolak naked public square dan sacred public square, Pancasila mengedepankan konsep civil public square. Melalui konsep ini, Pancasila mengizinkan semua kepercayaan berkiprah di kehidupan publik. Tapi dengan syarat, harus bertolak dari realitas kemajemukan agama. Artinya, agama-agama harus tampil sebagai kekuatan demokratis dalam mentransformasi kehidupan sosial-politik masyarakat. Target agama di publik dalam wacana civil society adalah bagaimana menjadikan kehidupan politik bangsa bermoral dan beretika seturut nilai-nilai luhur Pancasila.
Oleh karena itu, nilai-nilai luhur pancasila dan semboyan Bhinneka tunggal ika perlu direnungkan ulang. Pancasila seharusnya menjadi pengikat dan penyatu seluruh masyarakat Indonesia. Jika hal ini ditanamkan dalam hati dan pikiran setiap orang, niscaya akan membentuk habitus baru hingga diyakini sebagai civic religion (agama publik). Bukankah demikian? Bagaimana menurut anda? (dari berbagai sumber/K-32)
 

Partai

Institusi

K / L

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Topik

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Statement

Fasum

Transportasi