Jakarta, CNBC Indonesia – Implementasi pajak karbon akhirnya kembali ditunda. Bahkan, bukan hitungan bulan lagi, penerapannya molor hingga 2025 dari yang awalnya 1 April 2022.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyesalkan keputusan pemerintah atas penundaan pajak karbon tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius mempersiapkan implementasi pajak karbon.
“Walaupun saya tidak sepenuhnya kaget karena kalau kita lihat pajak karbon sejak awal tidak disiapkan dengan baik dan terkesan mendadak dimasukkan di UU Nomor 7 tahun 2021,” kata Fabby kepada CNBC Indonesia, Jumat (14/10/2022).
–
–
Namun, menurutnya kemungkinan ada beberapa faktor yang melatarbelakangi opsi penundaan pajak karbon akhirnya dipilih. Misalnya, Kementerian Keuangan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) belum siap menyusun aturan pelaksanaan dari nilai ekonomi karbon dan pajak karbon.
“Dengan penundaan ini, ada potensi pelanggaran UU Nomor 7 tahun 2021 pasal 13 yang menetapkan pajak karbon berlaku 1 April 2022. Penundaan ke 2025 artinya pemerintah tidak patuh pada ketentuan di pasal ini,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Bhima menilai, dengan mundurnya implementasi pajak karbon, pemerintah sebetulnya tidak konsisten lagi dalam mendorong mitigasi perubahan iklim.
Padahal dari sisi tarif, penerapan pajak karbon di Indonesia termasuk yang paling rendah di dunia. Dengan begitu, pajak karbon yang diterapkan ke PLTU tidak akan berdampak terhadap harga jual listrik ke tingkat konsumen.
Bhima menilai penerapan pajak karbon sebenarnya menjadi insentif bagi PT PLN (Persero) untuk mengembangkan sumber energi terbarukan. Logika dari kebijakan pajak karbon adalah memungut pajak dari penyumbang emisi karbon kemudian hasil dananya dikembalikan ke sektor yang bisa menurunkan emisi karbon.
“Dilihat dari logika tadi yang untung dari pajak karbon justru pembangkit EBT termasuk PLN dengan catatan ada realisasi pembangunan EBT yang masif dari PLN,” ujarnya.
Seperti diketahui, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pajak karbon seharusnya berlaku pada 1 April 2022. Namun pelaksanaanya mundur karena mempertimbangkan situasi perekonomian global dan domestik.
Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan mencatat bahwa tarif pajak karbon paling rendah adalah Rp 30 per kilo gram (kg) karbon dioksida ekuivalen. Tarif tersebut sebenarnya jauh lebih kecil dari usulan awal Rp 75. Dengan tarif Rp 30, Indonesia termasuk negara dengan tarif terendah di dunia untuk urusan pajak karbon.
Penetapan pajak karbon di Indonesia memakai skema cap and tax atau mendasarkan pada batas emisi. Terdapat dua mekanisme yang bisa digunakan Indonesia, yaitu menetapkan batas emisi yang diperbolehkan untuk setiap industri atau dengan menentukan tarif pajak yang harus dibayarkan setiap satuan tertentu.
Secara umum, skema cap and tax ini mengambil jalan tengah antara skema carbon tax dan cap-and-trade yang lazim digunakan di banyak negara. Modifikasi skema pajak karbon tentu diperlukan karena ada perbedaan ekosistem industri antar wilayah, termasuk respons publik terhadap aturan baru tersebut.
[-]
–
Pajak Karbon PLTU Siap Jalan 1 Juli 2022, Emisi Yakin Turun?
(wia)