FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang menyasar sekolah berstandar internasional mendapat sorotan banyak pihak. Salah satunya dari Anggota DPR RI Novita Hardini yang menolak kebijakan tersebut.
Ia menilai PPN 12 persen yang menyasar sekolah internasional akan menghambat akses masyarakat terhadap pendidikan berkualitas, sehingga berpotensi membawa dampak jangka panjang yang merugikan.
Menurut Novita, sekolah berstandar internasional adalah sarana pendidikan berstandar global yang dapat menjadi tolak ukur, sekaligus motivasi bagi sekolah nasional untuk berbenah dalam aspek pembelajaran, budaya sekolah, kurikulum, moral dan etika murid serta keterampilan tenaga pengajar.
Saat ini, terdapat 198 sekolah internasional yang tersebar di seluruh Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai destinasi utama sekolah berstandar internasional di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan data ISC Research, jumlah ini mengungguli Thailand (192), Malaysia (187), Singapura (119), dan Vietnam (118).
Seiring dengan pertumbuhan jumlah sekolah, pendaftaran siswa juga menunjukkan peningkatan signifikan, dari 67.000 siswa pada 2023 menjadi 72.000 siswa pada 2024.
“Dengan adanya sekolah internasional, sekolah nasional memiliki tolak ukur dan motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Ini penting agar pendidikan di Indonesia bisa lebih kompetitif di tingkat global,” ujar Novita, dalam keterangan tertulis dikutip pada Jumat (20/12/2024).
Bahkan dari data yang ada, banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah internasional bukan karena mereka berasal dari masyarakat kelas atas, tetapi mereka sadar rela memberikan apapun demi pendidikan anak-anaknya meskipun dalam keterbatasannya.
“Tidak semua siswa di sekolah internasional berasal dari keluarga kaya. Banyak orang tua yang rela bekerja lebih keras atau menggeser kebutuhan lainnya demi prioritas membiayai pendidikan anak,” jelas Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Kebijakan ini dinilai Novita akan memperlebar jurang akses pendidikan berkualitas di dalam negeri. Sekolah berstandar internasional akan semakin sulit dijangkau, terutama oleh anak-anak Indonesia. Lebih jauh lagi, Novita menyoroti dua dampak besar yang akan timbul dengan adanya kebijakan tersebut.
Pertama, beban Biaya Operasional Sekolah meningkat. Sekolah internasional sangat bergantung pada sumber daya global. Seperti teknologi terbarukan, kurikulum global, dan dengan didukung infrastruktur memadai.
Dengan kenaikan PPN 12 persen, maka biaya operasional sekolah akan melonjak. Pupuslah harapan anak-anak bangsa mampu bersaing dengan global.
“Sekolah Internasional adalah media kita mampu memahami struktur dan pola pikir dengan wawasan global. Yang pada akhirnya, setiap lulusannya memiliki akses berkarier dan ber-networking ke seluruh penjuru dunia dengan mudah. Jika PPN 12 persen dibebankan kepada sekolah internasional, maka ini menjadi beban yang akan dirasakan langsung oleh para orang tua yang tidak semuanya berasal dari keluarga kaya,” ungkap Legislator Dapil Jawa Timur VII itu.
Kedua, penurunan minat calon siswa jika biaya pendidikan naik drastis, maka sekolah internasional berisiko kehilangan calon siswa. Orang tua yang merasa terbebani akan memilih alternatif lain, yang dapat berdampak pada reputasi sekolah dan keberlanjutan investasi asing di bidang pendidikan di masa depan.
“Sekolah bisa kehilangan siswa, dan investor pun akan menghadapi tantangan besar dalam menjaga keberlangsungan operasionalnya,” tambahnya.
Novita mendesak pemerintah agar mempertimbangkan ulang kebijakan ini demi masa depan pendidikan Indonesia yang lebih inklusif dan berkeadilan.
“Kita harus berpikir jangka panjang. Jangan sampai kebijakan ini justru membuat pendidikan berkualitas semakin tidak terjangkau dan menghambat peningkatan mutu pendidikan nasional,” tegas Novita. (Pram/fajar)