Jakarta, CNBC Indonesia – Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mendorong, Indonesia mengatur secara rigid profesi penilaian dalam sebuah undang-undang (UU)
Direktur Jenderal Kekayaan Negara DJKN Rionald Silaban mengatakan, saat ini Indonesia menjadi salah satu negara di kawasan Asia yang belum memiliki UU Profesi Penilaian.
Rionald mengatakan, UU Profesi Penilaian penting untuk mendukung pembentukan pusat data transaksi properti. UU Profesi Penilai diharapkan menjadi payung hukum terbentuknya data transaksi properti nasional yang valid.
–
–
“Kita akan mendorong profesi penilai ini memiliki Undang-Undang. Tentu kita akan memiliki aturan dan proses karena ini harus masuk di program legislasi nasional,” jelas Rionald, Jumat (14/10/2022).
Sementara itu, Direktur Penilaian DJKN Arik Hariyono menambahkan, Indonesia perlu membuat RUU tentang Profesi Penilaian karena merupakan amanat dari UU No 13/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Kenapa penting? Karena sampai dengan hari ini kita ada beberapa metode penilaian internasional. Pertama bagaimana mendapatkan komparasi properti sejenis,” jelas Arik.
“Contoh sebuah rumah dan mobil yang banyak transaksi di pasar, berapa akan diterima di pasar,” tambahnya.
Selain itu, imbuh dia, RUU Profesi Penilaian akan mendukung optimalisasi penerimaan negara. Dengan UU Profesi Penilaian, transparansi transaksi melalui properti lewat peran penilai bisa meningkatkan pendapatan negara secara signifikan.
Sebab, lanjutnya, penerimaan negara bukan hanya berasal dari sektor pajak saja, namun juga akan melibatkan banyak kegiatan masyarakat.
“Negara harus hadir memberikan payung hukum dan kepastian hukum sehingga penerimaan pajak akan optimal,” ucapnya.
UU Profesi Penilai juga dinilai penting dalam memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi masyarakat, bahkan dapat mendukung upaya pencegahan krisis ekonomi.
Sebagai gambaran, jumlah penilai di Indonesia mencapai 1.579 orang. Jumlah itu terdiri dari 521 penilai Direktorat Jenderal Pajak (DJP), 276 penilai DJKN, 26 penilai Pemda, dan 782 penilai publik.
[-]
(dce)