Liputan6.com, Jakarta – Tokoh pro-demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) Todung Mulya Lubis mengungkapkan keprihatinannya terkait dugaan keterlibatan Presiden Ketujuh RI Joko Widodo (Jokowi) dalam tindakan cawe-cawe berbagai proses politik.
Todung menilai, tindakan cawe-cawe Jokowi tidak hanya melanggar etika, namun juga ketentuan hukum.
“Cawe-cawe itu bukan saja melanggar etika, tapi juga melanggar ketentuan hukum yang berlaku,” ujar Todung dalam diskusi publik ‘Demokrasi yang Tergerus Pasca-Reformasi 98, Residu Rezim Jokowi Cawe-Cawe MK, Pemilu 2024, dan Pilkada Serentak 2024’ yang digelar di Muse Makassar, Jakarta, Rabu (6/11/2024).
“Presiden itu berada di atas semua, berada di atas semua partai, berada di atas semua kandidat. Jadi kalau cawe-cawe itu untuk kepentingan salah satu kandidat atau kepentingan partai politik tertentu, ini sudah menunjukkan bahwa dia tidak lagi berada di atas semua,” sambung dia.
Todung juga menyoroti munculnya fenomena ‘strong state’ di Indonesia dalam lima tahun terakhir yang tanpa diimbangi oleh kekuatan masyarakat.
“Apa yang kita hadapi dalam paling tidak lima tahun terakhir, yaitu lahirnya satu fenomena yang saya sebut sebagai strong state (negara kuat), strong state itu tidak ada salahnya kalau masyarakatnya (juga) kuat,” ucap dia.
“Tapi apa yang terjadi adalah kita diarahkan pada strong state, tapi pada sisi lain ada society yang weak. Nah ketika strong state itu exist, nah disinilah abuse of power itu terjadi. Tanpa bisa dikontrol, dikendalikan atau di-stop,” sambung Todung.
Keberadaan kotak kosong dalam Pilkada membawa implikasi yang signifikan bagi dinamika politik lokal. Di satu sisi, hal ini dapat mendorong pasangan calon tunggal untuk bekerja lebih keras dalam meyakinkan pemilih dan membuktikan kelayakan mereka. Di …