KRjogja.com – PADA era modern ini, kemajuan teknologi membawa dampak besar dalam berbagai sektor, termasuk di dunia hukum. Proses peradilan yang lebih cepat, penggunaan alat komunikasi berbasis digital, serta kemudahan dalam mengakses informasi seharusnya bisa memberi manfaat yang sama bagi semua warga negara. Namun bagi penyandang disabilitas, mengakses keadilan dalam sistem hukum sering kali penuh dengan tantangan, terutama dalam era digital yang serba cepat dan canggih ini. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan modernisasi sistem hukum, penyandang disabilitas masih menghadapi hambatan-hambatan besar yang bersifat struktural dan sosial dalam mengakses layanan hukum. Oleh karena itu, pelatihan perspektif disabilitas bagi aparat penegak hukum menjadi semakin penting. Pelatihan ini bertujuan untuk memastikan bahwa hak-hak penyandang disabilitas dapat terlindungi dan diakui dalam setiap proses hukum, baik yang dilakukan secara konvensional maupun yang telah mengadopsi teknologi digital dan pelatihan perspektif disabilitas sangat diperlukan agar aparat penegak hukum dapat mengoptimalkan penggunaan teknologi untuk mendukung aksesibilitas penyandang disabilitas dan menjamin keadilan bagi mereka (World Health Organization (WHO). (2011). World Report on Disability. Geneva: WHO). Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh penyandang disabilitas adalah kesulitan dalam mengakses layanan hukum, baik secara fisik maupun melalui platform digital. Misalnya, banyak kantor pemerintahan dan lembaga hukum lainnya yang belum sepenuhnya ramah disabilitas, baik dalam hal fasilitas fisik maupun penggunaan teknologi informasi. Penyandang disabilitas sering kali kesulitan mengakses informasi yang disajikan dalam format digital, seperti website pemerintah yang tidak ramah disabilitas, atau aplikasi yang tidak menyediakan fitur aksesibilitas bagi pengguna dengan gangguan penglihatan atau pendengaran. Di sisi lain, komunikasi dengan penyandang disabilitas dalam proses hukum terutama mereka yang memiliki disabilitas intelektual atau mental seringkali tidak berjalan lancar karena kurangnya pemahaman dari aparat penegak hukum tentang cara berinteraksi yang tepat (Suyanto, B. (2020). Disabilitas dalam Perspektif Hukum: Tantangan dan Peluang bagi Sistem Hukum Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Keadilan). Pelatihan perspektif disabilitas bagi aparat penegak hukum tidak hanya mencakup pengetahuan tentang jenis-jenis disabilitas dan pendekatan komunikasi yang sesuai, tetapi juga tentang bagaimana memanfaatkan teknologi digital secara inklusif. Pelatihan ini harus mengajarkan aparat penegak hukum bagaimana membuat layanan hukum lebih mudah diakses oleh penyandang disabilitas, termasuk penyediaan fasilitas digital yang ramah disabilitas. Sebagai contoh, aplikasi untuk pelaporan kasus atau platform pengaduan online harus mendukung penggunaan teknologi bantu, seperti pembaca layar, dan menyediakan opsi untuk berkomunikasi melalui teks atau bahasa isyarat (United Nations. (2006). Convention on the Rights of Persons with Disabilities. New York: United Nations).
Di Indonesia, hak-hak penyandang disabilitas diatur dengan tegas dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang ini bertujuan untuk melindungi dan memastikan kesetaraan hak bagi penyandang disabilitas di berbagai sektor kehidupan, termasuk dalam hal pelayanan publik, aksesibilitas, dan keadilan hukum. Meskipun hukum telah memberikan perlindungan yang jelas bagi penyandang disabilitas, implementasi di lapangan sering kali menemui banyak kendala. Tanpa pemahaman yang memadai, aparat penegak hukum mungkin tidak menyadari kewajiban mereka untuk memastikan aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam proses hukum (Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. (2016). Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Jakarta: Kemenkumham). Menurut Jurnal (Dewi, A. (2022). “Pelatihan Perspektif Disabilitas bagi Aparat Penegak Hukum di Indonesia”. Jurnal Hukum dan Keadilan, 28(3), 45-61.), pelatihan perspektif disabilitas sangat penting untuk menghindari adanya diskriminasi atau prasangka yang masih sering dialami penyandang disabilitas. Dalam beberapa kasus, penyandang disabilitas dianggap tidak kompeten atau tidak mampu memberikan kesaksian yang valid, padahal mereka memiliki hak untuk didengar dan dihargai suaranya di hadapan hukum. Dengan pelatihan ini, aparat penegak hukum akan lebih mampu berinteraksi dengan penyandang disabilitas dengan penuh empati dan menghindari perilaku yang bisa merugikan mereka.
Dalam pelatihan tersebut akan diberikan pemahaman mendalam mengenai berbagai jenis disabilitas, serta bagaimana berinteraksi secara efektif dengan penyandang disabilitas yang memiliki keterbatasan fisik, mental, atau sensorik. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah simulasi bagaimana berkomunikasi dengan penyandang disabilitas tunanetra menggunakan alat bantu braille dan menggunakan penerjemah bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan penyandang disabilitas tunarungu. Melalui pelatihan ini, aparat penegak hukum menjadi lebih sensitif terhadap kebutuhan penyandang disabilitas dan mampu memberikan pelayanan yang lebih baik dalam penanganan kasus-kasus hukum. Di samping itu, pelatihan ini akan memberikan aparat penegak hukum keterampilan praktis untuk menangani kasus yang melibatkan penyandang disabilitas, baik yang terjadi dalam konteks fisik maupun digital. Misalnya, aparat penegak hukum perlu mengetahui bagaimana menggunakan teknologi komunikasi yang tepat untuk mendapatkan bukti atau kesaksian yang sah dari penyandang disabilitas tanpa menambah beban atau kesulitan mereka. Dengan memanfaatkan teknologi yang ada, seperti video conference untuk sidang jarak jauh, aparat hukum dapat menciptakan pengalaman yang lebih ramah bagi penyandang disabilitas. Pelatihan perspektif disabilitas dalam era digital ini bukan hanya penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan hukum, tetapi juga untuk memastikan bahwa sistem hukum kita menjadi lebih inklusif dan adil bagi semua lapisan masyarakat. Keadilan yang inklusif baik secara fisik maupun digital adalah tujuan utama dari sistem hukum yang berorientasi pada hak asasi manusia. Hanya dengan membekali aparat penegak hukum dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai, kita dapat menciptakan lingkungan yang mendukung penyandang disabilitas untuk mengakses keadilan secara setara, tanpa ada hambatan. Dengan memberikan pelatihan perspektif disabilitas kepada aparat penegak hukum, baik dalam konteks tradisional maupun era digital, kita membuka jalan bagi terciptanya sistem hukum yang lebih adil dan responsif. Keberhasilan pelatihan ini tidak hanya akan meningkatkan kualitas sistem hukum, tetapi juga memastikan bahwa setiap individu, tanpa terkecuali, dapat merasakan perlindungan hukum yang setara dan adil.(Prima Siwi A, Mahasiswa Magister Manajemen, Program Pascasarjana Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta) Â