Sumatera Utara kerap muncul di media, selain dengan keindahan Danau Toba dan bencana letusan Gunung Sinabung, juga dengan kasus korupsi yang menimpa dua gubernurnya. Provinsi yang menelurkan sederet bintang dari Judika Sihotang sampai Duma Riris Silalahi ini akan menyelenggarakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur tahun depan. Sanggupkah Sumut juga melahirkan gubernur yang bersih dari korupsi?
PinterPolitik.com
“Maju di Pilgub Sumut? Wah, kalau aku maju, kalian milih gak?”
Demikian pertanyaan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), Letnan Jenderal (Letjen) TNI Edy Rahmayadi, kepada wartawan seusai kegiatan TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-98 tahun 2017 di Stabat, Sumatera Utara (Sumut), Kamis (4/5).
Ditanya pertanyaan seperti itu, para wartawan yang hadir pada kegiatan tersebut serentak menjawab, “Kami akan pilih jenderal!”
Pembicaraan yang awalnya kelakar itu pun berlanjut ungkapan serius dari Letjen Edy. Pria yang juga Ketua Umum PSSI itu ingin mencari petunjuk Yang Maha Kuasa terlebih dahulu sebelum memutuskan kemungkinan dirinya maju menjadi kandidat di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Sumut tahun depan.
“Ya, harus istiqoroh dulu. Karena semuanya sudah diatur sesuai ketentuan yang digariskan Allah SWT,” ungkap Edy.
Meski Edy belum secara tegas mendeklarasikan diri untuk maju sebagai kandidat, bukan berarti dia tidak punya modal dukungan massa. Februari lalu, Organisasi Masyarakat Satuan Tugas (Satgas) Joko Tingkir, melalui ketua umumnya, Sukirmanto, menegaskan dukungannya pada Letjen Edy.
“Joko Tingkir adalah paguyuban warga Jawa di Sumatera Utara yang telah terbentuk di 30 kabupaten/kota dan saat ini mempunyai sebanyak 900 ribu kader, dan kami siap mendukung Pak Edy Rahmayadi untuk maju menjadi calon Gubsu (Gubernur Sumut),” ungkap Sukirmanto, Senin (27/2), seperti dilansir dari Waspada.
Pangkostrad Letjen Edy Rahmayadi (kanan) bersama Mayjen Lodewyk Pusung (kiri)
Mimpi Dua Bupati Petinggi Partai
Tidak hanya Edy sejumlah nama lain juga hangat diperbincangkan bakal maju dalam Pilkada Sumut 2018 yang pencoblosannya akan digelar 28 Juni 2018. Setidaknya dua orang bupati di Sumut telah menyatakan diri siap menjadi kandidat calon gubernur. Mereka adalah Bupati Simalungun, JR Saragih, dan Bupati Langkat Ngogesa Sitepu.Lain dengan Edy yang masih malu-malu, Februari lalu, JR Saragih yang juga Ketua DPD Partai Demokrat Sumut, menyatakan terang-terangan bahwa dia siap maju di pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sumut mendatang.
“Karena dorongan dari teman-teman juga. Saya percaya, kalau teman-teman mendukung, saya akan maju. Karena niat saya adalah bukan merebut jabatan, tetapi untuk membangun daerah, pasti siap,” kata JR Saragih, Senin (2/2) seperti dilansir dari Sumut Pos.
Bak gayung bersambut, dua bulan setelah JR Saragih menyatakan niatnya, dukungan datang dari organisasi United Evangelical Mission (UEM), sebuah organisasi himpunan gereja Kristen Protestan. Di Sumatera Utara beberapa gereja yang masuk perhimpunan ini antara lain BNKP, HKBP, GKPA, HKI, GKPI, GKPS, GBKP, GKPPD, dan GKI.
“Kami yang tergabung di United Evangelical Mission (UEM) mendukung Bapak JR Saragih untuk dapat memimpin Sumatera Utara dengan semangat yang baru sehingga dengan terpilihnya Bapak JR Saragih nantinya bukan hanya di wilayah Simalungun saja melainkan Provinsi Sumatera Utara,” ujar Pimpinan Huria Kristen Indonesia (HKI), Majalo Pahala Hutabarat, Senin (17/4), seperti dilansir dari Tribun Medan.
Seolah tidak ingin tertinggal gerbong kereta, menyusul akhir Maret silam, Ngogesa Sitepu, yang juga Ketua DPD Partai Golkar Sumut, dikabarkan akan turut meramaikan bursa calon gubernur di Pilkada Sumut 2018.
“Sebagai partai pemenang Pemilu 2014 di Sumut, Golkar tak mungkin melirik calon gubernur dari partai atau tokoh lain. Sudah hampir dipastikan Partai Golkar usung calon sendiri untuk Pilgubsu 2018, yakni Ngogesa Sitepu,” ujar Sekretaris DPD I Golkar Sumut, Irham Buana Nasution, Kamis (30/3), seperti dilansir Metro24jam.
Pencalonan ini bukannya tidak terduga, pada bulan Februari lalu, organisasi sayap karyawan Golkar Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) sudah terlebih dahulu menyatakan dukungannya kepada Ngogesa.
“Pada kesempatan ini Depicab (Dewan Pimpinan Cabang) SOKSI se-Sumut mengusung Ngogesa Sitepu, Bupati Langkat yang juga Ketua DPD Partai Golkar Sumut untuk maju ke pencalonan Pilgubsu 2018-2022. Kegiatan ini untuk penguatan pengkaderan SOKSI, yang juga perjalanan misi untuk mendukung calon Gubsu dari Partai Golkar,” ucap Ketua Dewan Pimpinan Daerah SOKSI Sumut, Indra Alamsyah, Kamis (23/2), seperti dilansir dari Jurnal Asia.JR Saragih (kiri) dan Ngogesa Sitepu (kanan)
Siap-siap Mencari Koalisi
Selain mereka bertiga, sejumlah nama juga dikabarkan bakal merangkak maju di Pilkada Sumut 2018. Nama Maruarar Sirait atau yang akrab dipanggil Bang Ara kabarnya santer bakal diusung PDIP. Nama bang Ara melesat setelah menjadi pimpinan tim pemenangan Jokowi-Jusuf Kalla di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Bang Ara juga sempat disebut akan diangkat jadi menteri di Kabinet Kerja. Namun Jokowi urung melaksanakannya.
Saat ini PDIP belum mendeklarasikan siapa tokoh yang akan mereka usung di Pilkada Sumut 2018. Si moncong putih itu mengumumkan bahwa mereka hanya baru membuka bursa calon gubernur. Meski demikian Wakil ketua DPD Partai Golkar Sumut, Rolel Harahap, berharap Golkar dan PDIP Perjuangan bisa berkoalisi. Menurut Rolel, koalisi tersebut sangat mungkin terjadi karena saat ini relasi Golkar dan PDIP cukup mesra. Keduanya menjadi partai utama pendukung pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla. Menurutnya juga, relasi itu akan menjadi lebih kuat lagi apabila paslon usungan bersama di Pilkada Sumut 2018 nanti terpilih.
“Cukuplah Pilgubsu 2008 dan 2013 jadi pelajaran, kedua partai ini kalah mengusung paslon masing-masing. Golkar sudah ada tokohnya, yaitu pak Ngogesa Sitepu, tinggal PDI Perjuangan kan juga banyak figur yang pantas,” ujar Rolel, Minggu (16/4), seperti dilansir dari Tribun Medan.
Di sisi lain, nasib petahana gubernur Sumut Tengku Erry Nuradi masih belum jelas juntrungannya. Hingga saat ini partai Nasdem belum memastikan apakah mereka akan mengusung Tengku Erry Nuradi yang juga Ketua DPW Nasdem Sumut tersebut. Sementara itu, partai Gerindra dikabarkan ingin mengusung Gus Irawan Pasaribu yang juga Ketua DPD partai Gerindra Sumut.
“Sampai hari ini kami (Gerindra) masih terus mengenalkan sosok Pak Gus ditengah-tengah masyarakat Sumut, khususnya Kota Medan. Di internal DPD mencalonkan Pak Gus sebagai Cagubsu. Kita optimis sosok beliau masih akan diusung oleh partai,” kata Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerindra Kota Medan, Bobby O. Zulkarnain, seperti dilansir dari Sumut Pos, Rabu (15/3).
Ramai. Satu kata yang cukup menggambarkan situasi menjelang diselenggarakan Pilkada Sumut mendatang. Jika pemilihan berjalan lancar, paslon terpilih akan menjadi gubernur dan wakil gubernur ke-19 Sumut.
Maruar Sirait (kiri) dan Tengku Erry Nuryadi (kanan)
Awas Korupsi!
“The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting”
Terlepas dari hiruk-pikuk yang terjadi, tampaknya perkataan penulis kelahiran Ceko, Milan Kundera, tersebut yang sedang diperjuangkan warga Sumut demi meredam keramaian elit di ‘atas’ yang seolah melupakan sejarah pimpinan provinsi Sumut yang kerap diselimuti korupsi.
Pada Rabu (25/4) silam, puluhan guru honorer di Simalungun melancarkan demonstrasi untuk memprotes kebijakan JR Saragih yang menunda penggajian mereka selama enam bulan. Selain itu, menurut mereka, JR Saragih juga kerap melakukan pemecatan sepihak terhadap para guru.
Di depan kantor DPRD Sumut, salah seorang guru peserta demonstasi mengatakan, “Jadi Bupati saja sudah kejam seperti ini. Kalau nanti jadi calon Gubernur Sumut, mau gimana lagi. Gak usah lah kita pilih.”
Ratusan Guru Honorer Gelar Demo di Gedung DPRD Sumut https://t.co/BIuIz9lLHk pic.twitter.com/ccqQNTaYaN
— METRO TV (@Metro_TV) April 28, 2017
Usut punya usut, protes dari para guru tersebut masih terkait dengan kasus dugaan korupsi yang menimpa JR Saragih yang menjadi Bupati Simalungun sejak April 2016 lalu. JR Saragih diduga terlibat kasus dugaan korupsi penyalahgunaan dana kesejahteraan guru swasta dan honorer senilai Rp 1,27 miliar. Sementara itu, JR Saragih sudah menghadapi tiga laporan dugaan korupsi dan dua dugaan suap yang masuk ke meja pengaduan KPK.
Ketua KPK, Agus Rahardjo, saat ditemui wartawan seusai mengisi acara di Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, Jumat (7/4), mengatakan bahwa kasus yang menimpa JR Saragih adalah kasus mangkrak.
“KPK perlu berkoordinasi dengan pihak Kepolisian dan Kejaksaan. Saya baru mengetahui ada kasus yang mangkrak terkait Bupati Simalungun JR Saragih,” kata Agus, seperti dilansir dari Bareskrim.com.
Ngogesa Sitepu juga bukannya tak bercelah. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI menyebutkan, terdapat temuan dan pelanggaran terhadap penggunaan keuangan di Kabupaten Langkat yang pelaksanaannya dilakukan oleh setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Menurut Ketua DPD LSM Perjuangan Keadilan Sumatera Utara (Sumut), Agustinus Riza Kaban, Ngogesa diduga tidak memahami tugas pokok dan fungsinya sebagai bupati. Riza juga menganggap Ngogesa tidak tegas terhadap pimpinan SKPD. Tiap tahun anggaran (TA), selalu ada temuan dan pelanggaran pada LHP BPK–RI.
Riza menyebutkan, pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) TA 2016, anggaran yang dikucurkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat sebesar Rp 234.224.830.027, yang terdiri dari Belanja Tidak Langsung sebesar Rp 96.334.187.500, diperuntukan membayar belanja pegawai yaitu Belanja Gaji dan Tunjangan serta Belanja Langsung sebesar Rp137.880.642.527.
Namun, menurut Riza, pada Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Bupati Langkat TA 2016 pada Program Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin, anggaran yang dihabiskan sebesar Rp 350.920.500, sedangkan pencapaian kinerjanya sebesar hanya sebesar 46 persen.
“Sangat jelas pada Tahun Anggaran 2016 Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat diduga membuat dan melaksanakan program kerja yang asal -asalan serta dapat diduga terjadinya konspirasi yang merugikan terhadap anggaran pada Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat yang dapat mengarah kepada tindak pidana korupsi,” ujar Riza, seperti dilansir Metro24jam.com.
Jika melihat sederetan kasus dugaan korupsi yang menimpa kedua kandidat calon gubernur tersebut – dan tidak menutup kemungkinan kandidat lainnya juga memiliki kasus serupa, publik seolah dibawa kembali melihat mantan gubernur Sumut sebelum-sebelumnya. Setidaknya dua dari enam gubernur Sumut pasca Reformasi 1998 terbukti melakukan tindak pidana korupsi, yakni Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho.
Korupsi APBD, Presiden Resmi Copot Gubernur Sumut Syamsul Arifin http://t.co/QT4EMn8b
— Sekretariat Kabinet (@setkabgoid) November 2, 2012
Syamsul Arifin merupakan Gubernur Sumut pertama yang dipilih secara langsung. Dia mulai menjabat tahun 2008 didampingi oleh Gatot Pujo Nugroho sebagai wakil gubernurnya. Namun belum sampai habis masa jabatannya, pada tahun 21 Maret 2011, Syamsul diturunkan dari kursi kuasa Sumut akibat tersandung korupsi yang dia lakukan saat dia menjabat bupati Langkat periode 2000-2007.
KPK menyatakan, korupsi tersebut dilakukan Syamsul bersama-sama dengan sejumlah pejabat Kabupaten Langkat bagian keuangan, seperti Buyung Ritonga, Surya Djahisa, Aswan Sufri dan Taufik. Atas ulah mereka tersebut, negara mengalami kerugian sebesar Rp 98,7 Miliar.
Karena itu, Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis pidana penjara selama 5 tahun dan denda sejumlah Rp. 500 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Saat Syamsul mendekam di penjara, Gatot pun naik menjadi Gubernur Sumut hingga akhir jabatannya tahun 2013. Gatot mujur, pada Pilkada Sumut 2013, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut bersama Tengku Erry Nuradi sebagai wakilnya berhasil menyabet perolehan suara tertinggi. Tahun 2013 Gatot-Erry naik jabatan, namun lagi-lagi, gubernur Sumut tersandung korupsi, dan harus diberhentikan dari jabatannya.
Menurut keterangan KPK, Gatot disandung empat perkara.
Pertama, Gatot menyuap 3 hakim dan 1 panitera PTUN Medan yang melibatkan 2 pengacara. Kedua, Gatot dan istri keduanya, Evy Susanti, menyuap anggota DPR Patrice Rio Capella yang juga Sekjen Partai Nasdem. Ketiga, Gatot tidak memverifikasi penerima dana hibah. Dalam hal ini negara merugi sekitar Rp 2,2, miliar. Keempat, Gatot menyuap 5 anggota DPRD Sumut untuk melancarkan beberapa urusan.
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor 161/Pid.Sus/TPK/2015/PN.JKT.PST Gatot dipidana penjara 3 tahun dikurangi masa tahanan, denda Rp 150 juta, dan subsidair 3 bulan kurungan, ditambah biaya Perkara Rp 10 ribu.
Masih satu rantai dengan kasus Gatot, pada Rabu (1/3) lalu, Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 4 sampai 4,5 tahun penjara kepada 7 anggota DPRD Sumut. Mereka terbukti bersama-sama menerima suap Gatot terkait dengan pengesahan APBD hingga pembatalan pengajuan hak interpelasi.
Selengkapnya tentang #JejakKasus Gatot Pujo Nugroho dapat dibaca langsung di ACCH https://t.co/FbUMdFNpgm pic.twitter.com/Ugigoj8M10
— KPK (@KPK_RI) April 5, 2017
Perkara Korupsi Kepala Daerah
Kasus Syamsul dan Gatot ‘hanya’ dua contoh kasus korupsi yang dilakukan pejabat daerah. Berdasarkan data yang dihimpun KPK, hingga saat ini sudah ada 17 gubernur yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Sementara itu, dari sepuluh wilayah provinsi di sumatera, tujuh gubernurnya terkena kasus korupsi. Bahkan, pada tahun 2016, sebanyak 10 kepala daerah menjadi tersangka korupsi.
Sosiolog Selo Soemardjan jauh hari sudah memprediksi hal ini dengan membaca situasi politik pasca Reformasi 1998 dimana Indonesia menerapkan prinsip otonomi daerah. Menurutnya, melalui kebijakan tersebut kekuasaan menjadi terdesentralisasi namun hal tersebut juga menimbulkan efek samping: korupsi tidak saja akan berjalan secara konvensional ke atas atau hierarkis, namun akan merambat juga ke daerah-daerah secara ‘horizontal’.
Karena korupsi terlihat terjadi begitu masif dan menyebar, beberapa pihak menyebutkan bahwa korupsi di Indonesia telah menjadi budaya. Dalam hal ini, Selo tegas menolak anggapan itu. Pria yang dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia lebih memandang korupsi sebagai suatu penyakit ganas yang menggerogoti kesehatan masyarakat.
Dia mengibaratkan korupsi seperti kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup manusia. Karena itu, yang harus dilakukan, adalah mencari obatnya. Balik lagi ke Sumut, memang Pilkada Sumut nanti bakal ramai, tapi akankah kursi kuasa di Sumut akan bebas dari penyakit korupsi?
(H31)