Gery David Sitompul | Kamis, 07/11/2024 15:18 WIB
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata memberikan keterangannya.
Jakarta, Jurnas.com – Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengajukan uji materi atau judical review terhadap Pasal 36 dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Permohonan uji materi diajukan Alex bersama dua pegawai KPK bernama Sari dan Maria Fransiska pada Senin, 4 November 2024.
“Para pemohon dengan ini mengajukan permohonan pengujian materil terhadap norma Pasal 36 huruf (a) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK),” demikian bunyi permohonan Alex dkk seperti dikutip Kamis, 7 November 2024.
Pasal 36 huruf a UU KPK berbunyi: `Pimpinan KPK dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun`.
Alex dkk menguji norma tersebut terhadap Pasal 28 D Ayat (1) dan Pasal 28 I Ayat (2) UUD 1945. Pasal 28 D ayat 1 mengatur setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Sedangkan 28 I ayat 2 berbunyi setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Alex merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 36 huruf a UU KPK. Sebab, pertemuan ia dengan Eko Darmanto yang kini berstatus terdakwa kasus dugaan korupsi dan pencucian uang sekaligus mantan Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta diproses oleh Polda Metro Jaya.
Padahal, menurut Alex, pertemuan tersebut dimaksudkan untuk mendengarkan laporan mengenai dugaan korupsi yang disampaikan oleh Eko. Terlebih, pertemuan itu dilakukan secara resmi di Kantor KPK dengan melibatkan staf yang membidanginya.
Alex mengatakan jika pertemuan tersebut dilakukan sebagai pemenuhan tugas dan kewenangan dirinya sebagaimana pimpinan KPK.
“Pertemuan tersebut selanjutnya oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya dilakukan proses penyelidikan dengan dugaan tindak pidana sebagaimana Pasal 36 huruf a ini (Bukti P-22). Hal ini menunjukkan secara nyata akibat ketidakjelasan batasan atau kategori larangan `hubungan … dengan alasan apa pun` pada Pasal a quo telah menyebabkan pemohon 1 harus menjadi terlapor atas dugaan tindak pidana,” kata Alex dalam permohonannya.
“Sehingga akibat norma Pasal 36 huruf a tersebut yang tidak berkepastian hukum, perbuatan yang dilakukan secara beriktikad baik bahkan memenuhi kewajiban hukum pemohon 1 sebagai aparat penegak hukum telah dipandang dan karenanya dilakukan proses penyelidikan atas peristiwa yang dikategorikan telah melanggar ketentuan Pasal 36 huruf a UU KPK,” sambungnya.
Dengan kondisi itu, para pemohon yang merupakan pegawai KPK merasa juga dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum dalam mengemban tugas dan tanggung jawab sesuai perintah Undang-undang.
“Kerugian konstitusional akibat rumusan norma Pasal 36 Huruf a jo Pasal 37 UU KPK tersebut secara nyata juga telah mengakibat kerugian kepada para pegawai, yaitu tidak jarang pegawai KPK telah dipanggil dalam proses penyelidikan dugaan pelanggaran norma Pasal 36 huruf a tersebut yang tidak berkepastian hukum, oleh karena itu akibat ketidakpastian dan diskriminasinya ketentuan Pasal 36 huruf a UU KPK telah juga merugikan pemohon 2 dan pemohon 3 sebagai pegawai KPK.”
Dalam permohonan tersebut turut diuraikan soal diskriminasi. Menurut Alex, pimpinan dan pegawai KPK mendapat perlakuan yang berbeda atau diskriminasi apabila dibandingkan dengan pejabat Kejaksaan maupun Kepolisian dalam melaksanakan tugas.
Tak ada konsekuensi hukum saat pejabat Kejaksaan maupun Kepolisian menerima kunjungan masyarakat yang hendak menyampaikan laporan, aduan atau informasi.
“Bahwa sebagai akibat dari berlakunya Pasal 36 huruf a jo Pasal 37, para pemohon selaku pimpinan dan pegawai KPK mengalami kerugian tercederainya hak konstitusional para pemohon berupa ketentuan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya, di satu sisi diperintahkan (pada Pasal 6 UU KPK) sementara di sisi lain dilarang (Pasal 36, Pasal 37 UU KP) diskriminatif dan tidak berkepastian hukum sehingga dengan tegas dapat kami sampaikan bahwa keberlakuan Pasal a quo merugikan hak konstitusional pemohon.”
Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 36 huruf a UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
KEYWORD : KPK Alexander Marwata Mahkamah Konstitusi Eko Dsrmanto