Rangkap jabatan yang dilakukan pejabat kementerian dan pejabat lembaga negara setingkat kementerian atau anggota dewan, memang telah menuai protes di kalangan masyarakat. Karena para pejabat ini lebih mementingkan kepentingan pribadi dibandingkan dengan kepentingan publik.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]O[/dropcap]esman Sapta Odang atau yang akrab disapa OSO, mendapat kritik tajam dari Komisioner Ombudsman RI, Laode Ida. Kritikannya terkait rangkap jabatan yang kini dijalani OSO. Seperti diketahui, OSO tak hanya menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Wakil Ketua MPR RI, tapi ia juga masih menjadi Ketua Umum Partai Hanura.
“Harusnya MPR keluarkan statement. Waktu itu secara personal, OSO sudah keluar statement (siap mundur dari wakil ketua MPR),” kata Laode di Gedung Ombudsman, Jakarta, Senin (22/5).
Selain kritikan dari Komisioner Ombudsman, OSO juga mendapat kritik tajam dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Peneliti ICW, Donal Fariz mengatakan bahwa dengan adanya rangkap jabatan yang dipikul OSO, bisa dipastikan akan ada duplikasi anggaran untuk gaji OSO.
“Dualisme jabatan ini berpeluang tindak pidana korupsi, OSO menjadi Wakil Ketua MPR juga menjadi pimpinan DPD yang membawa potensi duplikasi anggaran,” ujar Donal dalam jumpa pers di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan.
Gaji OSO di DPD saja, menurut Peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Beni Kurnia Illahi, setiap bulannya mendapatkan Rp 67 juta dan setahunnya anggota DPD bisa menerima 785 juta atau lebih dari Rp 1,4 miliar untuk dua tahun masa jabatan.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo dalam Diskusi Kanal KPK yang bertema “Membedah Rangkap Jabatan Pejabat Pemerintah” mengatakan bahwa rangkap jabatan merupakan fenomena yang patut diwaspadai karena praktik ini bisa memicu terjadinya konflik kepentingan yang berpotensi korupsi.
“Seseorang dengan dua jabatan pasti akan mengalami benturan kepentingan dari jabatannya. Benturan kepentingan tersebut menjadi akar dari adanya kecurangan yang tentu saja sudah menjadi bagian dari praktik korupsi,” kata Agus.Dalam diskusi tersebut, Agus juga menyindir OSO karena telah merangkap tiga jabatan sekaligus. Bahkan, Agus pun menambahkan kalimat ‘banci’ dalam kata-katanya. Namun, OSO tidak berminat mengomentari sindiran tersebut. Ia juga mengaku belum mengetahui aturan tentang rangkap jabatan di tingkat lembaga negara tersebut. Namun bila diminta mundur, ia mengaku siap menanggalkan jabatannya sebagai Ketua DPD.
Menanggapi kritikan tersebut, MPR menyerahkan sepenuhnya pengganti OSO kepada DPD. Dari DPD sendiri, nama-nama senator yang diusulkan menggantikan OSO sudah bermunculan, namun belum sampai tahap formal.
Jabatannya sebagai Ketua DPD pun, sebenarnya dipandang bertentangan oleh hukum. Proses pemilihan OSO dianggap bertentangan dengan peraturan, karena MA sebenarnya telah membatalkan Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2016 dan 2017. Peraturan tersebut mengatur soal masa jabatan Ketua dan Pimpinan DPD yang sebelumnya berhak berkuasa selama 2,5 tahun, namun karena dibatalkan, maka masa jabatan pimpinan DPD kembali menjadi 5 tahun, sesuai Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2014.
Rangkap Jabatan dan Konflik Kepentingan
Sekjen DPD RI Sudarsono Hardjosoekarto mengimbau masyarakat agar tidak perlu khawatir mengenai masalah rangkap jabatan yang dilakukan OSO. Ia menegaskan, tidak ada duplikasi terkait anggaran bagi OSO di DPD maupun di MPR.
“Kami kesekjenan DPD dan kesekjenan MPR sudah duduk bersama untuk memetakan mana yang jadi bagian pengeluaran DPD dan mana pengeluaran MPR. Jadi tidak ada duplikasi. Jadi dalam konteks pengelolaan dan penggunaan APBN, Ketua DPD yang sekaligus Wakil Ketua MPR, tidak perlu dikhawatirkan,” kata Sudarsono, Senin (22/5).
Rangkap jabatan yang dilakukan pejabat kementerian dan pejabat lembaga negara setingkat kementerian atau anggota dewan, memang telah menuai protes di kalangan masyarakat. Pejabat negara yang dipercaya memegang jabatannya semata untuk kepentingan publik, nyatanya tidak membatasi aktivitasnya dalam ruang publik pada kewenangan yang melekat pada jabatannya. Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) Prof Rhenald Kasali mengatakan, legislator atau wakil rakyat yang merangkap jabatan akan menimbulkan konflik kepentingan dan ketidakpercayaan masyarakat luas terhadap DPR.
Rhenald mengatakan, rangkap jabatan tersebut juga digunakan untuk menekan dan memanfaatkan hubungan dengan eksekutif, sehingga menimbulkan praktik korupsi terselubung.
Kritik juga datang dari Pengajar Hukum Ketatanegaraan Fakultas Hukum UI, Fajri Nursyamsi. Ia mengatakan, rangkap jabatan konteksnya merupakan pelanggaran etika. Rangkap jabatan yang dilakukan Aparatur Sipil Negara bisa jadi melanggar norma hukum, namun batasannya limitatif seperti yang diatur dalam Pasal 23 UU No.39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Menurut Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada, Oce Madril mencatat masalah lainnya yang pasti terjadi akibat rangkap jabatan. Yaitu kesempatan untuk korupsi. Selain itu, rangkap jabatan OSO juga bertentangan dengan tiga undang-undang, yaitu UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3); dan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administari Pemerintahan.
Berdasarkan UU No 7 Tahun 2006, Indonesia telah meratifikasi United Nation Convention Anti-Corruption (UNCAC) di mana satu pasalnya adalah penanganan konflik kepentingan sebagai langkah pemberantasan korupsi. Namun pembahasan atau kajian mengenai konflik kepentingan dan dampaknya terhadap tindak pidana korupsi ini, masih sangat sedikit.
Pejabat publik yang banyak melakukan rangkap jabatan terdapat di tubuh DPR. Hasil kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dilansir 1 Oktober 2015 lalu menyebutkan, konflik kepentingan berpotensi terjadi pada DPR periode 2014-2019. Dari 560 anggota DPR, sebanyak 293 orang (52 %) memiliki latar belakang pengusaha.
Aktivitas bisnis anggota DPR, memiliki potensi konflik kepentingan dengan kewenangan yang mereka miliki. Setidaknya ada tiga komisi DPR yang rawan potensi konflik kepentingan dengan aktivitas bisnis anggotanya, yaitu Komisi V yang membidangi infrastruktur dan perhubungan, Komisi VI yang membidangi perdagangan, perindustrian dan investasi, serta Komisi VII yang membidangi energi sumber daya mineral dan lingkungan hidup.
Maraknya laporan rangkap jabatan membuat Pimpinan Ombudsman Laode Ida mendesak dilakukannya revisi UU ASN. Laode menilai, meski telah ada aturannya, namun ketika ada pergantian kepala daerah, masalah ini kerap terulang kembali.
Perlunya Ketegasan Dari Pemerintah
Tuntutan pejabat publik untuk menghindarkan diri dari konflik kepentingan, secara khusus yang menyangkut rangkap jabatan, sebenarnya juga merupakan bagian dari etika pemerintahan. Jika peraturan perundang-undangan tidak mengatur suatu hal boleh yang tidak boleh/pantas dan tidak pantasnya suatu perbuatan dan/atau keputusan pejabat publik, biasanya asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) dan etika pemerintahan dijadikan sebagai pedoman.
Oleh karena itu, di beberapa negara upaya untuk menangani konflik kepentingan – termasuk rangkap jabatan, tidak saja diatur dalam peraturan perundang-undangan tetapi juga dalam kode etik. Jika hanya didasarkan pada peraturan perundang-undangan, jawaban yang mungkin diberikan adalah tidak ada ketentuan yang melarang rangkap jabatan di dalam Undang-Undang No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Lemahnya pengawasan pemerintah pusat, membuat praktek rangkap jabatan ini menjadi rahasia umum yang pada akhirnya dimaklumi. Namun apakah masalah ini akan tetap dibiarkan begitu saja? Mampukah Pemerintah Indonesia mengatasi problematika rangkap jabatan tersebut ke depannya? (A15)