PP dan Wiji yang Medeni

PP dan Wiji yang Medeni

9 May 2017, 17:46

PinterPolitik.com
Senin (8/5) siang, ormas Pemuda Pancasila membubarkan paksa pameran seni bertajuk Tribute to Wiji Thukul: Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa yang berlangsung di kantor Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Bantul, Yogyakarta.
Pameran ini menampilkan lukisan-lukisan karya Andreas Iswinarto. Pada lukisannya tersebut, Andreas mengapresiasi puisi-puisi Wiji Thukul. Pameran yang dijadwalkan 8-11 Mei 2017 ini bakal diisi juga dengan diskusi seputar Hari Kebebasan Pers 2017.

Di hari-H, pameran rencananya bakal dibuka pukul 12.00. Sayangnya, belum sampai dibuka, sekitar pukul 10.00, intel kepolisian datang bertanya perihal acara. Kemudian pada pukul 12.30 segerombolan anggota Pemuda Pancasila (PP) dan intel kepolisian berkumpul di depan lokasi. Lalu pada pukul 14.00, dua puluh anggota PP masuk ke PUSHAM UII bertanya soal ijin acara. Lima menit kemudian, anggota PP tersebut mencopot semua lukisan, poster, dan print-out puisi-puisi Wiji Thukul.
Menurut rilis yang dikeluarkan penyelenggara, ada 5 poster dan lebih dari 5 print-out puisi-puisi karya Wiji Thukul yang anggota PP bawa. Anggota PP juga merusak poster dan print-out puisi-puisi yang dipajang di ruang pameran. Selain itu, anggota PP juga mencekik Andreas Iswinarto dan menonjok kepala juru bicara PUSHAM UII Guntur.
Saat kejadian berlangsung, pihak kepolisian berada di lokasi tetapi membiarkan tindak kekerasan yang dilakukan anggota PP tersebut.
Menurut keterangan detik.com, Ketua Majelis Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila DIY Faried Jayen mengakui, pihaknya lah yang membubarkan acara ini. “Kami indikasikan acara ini berbalut gerakan anak turun komunis. Dengan paham ini, kami bukannya tidak boleh. Tapi kami ingatkan ada izin, tidak ada izin juga dari polisi. Saya intoleransi dengan komunis dan separatis. Gerakan-gerakan ini kan mengarah ke paham PKI,” kata Faried. Ihwal izin, Guntur menjelaskan bahwa ini acara lembaga, tidak perlu ada izin.Andreas Iswinarto menerangkan, pameran ini bertujuan untuk mengenang Wiji Thukul sebagai penyair dan aktivis buruh. Tahun ini juga pada bulan Mei merupakan momentum 19 tahun reformasi dan hilangnya Wiji Thukul. Sebelum di Jogja, Andreas juga telah menggelar pameran serupa di Semarang. Di Semarang, pameran berlangsung sampai selesai meskipun sempat diancam oleh ormas-ormas setempat.

Terkait kejadian ini, Guntur mengungkapkan bahwa ini adalah pelanggaran kebebasan berekspresi. “Tidak ada lembaga atau personal apapun yang bisa mengusir, membubarkan acara secara sewenang-wenang. Aparat negara juga tidak cukup bisa melindungi pameran yang dilaksanakan PUSHAM UII,” ujar Guntur. Guntur menambahkan, penyelenggara sepakat melapor ke Polda terkait insiden tersebut. “Kita belum tahu apakah masih akan melanjutkan pameran atau tidak. Ini masih kumpul tapi kami akan melapor ke Polda DIY. Kami merasa terintimidasi karena ada ancaman kekerasan dan yang lainnya,” lanjutnya.
Pembubaran acara-acara yang dicap “negatif” oleh ormas-ormas tertentu bukan hal yang pertama terjadi di Kota Pelajar. April tahun lalu, polisi dan ormas Forum Umat Islam (FUI) dan Front Jihad Islam (FJI) membubarkan acara Lady Fast yang diselenggarakan di ruang seni alternatif, Survive Garage, Jalan Bugisan, Yogyakarta. Acara Lady Fast dituduh “komunis”. Para pembubar acara juga melontarkan kata-kata seperti “Perempuan enggak benar, merusak, menodai, dan sampah!”

Ormas yang sama juga turut membubarkan kegiatan pesantren waria di Pesantren Al-Fatah, Yogyakarta, pada Februari 2016.
Takut Diamuk Warga, Pesantren Waria Akhirnya Bubar ! https://t.co/SP7uxFFs12
— ATJEHCYBER (@atjehcyber) February 29, 2016

Acara peringatan Hari Kebebasan Pers Internasional 2016 yang diselanggarakan Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta juga mengalami hal serupa. Acara tersebut dibubarkan oleh polisi. Polisi beralasan, acara yang disertai dengan pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta” berpotensi menimbulkan konflik.
Uniknya, di Kota Gudeg itu pula, pekan depan, Sitok Srengenge, tersangka atas kasus pemerkosaan terhadap RW di tahun 2014, adem ayem saja menyelenggarakan pameran seni. Kasus Sitok sudah menyeruak sejak 2013, namun hingga saat ini tiada penanganan serius dari pihak berwenang. RW mengalami teror, dan berujung pada pemerkosaan disertai intimidasi oleh Sitok. Sebagai penyintas, RW telah berulang kali mengikuti proses persidangan dan pemeriksaan yang melelahkan. Di tahun 2015, ia bahkan telah mengirim surat terbuka untuk (saat itu) Menkopolkam Luhut Panjaitan. Namun, Sitok tetap bisa kabur dengan berlindung di balik mekanisme legal. Sitok pun bebas berkeliaran, membuat puisi dan membikin pameran. Pameran yang bertajuk Srengenge itu akan diadakan di Langit Art Space dan bakal dibuka oleh Goenawan Mohammad.
Wiji yang Hilang dan Janji Jokowi
Bulan Agustus tahun ’82, Wiji Thukul datang ke sebuah kampung di Solo. Dia bermaksud memenuhi undangan perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh panitia, dia diminta membacakan puisi. Malam hari, di atas panggung yang gemerlap dekorasi khas kampung itu Wiji Thukul membaca sebuah puisi pendek berjudul Kemerdekaan, bunyinya:

Kemerdekaan adalah nasi
Dimakan jadi tai

Puisinya pendek, hanya satu bait yang terdiri dari dua baris. Puisi ini pun dia buat secara spontan.
“Tapi puisinya memang medeni [menakutkan],” ujar Wiji dalam wawancara yang dimuat di Suara Independen No. 5, Oktober-November 1995.
Puisi pendek itu membuat geger. “Cuma begitu. Singkat sekali. Tapi apa yang terjadi? Paginya, semua panitia dipanggil ke kelurahan. Ketika puisi itu saya bacakan, saya lihat orang betul-betul menikmati kekurangajaran saya. Saya mendengar komentar dari mereka, ‘Ya wis, ra apa-apa. Pisan-pisan lurah ya digawe bingung [Ya sudah, tidak apa-apa. Sekali-kali Lurah dibuat bingung],” ungkap Wiji.
Semenjak SMP, pria kelahiran 23 Agustus 1963 itu aktif menulis puisi dan bermain teater. Dia mulai membaca puisi bukan hanya di gedung-gedung kesenian atau kampus, namun juga di bus kota, kampung-kampung bahkan di aksi-aksi massa.

Wiji bersama kawan-kawannya membangun kelompok kesenian bernama Sanggar Suka Banjir. Kelompok ini, dalam pentasnya, mencoba mengekspresikan masalah-masalah real rakyat. Menurut penyair dan pegiat sastra Afrizal Malna, kemampuan Wiji Thukul yang mungkin tidak dimiliki penyair lain adalah dia bisa merekam aktor-aktor di sekitarnya sebagai tetangga, kawan, orangtua, kekasih, untuk mengkonstruksi bagaimana buruh melihat realitas dan kekuatan di sekitarnya.
“Sebagai puisi protes, puisi-puisi Wiji tidak sama dengan puisi-puisi protes pada umumnya, terutama puisi-puisi Rendra yang banyak dianggap mewakili puisi-puisi protes. Puisi-puisi protes yang dibawa Rendra merupakan puisi dari mata kedua. Puisi di sini lebih menempati posisi kesaksian. Sementara puisi-puisi Wiji datang dari tubuh-biografisnya sendiri sebagai buruh dan hidup dalam bahasa kelas bawah. Puisi tidak digunakan sebagai puitika untuk menyaring tubuh-biografis maupun bahasa-biografisnya. Tekstur bahasa dari dunia sehari-hari ikut terangkut ke dalam puisi-puisinya, menghasilkan pesona baru,” tulis Afrizal Malna dalam artikelnya Wiji Thukul, Mata Sejarah dalam Budaya Bisu.
Ketika meledak peristiwa 27 Juli 1996 dan partai yang ikut didirikannya, Partai Rakyat Demokratik (PRD), dibubarkan paksa dan semua anggotanya menjadi buronan, Wiji pun berpindah-pindah kota untuk menyelamatkan diri. Dari lokasi sembunyi, Wiji menulis sebuah puisi berjudul Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa, bunyinya:
Aku bukan artis pembuat berita
Tapi aku memang selalu kabar buruk buat penguasa
Puisiku bukan puisi
Tapi kata-kata gelap
Yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan
Ia tak mati-mati, meski bola mataku diganti
Ia tak mati-mati, meski bercerai dengan rumah
Ditusuk-tusuk sepi, ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka
Kata-kata itu selalu menagih
Padaku ia selalu berkata, kau masih hidup
Aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa
Pada 24 Maret 2000, Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menerima laporan dari keluarga Wiji Thukul. Keluarga menyatakan, Wiji telah menghilang. Menurut penelurusan KontraS, Wiji terakhir terdeteksi sekitar Maret-April 1998. Wiji sempat makan bakso bersama-sama di sekitar by-pass Jalan Pemuda Jakarta.
Hilangnya Wiji Thukul pada sekitar Maret 1998 diduga kuat berkaitan dengan peningkatan operasi represif yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Saat-saat itu Orde Baru berupaya melakukan pembersihan aktivitas politik yang berlawanan dengan Orde Baru. Operasi pembersihan tersebut hampir merata dilakukan diseluruh wilayah Indonesia. Menurut catatan KontraS, aktivis yang diculik sebanyak 22 orang. Sebanyak 13 orang belum kembali.

Sebelum menjadi presiden, Joko Widodo menyatakan, baik hidup atau meninggal dunia, kejelasan nasib Wiji Thukul harus menjadi perhatian pemerintah. Seperti terlansir dw.com, saat berkunjung ke Eropa, April 2016, Jokowi mengatakan, pemerintah masih mendalami kasus pelanggaran HAM berat, termasuk di antaranya penghilangan aktivis 1997-1998.
Januari silam, kisah Wiji Thukul bersembunyi dari kejaran Orde Baru diangkat ke layar lebar lewat film berjudul Istirahatlah Kata-kata. Dalam film ini Wiji Thukul diperankan oleh Gunawan Maryanto, sedangkan Marissa Anita memerankan istri Wiji Thukul, Sipon. Film yang disutradari Yosep Anggi Noen ini mendapat sambutan positif dari masyarakat.
Wiji Thukul sudah “pergi”. Raganya tiada lagi memberi kabar kepada keluarga dan kawan-kawannya. Tapi wiji perlawanan terus ditanam dan semangatnya terus thukul direplikasi, dan suara Wiji masih sangar terdengar,
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
(Berbagai Sumber/H31)

Partai

Institusi

K / L

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Negara

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi