Refleksi Jelang Pilkada Serentak 2024

16 November 2024, 10:00

“The elections are run by the same industries that sell toothpaste on television”. (Noam Chomsky)
SECARA teknis, pemilihan memang tak ubahnya “gawean” industri yang menggunakan iklan sebagai instrumen untuk menarik pembeli.
Toh, memang para kandidat di dalam pemilihan berjuang untuk populer dulu, layaknya produk pasta gigi atau minuman dalam kemasan botol, sebelum bisa diterima publik (acceptable), lalu dicoblos (electable).
Di dalam proses mencapai populer itu, para kandidat memang menggunakan prinsip-prinsip humas dan periklanan, kerap disebut sebagai “political marketing”, yakni menjual “selling point”, menutup-nutupi kekurangan, melakukan “black campaign” terhadap produk saingan dari industri yang sama, dan menjanjikan segala hal yang kadang sulit diterima akal sehat, persis seperti iklan-iklan yang hiperbolik di ruang publik.
Oleh karena itu, pelan-pelan sejak 20 tahun ke belakang kita pun mulai melihat pemilihan di Indonesia adalah buah dari “industri politik”, yang membutuhkan investasi besar, strategi pemasaran mumpuni, dan tim humas dan periklanan yang handal.
Boleh jadi perbedaannya hanya ada pada tataran idealitas, bukan realitas. Idealnya, pemilihan adalah realisasi kedaulatan rakyat, yang dioperasionalisasikan secara demokratis, dengan konsep “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.

Namun, realitasnya tentu tidaklah demikian. Hari ini, hanya orang yang bermimpi di siang bolong saja yang masih berani mengatakan bahwa pemilihan adalah dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat.
Hanya faktanya, suaranya memang dari rakyat, dijalankan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan organisasi politik di bawah supervisi pemerintahan, dan diperuntukkan entah untuk siapa setelah pemilihan, hanya Tuhan dan rumput yang bergoyang saja yang mengetahuinya.
Jika idealitas itu terjadi selama ini, maka Indonesia tentu sudah maju. Sesederhana itu saja logikanya.
Begitulah adanya. Boleh jadi setelah proses tersebut, pasta gigi sebagai analogi dari Noam Chomsky di atas, akan jauh lebih terasa manfaatnya ketimbang pemimpin terpilih, karena memang peruntukannya sangat jelas, yakni agar gigi bersih dan sehat, bahkan mengkilat.
Sementara “pasta gigi berupa pemimpin terpilih”, boleh jadi berujung tragis yang membuat gigi dan lidah kita kelelahan dalam menghitung dosa-dosanya setelah menjabat, terlepas menjabatnya lima tahun atau sepuluh tahun.
Logika dan analogi yang sama juga berlaku bagi pemilihan kepala daerah (Pilkada), pemilihan di tingkat provinsi dan lokal.
Mungkin dinamikanya tidak terlalu progresif dibanding pemilihan di tingkat nasional. Apalagi di daerah-daerah yang jauh dari pengaruh pusat.
Jualan pasta giginya terkadang masih sangat konvensional, spanduk-spanduk dan billboard bertebaran sepanjang jalan di daerah.
Saat calon kepala daerahnya diminta wawancara oleh media, mereka malah minta waktu lama untuk mengonfirmasi, karena bingung mau menyampaikan apa.

Tokoh

Partai

Institusi

K / L

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Provinsi

Negara

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi