Dalam catatan tahun 2023, KPA mengungkapkan bahwa antara 2015 hingga 2023, telah terjadi 2.939 konflik agraria yang mencakup 6,3 juta hektar lahan dan melibatkan 1,759 juta keluarga sebagai korban. Realitas ini menjadi cermin suram dari kebijakan yang lebih mengutamakan kepentingan modal dibandingkan kesejahteraan rakyat. Tahun ini, di tengah masifnya pelaksanaan proyek-proyek strategis, potensi eskalasi konflik agraria diprediksi justru semakin tinggi.Dalam sejarahnya, UUPA 1960 dirancang untuk menjawab kebutuhan mendesak atas keadilan agraria pascakemerdekaan. Para pendiri bangsa, seperti Mohammad Hatta, menekankan bahwa tanah adalah alat produksi yang harus digunakan untuk kemakmuran bersama, bukan menjadi komoditas yang dikuasai segelintir pihak. Pemikiran ini selaras dengan prinsip sosialisme dan nasionalisme yang mengakar kuat pada masa itu. Hatta secara eksplisit menyatakan bahwa penguasaan tanah secara besar-besaran oleh individu atau korporasi bertentangan dengan prinsip keadilan sosial (Suhendar & Kasim, 1996).
Pada masa pembentukan UUPA, pemerintah juga berupaya memperjelas hubungan antara negara dan tanah, dengan mengadopsi asas mono-dualisme yang telah disepakati oleh para ahli hukum di Indonesia. Asas ini menolak teori domein yang diperkenalkan oleh Thomas Raffles yang menganggap negara sebagai pemilik mutlak atas tanah (Simarmata, 2002). Sebaliknya, asas mono-dualisme memandang negara sebagai penerima mandat dari rakyat untuk mengelola segala hal yang berkaitan dengan tanah. Mandat ini dikenal sebagai Hak Menguasai Negara (HMN), yang bertujuan untuk memastikan pengelolaan tanah sesuai dengan kepentingan bersama melalui representasi rakyat dalam pemerintahan (Bakri, 2007).Namun, asas ini juga menjadi akar dari banyak konflik agraria di Indonesia. Di satu sisi, negara sering kali gagal memenuhi mandatnya untuk membantu rakyat dalam memenuhi hak atas tanah, terutama dalam menyediakan pengakuan dan perlindungan hukum terhadap kepemilikan tanah masyarakat. Di sisi lain, ketiadaan bukti kepemilikan formal sering digunakan oleh negara sebagai justifikasi untuk mengklaim tanah rakyat atas nama pembangunan atau proyek strategis. Ketimpangan dalam pelaksanaan HMN ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan, tetapi juga memperburuk konflik agraria yang terus terjadi hingga saat ini.Arah kebijakan pertanahan juga bergeser drastis selama era Orde Baru. Fokus pemerintah kala itu adalah membangun tertib administrasi pertanahan melalui pendekatan legalistik, seperti pembentukan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kebijakan ini lebih berorientasi pada land management/manajemen lahan ketimbang menyelesaikan ketimpangan struktur agraria yang akut. Bahkan, pada dekade 1980-an hingga 1990-an, alih fungsi tanah pertanian untuk kepentingan non pertanian semakin marak terjadi, mendorong komersialisasi tanah dan mengabaikan fungsi sosialnya (Suhendar & Kasim, 1996). Tanah tidak lagi dipandang sebagai sumber kehidupan bagi rakyat, melainkan semata-mata sebagai aset ekonomi. Perspektif ekonomi terhadap tanah berkembang dengan cepat. Tanah kemudian dilihat hanya sebagai komoditas. Transformasi ini mencerminkan pergeseran paradigma dalam pengelolaan tanah, dari yang semula berfokus pada kepentingan sosial dan kesejahteraan bersama, menjadi lebih terarah pada kepentingan ekonomi dan komersialisasi.Rencana revisi UUPA 1960 saat ini semakin mengukuhkan orientasi kapitalistik dalam kebijakan pertanahan. Klausul-klausul yang diajukan menitikberatkan pada kemudahan alih fungsi tanah untuk investasi dan pembangunan proyek besar. Dalam konteks krisis iklim global, proyek-proyek yang diklaim sebagai solusi, seperti pengembangan energi terbarukan dan proyek transisi energi lainnya, sering kali justru mengorbankan hak-hak rakyat atas tanah. Masyarakat adat, petani kecil, dan komunitas pedesaan yang bergantung pada tanah sebagai sumber penghidupan menjadi pihak yang paling rentan terdampak. Tanah dialihfungsikan sebagai lahan untuk proyek dan mengesampingkan hubungan mereka dengan tanahnya. Beragam kebijakan diterbitkan untuk mempermudah terputusnya hubungan antara masyarakat dengan tanah. Atas nama pembangunan, kebijakan-kebijakan ini memberikan peluang bagi Negara untuk mengklaim tanah milik rakyat sebagai tanah milik Negara (Siti Maemunah, 2017). Sejarah reformasi agraria di negara lain memberikan pelajaran penting. Zimbabwe menghadapi dampak buruk akibat reformasi lahan yang dilakukan secara tergesa-gesa. Redistribusi tanah tanpa kerangka hukum dan institusi yang kuat justru memicu ketidakstabilan ekonomi dan sosial (Madhuku, 2004). Demikian pula di Vietnam, reformasi tanah meningkatkan ketimpangan sosial dan mendorong komersialisasi yang tidak terkendali (Vien, 2011). Indonesia seharusnya belajar dari pengalaman ini, terutama untuk memastikan bahwa kebijakan agraria tidak hanya melayani kepentingan segelintir pihak, tetapi juga mengarah pada keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.Tanah, Identitas, dan Masyarakat AdatRevisi UUPA 1960 juga dikhawatirkan semakin memarjinalkan masyarakat adat, yang selama ini mengelola tanah dengan kearifan lokal secara turun-temurun. Dalam perspektif masyarakat adat, tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan bagian integral dari identitas, spiritualitas, dan keberlanjutan komunitas mereka. Sistem pengelolaan tanah adat mencerminkan prinsip keadilan ekologis dan keberlanjutan yang sangat relevan di tengah krisis iklim saat ini. Sayangnya, hak-hak masyarakat adat atas tanah sering kali terabaikan karena tidak diakui dalam sistem hukum formal. Proses administrasi pertanahan yang diusulkan dalam revisi UUPA berpotensi memperparah kondisi ini.Dalam pandangan hukum adat, tanah dipandang sebagai entitas yang memiliki jiwa dan berhubungan erat dengan kehidupan manusia, termasuk unsur alam lainnya seperti air, udara, dan kekayaan hayati (Sumardjono, 2016). Hubungan holistik ini memberikan landasan filosofis bahwa tanah tidak semata-mata berfungsi sebagai alat produksi, tetapi juga sebagai penopang kehidupan yang harmonis antara manusia dan lingkungan.Narasi DPR dan pemerintah yang menyebut revisi UUPA sebagai upaya menyesuaikan regulasi dengan kebutuhan zaman menyembunyikan risiko besar di baliknya. Dengan dalih modernisasi administrasi pertanahan, revisi ini berpotensi menjadi alat legitimasi bagi pengambilalihan tanah rakyat, termasuk tanah-tanah adat, untuk mendukung proyek-proyek ambisius pemerintah. Ironisnya, langkah ini sering kali dilakukan tanpa memastikan adanya kompensasi yang adil atau penghormatan terhadap hak-hak masyarakat yang telah lama tinggal dan bergantung pada lahan tersebut.Revisi UUPA: Perubahan Paradigma dan Penataan Ulang Hubungan Negara dan TanahRevisi UUPA seharusnya menjadi momentum untuk menata ulang secara tegas hubungan antara negara dan tanah. Terdapat tiga hubungan utama yang memerlukan kejelasan dan keseimbangan: hubungan antara negara dan tanah, yang melahirkan Hak Menguasai Negara (HMN); hubungan antara masyarakat hukum adat dan tanah ulayatnya, yang melahirkan hak ulayat; serta hubungan antara individu dengan tanah, yang melahirkan hak perseorangan atas tanah. Idealnya, ketiga hubungan ini dapat terjalin secara harmonis dan seimbang, mencerminkan prinsip keadilan agraria (Bakri, 2007). Namun, realitas menunjukkan bahwa dominasi kekuasaan negara atas HMN yang tidak memiliki batasan cakupan yang jelas sering kali menjadi sumber pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat dan individu. Tanah ulayat masyarakat adat dirampas, sementara hak perseorangan terpinggirkan atas nama pembangunan atau proyek ambisius. Untuk menghindari semakin masifnya pelanggaran ini, revisi UUPA harus mencakup pembatasan yang tegas terhadap definisi, cakupan, dan kewenangan HMN. Negara harus diposisikan sebagai pengelola amanah rakyat, bukan sebagai penguasa mutlak atas tanah, sehingga hak-hak masyarakat adat dan individu dapat dilindungi secara proporsional dan berkeadilan.Revisi UUPA 1960 juga harus berpegang pada prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan sebagai landasan utama. Kebijakan pertanahan yang hanya mementingkan kemudahan investasi berisiko mengorbankan keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan rakyat. Tanah juga harus dimaknai pula secara sosial dan tidak hanya sebagai ‘barang’ yang dapat dimodifikasi dan sebatas dilihat dari sisi ekonomis semata. Selain itu, revisi ini harus memperluas definisi agraria untuk mencakup pengelolaan seluruh sumber daya alam, seperti air, ruang angkasa, dan kekayaan hayati. Pendekatan holistik ini penting untuk menghadapi tantangan perubahan iklim dan memastikan bahwa kebijakan agraria tidak hanya berfokus pada aspek ekonomi, tetapi juga memperhitungkan aspek sosial dan ekologis.Semangat UUPA 1960 adalah menciptakan keadilan sosial dalam penguasaan dan penggunaan tanah. Revisi undang-undang ini seharusnya menjadi peluang untuk memperbaiki ketimpangan agraria yang telah berlangsung selama puluhan tahun, bukan justru memperburuknya. Pemerintah perlu memperkuat kerangka hukum dan institusi yang menjamin distribusi tanah yang adil dan berkelanjutan.Pengalaman reforma agraria di berbagai negara menunjukkan bahwa distribusi tanah yang adil dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, revisi UUPA 1960 harus dirancang dengan pendekatan partisipatif, melibatkan masyarakat adat, petani, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil. Hanya dengan demikian, kebijakan agraria dapat menjadi alat untuk mencapai kesejahteraan bersama, bukan sekadar instrumen kapitalistik yang menguntungkan segelintir pihak.Refleksi akhir tahun ini seharusnya menjadi momentum bagi para pemangku kepentingan untuk menimbang kembali arah kebijakan agraria nasional. Alih-alih melanggengkan ketimpangan dan mengorbankan masyarakat kecil, pemerintah dan DPR semestinya memastikan bahwa revisi UUPA menjadi alat untuk memperkuat keadilan agraria, memperjelas hubungan antara negara dan tanah serta rakyatnya, melindungi hak-hak rakyat, dan menjaga keberlanjutan lingkungan. Jika tidak, maka revisi ini hanya akan menjadi babak baru dari ketimpangan struktural yang menghantui sejarah panjang agraria Indonesia.Tanah adalah fondasi kehidupan. Jika pengelolaannya tidak berpihak pada rakyat, maka yang dipertaruhkan bukan hanya hak-hak individu, tetapi juga masa depan bangsa dan kelestarian alam Indonesia.
*Penulis adalah Peneliti di SHEEP Indonesia Institute, Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM.