Program minum susu bernama Revolusi Putih yang digagas Prabowo Subianto kini ingin coba diterapkan di Jakarta. Melalui adiknya, Hashim Djojohadikusumo, Prabowo menyampaikan keinginannya itu kepada Anies-Sandi.
PinterPolitik.com
Wakil Gubernur Sandiaga Uno mengatakan bahwa Pemprov DKI akan mengusahakan agar pemenuhan gizi masyarakat Jakarta dapat dilakukan. Salah satu caranya dengan mengadopsi kebijakan minum susu pesanan Prabowo Subianto. Sandi juga mengatakan, mungkin akan membarengi dengan kebijakan makan kacang hijau.
Di lain kesempatan, menurut Gubernur Anies Baswedan, akan sangat kecil kemungkinan kebijakan ini bisa masuk di dalam APBD 2018. Karenanya, gagasan baik ini perlu dibiayai dari sumber lain, seperti dana dari Corporate Social Responsibility (CSR) maupun patungan warga yang dibantu Pemprov, untuk sementara waktu.
#Liputan6SCTV Sandiaga Uno Kaji Program Revolusi Putih Rekomendasi Prabowohttps://t.co/Ls0LsYv3tO pic.twitter.com/WCrenhNnO0
— SCTV (@SCTV_) October 30, 2017
Sebelumnya, sempat ada tanggapan negatif dari Menteri Kesehatan Nila Moeloek dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Keduanya mempertanyakan urgensi kebijakan ini, terlebih 80 persen susu yang dikonsumsi di dalam negeri masih harus diimpor. Menteri Susi bahkan menyatakan lebih baik makan ikan karena lebih sehat dan melimpah di dalam negeri, ketimbang susu.
Namun menurut Fadli Zon, tak masuk akal bila membandingkan konsumsi ikan dengan konsumsi susu, karena terdapat perbedaan nutrisi yang terkandung di dalamnya. Fadli juga menegaskan, rendahnya konsumsi susu di Indonesia berdampak langsung pada masalah kesehatan anak-anak,terutama gizi buruk.
Sebenarnya, gagasan Revolusi Putih telah beberapa kali dilontarkan Prabowo. Ide ini telah digagas sejak tahun 2008, bersamaan dengan berdirinya Partai Gerindra dan berangkat dari kecemasan Prabowo akan rendahnya gizi anak-anak bangsa. Dalam setiap kampanye politik, ia selalu membawa Revolusi Putih sebagai materi kampanyenya.
Ambisi Tak Henti Prabowo
Prabowo telah lama mencetuskan ide kebijakan ini. Pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009, ia turut membawa gagasan ini bersama dengan pasangannya, Megawati Soekarnoputri. Saat itu, pasangan MegaPro bersama-sama menggunakan mesin partai PDIP dan Gerindra, mengampanyekan pentingnya minum susu sebagai program nasional.Walaupun kalah, namun gagasan ini tetap menjadi andalan bagi Partai Gerindra. Mereka bahkan memasukkannya dalam 8 program aksi partai yang dirancang melalui program aksi kesehatan sejak 2010. Konsistensi ini, sedikit banyak merupakan cerminan keseriusan Prabowo dan Gerindra akan program ini.
Memasuki era Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI 2012 lalu, Gerindra sempat memanfaatkan dukungannya pada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan mendorong Revolusi Putih pada kampanye di ibukota. Namun Jokowi-Ahok tidak pernah mengadopsi kebijakan tersebut ke dalam kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI pada periode pemerintahan mereka.
“If a child in its first thousand days — from conception to two years old — does not have adequate nutrition, the damage is irreversible.”
-Josette Sheeran-
Pada 2013, bertepatan dengan Pilkada serentak di ratusan kota/kabupaten, Gerindra kembali mengampanyekan program ini secara masif di berbagai daerah. Saat Gerindra sukses menang di 45 kota/kabupaten, mereka pun mulai aktif menjalankan Revolusi Putih di wilayah-wilayah kekuasaannya tersebut. Salah satunya di Jawa Barat di mana Gerindra aktif dan konsisten dalam membagikan susu kepada anak-anak hingga kini.
Setelah sukses menjalankannya secara sporadis di beberapa daerah, gagasan ini semakin santer di setiap kampanye Prabowo yang kembali mencalonkan diri sebagai calon presiden pada Pemilu 2014. Kala itu, Prabowo cukup populer berkat idealismenya ini, terutama karena disokong oleh Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), organisasi yang ia pimpin saat itu.
Dalam kontestasinya melawan Jokowi yang mengusung ‘Revolusi Mental’, Prabowo menggunakan istilah ‘Revolusi Putih’, sehingga muncul sebagai rival yang sepadan. Simbolisme garuda dan kehidupan pedesaan pun turut divisualisasikan sebagai kekuatan politik Prabowo, seperti yang tergambar pada video berikut:
Walau harus menerima kekalahan kembali, namun gagasan Revolusi Putih tidak meredup hingga diusung kembali pada Pilkada Serentak 2017. Berkat kemenangan Gerindra di DKI Jakarta melalui kadernya, Sandiaga Uno, ide kebijakan ini ingin kembali dicanangkan, kali ini melalui lobi adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo.Banyak nilai-nilai kemaslahatan rakyat yang dikandung dari ide kebijakan ini. Prabowo sendiri menyebut, ia begitu prihatin dengan kondisi gizi buruk anak-anak yang salah satunya disebabkan oleh konsumsi susu yang rendah. Akan tetapi, lawan politik Prabowo mengaitkan revolusi ini dengan pabrikan susu yang dimiliki oleh keluarga Prabowo saat ini dan kabarnya, diurus oleh kader Gerindra yang memiliki keterkaitan dengan kebijakan ini.
Benarkah isu tersebut? Apakah Revolusi Putih hanya sinyal bisnis-politik Prabowo semata? Atau Prabowo tengah menggunakan momentum kemenangan ini, untuk memberikan sinyal politik Revolusi Putih agar dapat berujung pada kekuasaan Prabowo yang lebih besar lagi?
Sinyal-sinyal Putihnya 2019
Mendengar kata ‘Revolusi Putih’ sulit rasanya memaknai tanpa maksud yang lain. Dalam sejarah dunia Islam, khususnya di negara Iran, pernah terdapat istilah yang serupa, yakni ‘White Revolution’. ‘Revolusi tak berdarah’ ini dilakukan oleh rezim Shah Mohammad Reza Pahlavi dengan tujuan memangkas pengaruh tengkulak tani dan tuan tanah di dalam pemerintahan.
Misi yang mendorong Shah melakukan gerakan ini adalah agar timbul dukungan yang masif dari kalangan buruh tani untuk semakin memperkuat legitimasi politik dinastinya. Ekspansi industri, khususnya di bidang pertanian, ingin dilakukan Shah melalui sentralisasi kekuasaan padanya.
Pada masa itu, Revolusi Putih adalah kampanye yang masif dan konsisten di Iran. Sementara di Indonesia, Revolusi Putih bisa jadi adalah kampanye masif dan konsisten ala Prabowo dengan menggunakan program minum susu nasional tersebut. Mungkinkah Prabowo ingin menanamkan legitimasinya sejak dini, agar dapat berlanjut dan terpilih di 2019 nanti?
Di samping itu, Revolusi Putih juga memiliki pertanda alternatif tersendiri. Seperti yang diketahui, sepanjang bulan November 2016 hingga April 2017, Jakarta begitu panas dengan aksi-aksi bela Islam. Aksi-aksi tersebut, selain dituduh sebagai potensi makar oleh pemerintah, juga disebut sebagai calon ‘Revolusi Putih’ oleh sejumlah pengamat politik.
Belum Pulang, Rizieq Shihab Ancam Revolusi Putih dari Arab https://t.co/UoOR7QyGF8
— CNN Indonesia (@CNNIndonesia) May 22, 2017
Identitas putih-putih yang dikenakan oleh massa Islam menjadi ciri khas tersendiri di mata pengamat. Melalui aksi berjilid yang diklaim ‘super damai’ tersebut, ada kecenderungan kebangkitan kekuatan politik Islam yang tidak hanya berlangsung damai, namun perlahan mampu me-revolusi sistem yang sudah ada.
Mungkinkah Prabowo yang telah mengendarai kekuatan massa ‘putih-putih’ ini pada 2017, ingin memutihkan kembali 2019?
Taktik dan Momentum jadi Satu
Benar, bahwa Prabowo dan Gerindra telah lama berambisi menyehatkan masyarakat Indonesia dengan kebijakan ini. Bila dijalankan dengan terukur dan dengan mekanisme yang jelas, bukan tidak mungkin permasalahan gizi di Jakarta dapat membaik. Tujuan mulia seperti ini tentu tak dapat ditolak.
Akan tetapi, melihat kuasa Prabowo atas massa ‘putih-putih’ satu tahun belakangan, sulit untuk tidak melihatnya sebagai taktik lama bertemu momentum yang tepat. Prabowo yang telah memiliki modal politik awal di sebagian kalangan masyarakat kelas bawah, ingin terus menggunakan kampanye minum susu secara rutin. Taktik ini kemudian dikawinkan dengan momentum kebangkitan politik Islam, kelompok populis jubah putih yang senang turun ke jalan.
Hitung-hitungan Prabowo bisa jadi mulai mengabaikan koalisinya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PKS sendiri, mempertanyakan ambiguitas makna ‘putih’. Apakah yang dimaksud adalah putih bersih dari KKN? Ataukah yang dimaksud ‘putih-putih’ adalah warna PKS? Dilihat-lihat, Gerindra dan PKS sama-sama putih ya warnanya?
Melalui Revolusi Putih, Gerindra kembali bermain sinyal. Apakah ia ingin menanamkan kewajaran pada praktik politik ‘putih-putih’? Atau ingin kembali melawan Revolusi Mental dengan Revolusi Putih di 2019 nanti? (R17)