Abadikini.com, JAKARTA – Kantor Kepresidenan Rusia, Kremlin, merespons kemenangan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat dalam pemilihan umum yang digelar pada 5 November lalu. Tanggapan ini disampaikan langsung oleh Juru Bicara Kremlin, Dmitry Peskov, yang mengisyaratkan sikap hati-hati Rusia dalam menyikapi perubahan kepemimpinan di Washington.
Dalam pernyataannya, Peskov menyampaikan bahwa Moskow akan menilai pemerintahan Trump berdasarkan tindakan konkret yang mampu mengurangi ketegangan yang selama ini meliputi hubungan kedua negara.
Namun, hingga saat ini, belum ada rencana dari Presiden Rusia, Vladimir Putin, untuk mengucapkan selamat langsung kepada Trump, mengingat hubungan bilateral yang masih dipenuhi friksi.
“Kami akan menarik kesimpulan dari tindakan dan pernyataan yang konkret. Untuk saat ini, saya tidak mengetahui adanya rencana Presiden [Putin] untuk memberi ucapan selamat kepada Trump,” kata Peskov, seperti dikutip dari AFP, Kamis (7/11/2024).
Donald Trump telah secara resmi menyatakan dirinya sebagai pemenang dalam Pemilihan Presiden AS 2024. Kandidat dari Partai Republik tersebut meraih kemenangan setelah mengamankan 295 suara elektoral, melampaui batas kemenangan sebesar 270 suara.
Berdasarkan data terakhir dari Associated Press yang diperbarui pada Jumat (8/11/2024) pukul 04.52 WIB, Trump unggul berkat keberhasilannya merebut suara dari negara-negara penentu atau swing states, mengalahkan pesaingnya Kamala Harris yang memperoleh 226 suara.
Kemenangan Trump terjadi di tengah ketegangan yang masih tinggi antara Amerika Serikat dan Rusia akibat konflik bersenjata di Ukraina, di mana AS terus memberikan bantuan militer kepada Kiev. Situasi ini semakin memperuncing hubungan bilateral, bahkan memicu retorika nuklir antara kedua negara besar tersebut.
Dmitry Medvedev, mantan Presiden Rusia sekaligus Wakil Ketua Komisi Pertahanan, sempat menyatakan kekhawatirannya bahwa perang nuklir antara AS dan Rusia bukanlah hal yang mustahil di masa mendatang.
Dengan kemenangan Trump, perhatian dunia kini tertuju pada kebijakan luar negeri AS yang mungkin akan diambil dalam menghadapi situasi geopolitik yang memanas, khususnya terkait konflik yang melibatkan Rusia dan Ukraina.