Semakin Religius, Semakin Menjaga Alam

Semakin Religius, Semakin Menjaga Alam

30 December 2024, 5:12

Harianjogja.com, JOGJA—Saat seseorang menjadi religius, harusnya dia juga semakin menjaga alam dan lingkungan. Menjaga alam sebagai cara manusia beribadah, dan memegang tanggung jawab sebagai khalifah di muka Bumi.Konsepsi eko-teologi, eko-fikih (fiqh al-bi’ah), dan eko-sufisme bermuara pada penemuan entitas ketuhanan yang dilakukan oleh manusia melalui alam. Hal ini terangkum dalam penelitian berjudul Islamic Environmental Conservation: Navigating the Challanges and Demands of Globalization karya Umar Faruq Thohir, Achmad Gunaryo, Agung Suwandaru, serta Raharjo. Penelitian yang terbit pada 2023 tersebut bisa kita akses di jurnal ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin 24.

Dalam beberapa masa ke belakang, banyak muncul masalah-masalah kerusakan alam. Problem kerusakan alam bisa dihubungkan dengan nilai-nilai keagamaan sebagai basis dasar konservasi. Namun banyak pendekatan yang bisa digunakan untuk semakin melihat masalah utamanya. Para peneliti mengklaim kerusakan alam sebagai akibat dari krisis spiritual yang melanda manusia.Untuk menyelesaikan masalah ini, penemuan terhadap basis nilai untuk membangun ulang spiritualitas manusia dalam konteks ekosentrisme dilakukan dalam penelitian ini, menggunakan metode kualitatif dengan analisis konten sebagai alat analisanya.Dalam kesimpulannya, peneliti menuliskan bahwa keseimbangan alam menjadi elemen utama yang menyempurnakan ibadah, penghambaan, dan penyatuan terhadap nilai-nilai ketuhanan. Hal tersebut dapat mengisi ruang spiritualitas manusia. “Sehingga bangunan spiritualitas manusia dibentuk melalui pemanfaatan (al-intifā’), abstraksi nilai ketuhanan (al-i’tibār), dan konservasi (al-iṣlāḥ). Tiga etika lingkungan ini mengkaji perilaku manusia terhadap alam semesta dan menyelami hubungan di antara semua makhluk hidup dalam alam semesta yang luas ini,” tulis dalam penelitian tersebut.Landasan konservasi lingkungan, sebagaimana dijelaskan oleh berbagai kajian tentang narasi Islam, bertumpu pada prinsip yang teguh dalam menempatkan entitas ilahi di puncak hubungan antara manusia dan alam. Dalam konteks ini, Tuhan, sebagai kekuatan tertinggi dan pembimbing dalam perjalanan pengabdian, mempercayakan manusia dengan tanggung jawab mulia untuk melayani sebagai wakil-Nya (khalifah) di Bumi.Representasi ini mencakup atribut pengasuhan dan pengelolaan yang membangun kerangka dasar bagi interaksi manusia dengan alam, yang dianggap sebagai manifestasi nyata dari kehadiran Tuhan (tajalliyyāt). Tindakan yang membimbing manusia menuju penyatuan dengan Tuhan melalui perenungan alam dibentuk dalam prinsip-prinsip hukum Islam, mengambil bentuk pemanfaatan yang bertanggung jawab tanpa menyebabkan kerugian.Tema utama dari tindakan ini berkisar pada perolehan wawasan yang lebih dalam tentang hakikat keilahian, yang menjadikannya sebagai dasar pemikiran di balik pengelolaan manusia. Identifikasi nilai-nilai etika yang membentuk kerangka fundamental untuk merevitalisasi dimensi-dimensi spiritual dicapai melalui analisis konten yang komprehensif, yang secara efektif menghubungkan konsep-konsep kunci dalam eko-teologi, eko-fiqh, dan eko-sufisme.“Konsep sentral ini menyarankan pemenuhan kebutuhan spiritual dengan mengelola alam secara bertanggung jawab dan harmonis,” tulisnya.Indonesia Mengaku Religius Tapi Alamnya RusakBerdasarkan survei dari majalah CEO World, masyarakat Indonesia masuk dalam sepuluh besar negara yang mengaku religius. Di sisi lain, Indonesia berada di lima besar negara dengan pengurangan hutan terbesar di dunia.Dalam surveinya, CEO World memperingkatkan negara yang paling mengaku religius. Somalia menjadi negara yang paling religius di dunia pada 2024, dengan sebanyak 99,8% respondennya menyatakan bahwa mereka merasa religius. Posisi kedua ditempati oleh Nigeria dengan 99,7% responden yang merasa religius. Posisi berikutnya yaitu Bangladesh dengan proporsi 99,5% pada indikator yang sama.“Ada pula sebanyak 99,3% responden di Ethiopia menyatakan dirinya religius. Lalu, responden yang menyatakan hal serupa di Yaman dan Malawi masing-masing sebesar 99,1% dan 99%,” tulis dalam laporan. “Indonesia menempati posisi ketujuh dalam daftar ini lantaran ada 98,7% responden yang merasa religius.”Sebagai kesimpulan, daftar negara yang penduduknya mengaku paling religius tahun 2024 dari posisi satu hingga sepuluh yaitu Somalia, Nigeria, Bangladesh, Ethiopia, Yaman, Malawi, Indonesia, Sri Lanka, Mauritania, dan Djibouti. Sementara untuk posisi terbawah negara paling religius, dari peringkat 138 hingga 148 yaitu Prancis, Finlandia, Inggris, Jepang, Hong Kong, Norwegia, Republik Ceko, Denmark, Swedia, Estonia, dan China.“China menjadi negara yang penduduknya paling sedikit merasa religius, yakni hanya 7%. Di atasnya ada Estonia dan Swedia dengan persentase responden yang merasa religius berturut-turut sebesar 16% dan 17%,” tulisnya.Adapun survei tersebut dilakukan terhadap sekitar 820.000 responden yang tersebar di 148 negara. Menurut CEO World, istilah religius berarti pengabdian yang setia kepada realitas atau ketuhanan yang diakui, serta mengabdi kepada keyakinan atau pelaksanaan agama dengan setia, cermat, dan hati-hati.Religius Tapi Merusak AlamIndonesia cukup menarik dalam mengontekskan antara tingkat religiusitas dan kerusakan alam. Dalam penelitian sebelumnya, orang yang religius harusnya lebih bisa merawat alam. Namun ada semacam anomali, Indonesia yang warganya religius justru masuk dalam lima besar negara dengan pengurangan hutan tropis.Menurut data dari laboratorium GLAD University of Maryland dan Global Forest Watch World Resources Institute, Indonesia masuk dalam posisi keempat sebagai negara yang pengurangan hutan tropisnya terbesar pada 2023. Di Indonesia, sekitar 0,29 juta hectare hutan tropis hilang selama setahun. Sementara posisi teratas yang hutan tropisnya paling banyak hilang yaitu Brazil dengan luas 1,1 juta hectare.Daftar sembilan negara teratas untuk tingkat kehilangan hutan tropis primer berdasarkan luasnya dan 2023 yaitu Brazil, Republik Demokratik Kongo, Bolivia, Indonesia, Peru, Laos, Kamerun, Madagaskar, dan Malaysia.“Brasil dan Kolombia berhasil menurunkan tingkat kehilangan hutan primer, masing-masing sebesar 36% dan 49%. Meskipun penurunannya cukup drastis, tingkat kehilangan hutan primer tropis dunia pada 2023 tidak berubah dalam beberapa tahun terakhir,” tulis dalam laporan.Penurunan tingkat kehilangan hutan yang signifikan di Brasil dan Kolombia berimbang dengan tingginya tingkat kehilangan hutan di Bolivia, Laos, dan Nikaragua, serta peningkatan yang lebih besar di negara lain. Total tingkat kehilangan hutan primer tropis pada 2023 berjumlah 3,7 juta hektare. Ini sama dengan tingkat kehilangan hutan seluas 10 lapangan sepak bola setiap menit.Meskipun jumlah ini mewakili penurunan 9% dari 2022, tingkat kehilangan di 2023 hampir sama dengan tingkat pada 2019 dan 2021. Semua tingkat kehilangan hutan ini menghasilkan emisi karbon dioksida sebesar 2,4 gigaton (Gt) pada 2023, setara dengan hampir setengah emisi bahan bakar fosil tahunan di Amerika Serikat.“Hanya tinggal enam tahun lagi menuju 2030, saat para pemimpin dari 145 negara berjanji untuk menghentikan dan membalikkan tingkat kehilangan hutan. Meski penurunan tingkat kehilangan hutan di Brasil dan Kolombia selaras dengan komitmen itu, jelas sekali bahwa negara lain masih tertinggal dari pemenuhan targetnya,” tulisnya.Apakah Agama Berhubungan dengan Kemakmuran Negara?Dalam sepuluh negara yang penduduknya mengaku religius, nyaris tidak ada negara maju. Adakah hubungan antara tingkat religiusitas dan kemakmuran suatu negara?Dalam survei CEOWORLD tentang negara paling religius 2024 di atas, sepuluh negara teratas yang religius tidak ada negara maju dalam daftarnya. Dalam penelitian lain, yang dilakukan Universitas Bristol pada tahun 2018, menyatakan pada dasarnya tidak ada hubungan langsung antara agama dan kemakmuran suatu negara. Pola yang terlihat justru negara yang cenderung religius lebih tidak makmur dari negara non-religius.Peneliti utama studi dari Universitas Bristol tersebut, Damian Ruck, mengatakan temuannya tidak menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara kurangnya kesalehan dan pembangunan ekonomi. Penelitian yang terbit di jurnal Science Advances ini, menunjukkan juga bahwa kekayaan suatu negara bukanlah penyebab sekularisasi.Ruck beranggapan bahwa sekularisasi mendahului pembangunan ekonomi dan bukan sebaliknya. “Namun kami menduga hubungan tersebut tidak bersifat sebab akibat secara langsung. Kami memperhatikan bahwa sekularisasi hanya akan membawa pada peningkatan pembangunan ekonomi jika disertai dengan penghormatan yang lebih besar terhadap hak-hak individu,” kata Ruck, dikutip dari The Independent.Agar mendapat gambaran hubungan tingkat religiusitas dengan kemakmuran negara, para peneliti menggunakan data sejak 1990. Data berasal European Values ​​Survey dan World Values ​​Survey. Tambahan data dengan menanyakan segala hal mulai dari nilai-nilai keluarga hingga pandangan tentang homoseksualitas.Hak Individu untuk Dorong PerekonomianMasih dalam penelitian yang sama, ada prediksi atau pola yang memperlihatkan apabila toleransi terhadap hak-hak individu akan mendorong pertumbuhan ekonomi dengan lebih baik. Dalam hal pertumbuhan ekonomi, pemenuhan hak-hak individu lebih berpengaruh baik daripada sekularisasi.Hal ini menunjukkan bahwa toleransi adalah pendorong utama keberhasilan suatu masyarakat. Contohnya seperti memberikan perempuan akses terhadap perceraian dan aborsi, telah berdampak pada lebih banyak perempuan yang masuk dalam angkatan kerja selama bertahun-tahun. Namun para peneliti mengakui perlu penelitian lebih lanjut untuk menguji kesimpulan ini.“Seringkali sekularisasi disertai dengan toleransi yang lebih besar terhadap homoseksualitas, aborsi, perceraian, dan lainnya,” kata Ruck. “Tetapi hal ini tidak berarti bahwa negara-negara yang beragama tidak bisa menjadi makmur. Lembaga-lembaga keagamaan perlu menemukan cara mereka sendiri untuk memodernisasi dan menghormati hak-hak individu.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News