Penerimaan negara kembali kendor tahun ini, sehingga berbagai sektor dikenai pajak. Mengapa tak manfaatkan sin tax tembakau saja?
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]B[/dropcap]ukan rahasia lagi jikalau negara kita sedang dikejar-kejar target penerimaan negara. Kebijakan Tax amnesty saja, hingga September 2017 masih menempatkan penerimaan pajak negara dalam kondisi negatif. Target penghasilan negara tahun ini, yang sudah pongah diramalkan, malah meleset sekitar Rp. 100 sampai Rp. 200 triliun.
Menghadapi kondisi itu, seakan wajar melihat pemerintah menelusuri berbagai sektor industri untuk dikenai pajak. Baru-baru ini, pemerintah bahkan mengeluarkan wacana untuk membebani pelaku e-commerce dengan pajak. Tak ketinggalan, wacana pajak kepada penggguna telepon genggam juga menyeruak seiring ‘maklumat’ yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen) melalui Twitter.
Lagi heboh smartphone yang baru rilis ya? Ingat, tambahkan smartphone di kolom harta SPT Tahunan ya. ?#SadarPajak pic.twitter.com/LqpYnaLNgp
— #PajakKitaUntukKita (@DitjenPajakRI) September 14, 2017
Ironisnya, di saat kalang kabut mengejar setoran seperti ini, pemerintah belum ‘sadar’ untuk melihat peluang sin tax. Sin Tax adalah pajak yang dikenakan untuk barang-barang yang tak dikehendaki atau berdampak merusak pada masyarakat, seperti tembakau dan minuman keras.
Barang-barang seperti rokok dan minuman keras memiliki dampak nyata yang merugikan kesehatan di masyarakat. Rokok sudah menjadi senjata pemusnah massal tersendiri karena efek kematian yang membayanginya. Barang-barang yang berbahaya dan mendatangkan kematian itu, seharusnya wajib dikenai pajak yang tinggi yang disebut dengan sin tax. Mengapa disebut sin (dosa)? itu karena mekanisme pembayaran atas ‘dosa’ yang ditimbulkan rokok kepada masyarakat harus setara dengan kerugiannya.
Di tahun 2017, pemerintah memberlakukan pajak rokok hanya sebesar 10,5 persen secara PPn dan 57 persen dari keseluruhan pendapatan, dengan target penerimaan cukai rokok sebesar Rp. 147,5 triliun. Angka 57 persen ini sempat membuat produsen rokok ‘merongrong’ sebab kenaikan pajak, berkorelasi dengan kenaikan harga rokok. Harga rokok yang naik, menyebabkan pembeli menurun hingga produsen berdalih tak memiliki ruang untuk menyejahterakan petani tembakau karena kecilnya pemasukan.Namun begitu, pemerintah tetap mengeluarkan wacana untuk kembali menaikan pajak rokok sebesar 8,9 persen di tahun 2018 mendatang. Walau diprediksi akan kembali berhadapan dengan produsen dan petani tembakau, pajak terhadap rokok dan tembakau harus dinaikan. Sebab, bila dibandingkan dengan Filipina, pajak yang dikenakan pemerintah Indonesia kepada rokok sangatlah kecil nilainya.
Filipina termasuk cerdas dalam memanfaatkan sin tax rokok. Jika pemerintah Indonesia mengambil pajak rokok hanya sebesar 10,5 persen, pemerintah Filipina mengambil alokasi hingga mencapai 85 persen. Berkaca dari Filipina sebagai negara ASEAN yang sama sama berkembang, apa yang membuat pemerintah tak menggunakan sin tax yang ‘benar’ seperti Filipina?
‘Dosa’ yang Dimanfaatkan Sempurna
Filipina berhasil menurunkan pengguna rokok hingga satu juta pengguna sejak tahun 2014. Semua berkat pemberlakuan sin tax pada rokoknya. Dengan mengambil alokasi pajak sebesar 85 persen, rokok di Filipina dijual dengan harga 60 – 80 peso, atau sekitar Rp. 18.000 – Rp. 24.000. Dari mengambil alokasi sebesar 85% dari cukai rokok, pemerintah Filipina mendapatkan peningkatan pendapatan hingga sebesar 74,328 miliar peso (sekitar Rp. 19 triliun) di tahun 2016, dari hanya 32, 16 miliar peso (sekitar Rp. 8 triliun) di tahun 2012.
Sementara itu, Indonesia menerima pemasukan dari cukai tembakau sebesar Rp. 137, 94 triliun di tahun 2016. Sama dengan Filipina, harga rokok dijual dengan harga Rp. 18.000 – Rp. 24. 000. Secara sekilas, pemasukan Indonesia dibandingkan Filipina dari cukai tembakau, memang lebih besar. Tapi sebetulnya, dengan regulasi sin tax, penerimaan pajak tembakau Indonesia bisa lebih tinggi lagi.
Pada Agustus 2016 lalu, berhembus kabar jika pemerintah mengeluarkan wacana menaikan harga rokok menjadi sebesar Rp. 50.000 per bungkus. Wacana ini sempat menghebohkan karena akan berdampak pada inflasi, harga rokok ilegal, ancama pemutusan hubungan kerja bagi buruh, hingga kesejahteraan petani.
Dampak-dampak kenaikan harga rokok yang berangkat dari asumsi tersebut, langsung dipatahkan oleh Center or Health Economic and Policy Studies (Cheps). Cheps mengeluarkan riset baru terkait dampak kenaikan harga rokok. Hasilnya, peningkatan harga rokok rupanya bisa meningkatkan kas negara tanpa merugikan buruh, petani, apalagi sampai mengakibatkan inflasi tinggi.Hal itu juga diamini oleh Profesor Hasbullah Thabrany, Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia. Beliau menyatakan jika harga rokok naik, pendapatan negara dan industri juga pasti akan naik. “Undang-undang cukai kita membatasi hanya 57 persen maksimum cukai rokok dari harga. Jadi kalau naik, pendapatan negara 50 persennya naik, pendapatan industri juga naik. Kalau pendapatan industri naik, harusnya – ini harusnya – buruh dan petani juga kebagian,” tandasnya.
Berapa Seharusnya Harga Rokok?
Cheps pernah menampilkan skema harga rokok jika dinaikan. Jika harga rokok naik Rp. 10 ribu saja, negara kita bisa meraup tambahan kas sebesar Rp. 198 triliun dari cukai. Cukai ini, belum termasuk dengan pemberlakuan sin tax. Kalaupun rokok ilegal ikut naik hingga dua kali lipat, negara merugi sekitar Rp. 20 triliun. Artinya, dengan kenaikan Rp. 10 ribu, tanpa sin tax, negara masih surplus pemasukan Rp. 175 triliun.
Sementara jika harga rokok naik hingga 200 persen (tak sampai Rp. 50.000 per bungkus), negara bisa menghasilkan Rp. 260 triliun dalam setahun dari cukai. Ingat, ini adalah skema cukai tanpa sin tax. Jika sin tax diberlakukan, maka keuntungan negara dari cukai rokok dalam satu periode pemerintahan bisa mencapai lebih dari Rp. 1.300 triliun. Bayangkan, dari pemasukan itu negara bisa membiayai pembangunan infrastruktur, serta memperluas jaminan kesehatan dan pendidikan.
buruh tembakau (sumber: Tirto)
Ditambah lagi, Ketua Cheps, Budi Hiyata, juga mengusulkan jika tarif cukai rokok naik menjadi 150 – 200 persen. Ini akan membuat harga rokok berada di kisaran Rp. 25 ribu per bungkus. Dengan kenaikan itu, menurutnya, selain meningkatkan perolehan pendapatan juga bisa menurunkan 4 juta jumlah perokok dan mengurangi 2 juta orang miskin per tahun.
Harga rokok yang naik akibat cukai, tak akan serta merta membuat orang berani berhenti merokok. Naiknya harga rokok juga akan berperan untuk menyulitkan akses rokok kepada anak-anak untuk mengkonsumsi rokok sejak dini.
Prof. Thabrany juga menambahkan polemik seputar daya beli masyarakat, “Yang sering disalahpahami orang-orang, penurunannya tidak akan signifikan. Jika naik 20 persen, permintaan tidak akan turun 20 persen juga. Harga naik 20 persen, permintaan biasanya turun cuma 5 persen. Sehingga industri masih tetap untung,” ungkapnya.
Dengan demikian, menaikan harga rokok saja tanpa sin tax dan tak sampai 200 persen, ‘dosa’ dan gangguan kesehatan yang ditimbulkan rokok, telah dimanfaatkan secara tepat, cerdas, dan optimal. Jika sudah terbukti mendatangkan manfaat, mengapa pemerintah masih saja ‘buta’ melihat potensi sin tax tembakau?
Terbukalah dengan Sin Tax
Kita tahu bahwa industri rokok di Indonesia dikuasai oleh konglomerat kakak beradik Hartono. Kekayaan mereka dari industri rokok, membawa mereka selalu bertengger dalam predikat orang terkaya di Indonesia dengan pendapatan sebesar Rp. 34 triliun.
Sementara itu, pemerintah kocar-kacir mengejar target pendapatan negara dengan menyasar segala sektor untuk dikenai pajak. Jika pemerintah bisa berkaca pada Filipina dan melihat alternatif sin tax rokok, tentu mereka tak harus ‘mengerjai’ para pemilik telepon genggam dan pelaku bisnis online untuk dikenai pajak. Namun, memasang alokasi yang tinggi untuk cukai rokok hingga 100 atau 200 persen, sesuai ketentuan sin tax.
Harga rokok yang ikut naik, tak serta merta melesukan industri rokok, mengancam buruh dan petani, bahkan inflasi. Justru, dengan pengaturan ketat regulasi impor rokok, sin tax rokok berpotensi menjadi ladang pendapatan negara yang berlimpah ruah.
Dari sana, tak hanya pembangunan infrastruktur terkejar bahkan layanan kesehatan dan pendidikan terjamin aman. Dengan demikian, pemerintah tak lagi harus desperate mengejar para pemilik telepon pintar dan penjual olshop untuk dikenai pajak, bukan? (Berbagai Sumber/A27)